22 December 2006

PENTINGNYA JAMA'AH

Pendahuluan


Berjamaah itu sangat dianjurkan, karena dengan berjamaah, umat akan menjadi sangat kuat. Rasulullah bersabda:" يَدُ للَّهَ مَعَلْجَمَعَهِ " (Tangan Allah beserta jama'ah.) Ketika umat Islam bersatu dalam satu jam'ah Islam yang dipimpin oleh seoraang Imam yang dirahmati Allah, maka mereka berhak untuk mendapatkan uluran tangan Allah. Kasih sayang dan pertolongan Allah akan bersama mereka. Kekuatan, kemuliaan, dan kewibawaan yang selama ini dicita-citakan akan bersama mereka pula.

Namun realita yang ada sekarang ini, jamaah muslimin telah hancur dan berkeping-keping jadinya, sejak dijatuhkannya khilafah milik umat Islam pada tahun 1924 yang lalu. Mulai saat itu relatif umat Islam tidak punya jamaah muslimin yang berhimpun di dalamnya seluruh elemen umat Islam, secara resmi dan legitimate. Keadaan sekarang ini ummat Islam penuh dengan kehinaan, tanpa kewibawaan, dan menjadi obyek kezaliman oleh bangsa-bangsa lain.

Begitu banyak kelompok atau jamaah kecil-kecil yang ingin meneruskan kepemimpinan universal umat Islam, sayangnya tidak satu pun yang mampu dan legitimate. Sementara umat Islam sendiri kebanyakannya justru semakin jauh dari agamanya. Tiap wilayah di mana ada umat Islam justru telah dipasang para penguasa buatan penjajah, yang nyaris seluruhnya masih dikomando oleh kekuatan asing. Umat Islam yang jumlahnya satu milyar lebih ini berhasil dikotak-kotak, dibelah-belah, bahkan dibuat satu dengan yang lainnya saling terpisah dalam masing-masing negara.

Ketika ada satu negara Islam diserang oleh musuh, negara Islam lainnya tidak merasa terlalu peduli. Contoh nyata adalah sekarang ini, saat Israel membunuh rakyat Libanon, tidak ada satu pemerintah formal negeri Islam yang peduli. Paling banter hanya mengutuk atau menghiba atau menyayangkan. Dan semua itu tidak ada artinya buat Israel yang memang sudah gila.


Tentu umat Islam tidak rela diperlakukan demikian. Untuk itu demi mencegah kehinaan yang berkepanjangan dan untuk mengembalikan kewibawaan Islam dan umat Islam kita perlu kembali kepada resep yang telah diterapkan untuk umat yang pertama, yakni Qur'an dan Sunnah. Pada saat umat kembali kepada Qur'an dan Sunnah serta hidup secara berjama'ah, maka tidak ada lagi yang mereka takuti kecuali murka Allah. Seluruh amal mereka akan terfokus pada satu arah, yakni untuk mencari ridlo Allah swt. Mereka hidup untuk mendapatkan ridla Allah dan mereka mati untuk mencari ridlo Allah juga. Ancaman tidak diberi hutang tidak menjadikan hati mereka ciut, Allah Sang pemberi rejeki bersama mereka. Ancaman diboikot perdagangan mereka, tidak membuat mereka kecut, Allah tidak akan membiarkan umat yang dicintaiNya mati kelaparan.

Problematika ummat islam kaum muslimin saat ini

Problem internal kaum muslimin :

  1. Saling berpecah-belah

  2. Terlena dengan kenikmatan dunia (penyakit wahn)

  3. Lemah dalam berbagai sektor kehidupan : lemah aqidah, lemah politik, lemah ekonomi, lemah militer, lemah ilmu pengetahuan dan teknologi

  4. Bermental terjajah, minder (inferior), dan beretos kerja buruk


Problem eksternal kaum muslimin :

  1. Menghadapi konspirasi musuh-musuh Islam yang bersatu padu menghadapi Islam

  2. Berada dalam jerat imperialisme dan ketergantungan yang parah terhadap negara-negara kafir.


Short post here

Extended post here

Mengingat kondisi umat Islam sekarang ini, satunya ummat dalam jamaah dinilai sangat penting dan utama. Rasulullah bersabda “Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, tidak ada kepemimpinan kecuali dengan bai’at, dan tidak ada bai’at kecuali dengan taat.” Jadi pada hakekatnya, substansi kebersamaan atau jamaah itu terletak pada ketaatan. Kekuatan jamaah itu terletak pada ketaatan umatnya dan kehidupan berjamaah ini akan mengundang pertolongan Allah. Yadullaha ma’al jamaah. Oleh karena itu tidak dibenarkan sama sekali umat untuk tidak taat kepada Imam kecuali dalam bermaksiat kepada Allah.
Ketaatan yang diminta Allah dari umatnya adalah ketaatan yang maksimal. Islam yang dipersyaratkan Allah kepada umatnya adalah islam yang kaffah, bukan setengah-setengah. Ketaatan yang diminta seorang Imam atas umatnya juga ketaatan yang maksimal, ketaatan yang kaffah. Ketaatan yang maksimal akan menghasilkan kekuatan yang maksimal pula. Kalau ada salah satu di antara anggota jamaah tidak bersungguh-sungguh dalam bertaat, maka jamaah itu akan mengalami ”goncangan”. Tidak memiliki daya saing yang prima dan tidak memiliki kekuatan yang maksimal untuk menghadapi pesaing-pesaingnya.

Definisi al-Jamaah

Menurut bahasa, kata jamaah berasal dan al-ijtima' ("berkumpul" atau "bersatu") yang lawan katanya al-firqah ("berpecah belah"). Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Al-Jamaah berarti persatuan, sedangkan lawan katanya adalah perpecahan. Dan lafazh al-jamaah telah menjadi nama bagi kaum yang bersatu." (Majmu' Fatawa 3:157)
Namun, jika lafazh jama'ah dirangkaikan dengan as-sunnah menjadi Ahli Sunnah Waljamaah maka yang dimaksud ialah pendahulu umat ini. Mereka adalah para sahabat dan tabi'in yang bersatu mengikuti kebenaran yang jelas dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam. (Harras, Syarah al-Wasithiyyah, hlm. 16)
Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai penjelasan hadis-hadis Nabi yang mewajibkan beriltizam (berpegang-teguh, red) kepada jamaah dan melarang keluar daripadanya. Hadits-hadits tersebut sama sekali tidak bertentangan. Pendapat-pendapat tersebut sebagai berikut:

  1. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud al-jamaah ialah para sahabat saja, dan bukan orang-orang sesudah generasi mereka. Sebab, para sahabat itulah yang sesungguhnya telah menegakkan tonggak-tonggak ad-dien dan menancapkan paku-pakunya. Dan mereka tidak berhimpun di atas kesesatan. (Lihat Asy-Syathibi, Al-l'thisham 2:262). Pendapat ini diriwayatkan dan Umar bin Abdul Aziz radiyallahu ‘anhu Menurut pendapat ini, lafazh al-jamaah sesuai dengan riwayat lain dalam sebuah hadis Nabi: "...yakni jalan yang aku tempuh dan para sahabatku."

    Kalimat hadits ini menunjuk kepada perkataan, perilaku, dan ijtihad mereka. Dengan demikian, lafazh tersebut menjadi hujjah secara mutlak dengan kesaksian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, khususnya dengan sabda beliau: "Hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah ar-Rasyidin..."


  2. Ada sementara ulama yang mengartikan al-jamaah itu adalah Ahli Ilmu, Ahli Fikih, dan Ahli Hadis dari kalangan Imam Mujtahidin. Sebab, Allah telah menjadikan mereka hujjah atas manusia dan mereka menjadi panutan dalam urusan ad-dien. (Filthul Bari 13:27). Pendapat ini dari al-Bukhari dalam kitabnya bab Wa Kadzalika Ja’alnakum Ummatan Wasathan (Demikian pula Kami jadikan kamu umat pertengahan) dan perintah Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam untuk beriltizam kepada al-jamaah beliau mengatakan bahwa mereka (al-jamaah) itu adalah Ahli llmu. (Fathul Bari 13:316)

    Menurut Turmudzi, para ahli ilmu menafsirkan al-jamaah dengan ahli fikih, ahli ilmu, ahli hadis. Kemudian beliau membawakan riwayat dari lbnul Mubarak yang memberikan jawaban, "Abu Bakar dan Umar" sewaktu ia ditanya mengenai al-jamaah. (Sunan Turmudzi 4:465) Ibnu Sinan berpendapat, "Mereka (al-jamaah) adalah Ahli ilmu dan orang-orang yang punya atsar. (Syaraf Ashhabul Hadits, hlm. 26-27).

    Berdasarkan pendapat ini, maka al-jamaah adalah Ahli Sunnah yang alim, arif, dan mujtahid. Maka tidaklah termasuk al-jamaah mereka yang ahli bid'ah dan orang-orang awam yang taklid. Sebab, mereka tidak bisa diteladani dan biasanya kaum -yang disebut terakhir ini- hanya mengikuti ulama.


  3. Ada ulama yang mengatakan bahwa al-jamaah ialah jamaah Ahlul Islam yang bersepakat dalam masalah syara'. Mereka tidak lain adalah Ahli ljma yang senantiasa bersepakat dalam suatu masalah atau hukum, baik syara' maupunaqidah. Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi yang artinya: "Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan." (al-I'tisham 2:263)
    Ibnu Hajar mengomentari pendapat Bukhari yang mengatakan bahwa mereka (al-jama'ah) adalah Ahli ilmu, sebagai berikut: "Yang dimaksud al-jama'ah ialah Ahlul Hal wal 'Aqdi, yakni mereka yang mempunyai keahlian menetapkan dan memutuskan suatu masalah pada setiap jaman."
    Adapun menurut al-Karmani, "Yang dimaksud perintah untuk beriltizam kepada jamaah ialah beriltizamnya seorang mukallaf dengan mengikuti kesepakatan para mujtahidin. Dan inilah yang dimaksud Bukhari bahwa 'mereka adalah Ahli llmu'." Ayat yang diterjemahkan Bukhari dijadikan hujjah oleh Ahli Ushul karena ijma' adalah hujjah. Sebab, mereka (Ahli llmu) dinilai adil, sebagaimana firman Allah (Al-Baqarah 143); "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil...."
    Pernyataan ayat ini menunjukkan bahwa mereka terpelihara dari kesalahan mengenai apa yang telah mereka sepakati, baik perkataan maupun perbuatan. (Fathul Bari 13:316). Pendapat ini merujuk kepada pendapat kedua.


  4. Ada ulama yang mengatakan, jama'ah adalah as-Sawadul A'zham (Kelompok Mayoritas). Dalam kitab An-Nihayah disebutkan; "Hendaklah kamu mengikuti as-Sawadul A'zham, yaitu mayoritas manusia yang bersepakat dalam mentaati penguasa dan menempuh jalan yang lurus. (An-Nihayah 2:419).
    Pendapat tersebut diriwayatkan dari Abi Ghalib yang mengatakan, sesungguhnya as-Sawadul A'zham ialah orang-orang yang selamat dari perpecahan. Maka urusan agama yang mereka sepakati itulah kebenaran. Barangsiapa menentang mereka, baik dalam masalah syari'at maupun keimanan, maka ia menentang kebenaran; dan kalau mati, ia mati jahiliah. (Al-I'tisham 2:260).
    Di antara orang lain yang berpendapat demikian ialah Abu Mas'ud al-Anshari dan lbnu Mas'ud radiyallahu ‘anhu. Asy-Syathibi berkomentar, "Berdasarkan pendapat ini, maka yang temasuk al-jamaah ialah para mujtahid, ulama, dan ahli syariah yang mengamalkannya. Adapun orang-orang di luar mereka, maka termasuk ke dalam hukum mereka (di luar jamaah), sebab orang-orang tersebut mengikuti dan meneladani mereka. Maka setiap orang yang keluar dari jamaah mereka, berarti ia telah menyimpang dan menjadi tawanan setan. Yang termasuk kelompok ini ialah semua ahli bid'ah, karena mereka telah menentang para pendahulu umat ini. Sebab itu, mereka sama sekali tidak termasuk as-Sawadul A'zham." (AI-l'tishaita 2:261)
    Ada ulama yang mengatakan bahwa al-jamaah ialah jamaah kaum muslimin yang sepakat atas seorang amir (penguasa). Ini adalah pendapat ath-Thabari yang menyebutkan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian ia mengatakan, "Ya benar pengertian tentang beriltizam kepada jama'ah ialah taat dan bersepakat atas amirnya. Maka barang siapa melanggar bai'atnya, ia telah keluar dari al-jama'ah." (Fathul Bari 13:37). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah menyuruh umatnya agar beriltizam kepada pemimpinnya, dan melarang umat mengingkari kesepakatan tentang pemimpin yang lelah diangkatnya. (al-l'tisham 2:264).



Perintah Berjamaah


Selain merupakan qodrat, gharizah dan tabi’atul kaun, hidup berjamaah adalah salah satu ajaran Islam. Ada beberapa dalil naqli yang menjadi dasarnya iaitu firman Allah dan hadis Rasulullah (s.a.w) seperti berikut:

  1. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kukuh - terjemahan surah as-Shaff (61):4

  2. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’aruf dan mencegah kepada yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung - terjemahan surah Ali Imran (3):104

  3. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai - terjemahan surah Ali Imran (3): 103.

  4. Dua lebih baik dari satu, tiga lebih baik dari dua, empat lebih baik dari tiga, wajib atas kamu berjamaah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku kecuali dalam hidayah - hadis riwayat Ahmad dari Abi Dzar (r.a)

  5. Pertolongan Allah bersama jamaah - hadis riwayat at-Tirmidzi

  6. Hendaklah kalian berjamaah dan janganlah memisahkan diri sesungguhnya syaitan itu bersama-sama orang-orang yang menyendiri, dan syaitan menjauhkan diri dari dua orang. Barangsiapa yang menginginkan tempat di Syurga hendaklah bergabung dengan jamaah. Barangsiapa yang kebaikannya menyenangkannya dan keburukannya menyusahkannya, ia itulah orang mukmin - hadis riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Umar.

  7. Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku dalam kesesatan, pertolongan Allah diberikan kepada jamaah. Barangsiapa yang menyendiri ke Neraka - hadis riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Umar (r.a)

  8. Telah bersabda Rasulullah (s.a.w): Aku memerintahkan kepada kamu dengan lima hal yang Allah telah memerintahkannya kepada ku; hidup berjamaah, mendengar, taat, hijrah dan jihad fi sabilillah. Sesungguhnya barangsiapa yang keluar dari jamaah walau sejengkal, ia telah melepaskan ikatan Islam dari tengkuknya (murtad) sehinggalah ia kembali lagi ke dalam jamaah” - hadis riwayat Imam Ahmad



Orang-orang bertanya kepada Rasulullah (s.a.w) tentang kebaikan sedangkan aku bertanya tentang keburukan kerana khuatir menimpaku. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, dulu kami ada pada masa jahiliyyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan pada kami dengan kebaikan ini. Apakah sesudah kebaikan ini akan ada keburukan? Baginda menjawab: Ya tetapi padanya ada dakhon. Aku bertanya: Apakah dakhon itu? Beliau menjawab: Sekelompok orang yang memberi petunjuk bukan dengan petunjuk dariku, sebagiannya kau akui kebenarannya dan sebagian kau ingkari. Aku bertanya lagi: Apakah setelah kebaikan itu akan ada lagi keburukan? Baginda menjawab: Ya, iaitu para juru dakwah di pintu Jahanam. Barangsiapa yang mengikutinya, ia akan dicampakkan ke dalam Neraka. Aku bertanya: Wahai Rasulullah terangkanlah kepada kami ciri-cirinya. Nabi bersabda: Mereka kulitnya sama dengan kita dan berkata dengan bahasa kita. Aku bertanya: Apa yang kau perintahkan kepada kami jika kami menemui hal itu? Beliau bersabda: Bergabunglah dengan jamaah muslimin dan imamnya. Aku bertanya lagi: Bagaimana jika tidak ada jamaah dan imamnya? Beliau menjawab: Jauhilah oleh kamu semua firqah sekalipun kamu harus memakan akar pepohonan sampai maut menjemputmu dan kau dalam keadaan tetap begitu. Hadis riwayat al-Bukhari dari Hudzaifah (r.a)

Hadis-hadis tersebut menjelaskan kepada kita antara lain, beberapa hal berikut:

  1. Perjalanan sejarah Islam akan mengalami pasang surut, tidak tetap dalam satu keadaan. Ada masa cerah dan ada masa suram.

  2. Kita diwajibkan bergabung dengan jamaah.

  3. Yang disebut jamaah itu memiliki imam atau pemimpin.

  4. Jamaatul Muslimin mestilah bersifat seperti diterangkan di dalam hadis di atas. Jamaah adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada apa yang dipegang teguh oleh Nabi Muhammad (s.a.w) dan para sahabatnya iaitu al-Qur’an dan as-sunnah atau mereka ang melaksanakan al-Haq.

  5. Jika tiada jamaah, janganlah bergabung dengan firqah dhalalah iaitu orang yang berpegang kepada kebathilan.



Kewajiban Memelihara Keutuhan Jamaah


Setiap muslim wajib memelihara keutuhan, kekuatan dan soliditas jamaah dalam menghadapi berbagai persoalan, hambatan dan gangguan dengan melakukan langkah-langkah berikut:

  1. Selalu bermusyawarah. Jika dihadapkan kepada sesuatu masaalah, hendaklah tidak terburu-buru mengambil sikap tetapi dimusyawarahkan terlebih dahulu agar ditemukan cara terbaik untuk mengatasinya. Allah memerintahkan: “Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyarawat antara mereka dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” – Terjemah Surah as-Syura (42): 38
    “Maka, disebabkan Rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerana itu, maafkanlah mereka, mohon ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada Nya” - terjemahan surah Ali Imran (3): 159

  2. Melakukan tabayyun: Jika menerima berita buruk tentang seseorang tidak segera membuat keputusan sebelum membuat check and recheck atau klasifikasi tentang berita yang diterima itu, tidak membiarkan berita itu menjadi fitnah atau dikembangkan menjadi ghibah, selalu berfikir positif dan tidak dimulai dengan sikap suu-dzan. Allah mengingatkan: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada mu orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” -terjemahan surah al-Hujurat (49): 6

  3. Semangat untuk islah, bukan dengan mengembangkan lagi konflik tetapi setiap permasaalahan dihadapi dan disikapi dengan semangat islah. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara kerana itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat Rahmat” - terjemahan surah al-Hujurat 49: 10

  4. Memperbanyakkan silaturrahmi - dengannya banyak permasaalahan boleh dikomunikasikan dengan baik, menjadi benteng pelindung dari ancaman-ancaman luar yang ingin memecah-belahkan serta mengadu domba di antara sesama jamaah. Rasulullah (s.a.w) memerintahkan: “Wahai manusia sebarluaskan salam, bersedekahlah dengan makanan, bersilaturrahim dan shalatlah pada malam hari ketika orang-orang sedang lelap tidur, nescaya engkau akan masuk Syurga dengan selamat” - Hadis riwayat at-Tirmidzi dari Abi Hurairah (r.a)

  5. Saling tolong menolong, ta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan, tidak bersikap individualis, hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli kepada orang lain, terutama ketika yang lain sedang di dalam kesulitan dan penderitaan. “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa Nya”- surah al-Maidah (5): 2.
    “Mukmin dengan mukmin itu ibarat sebuah bangunan yang satu sama lain saling mendukung (saling menguatkan)” - hadis riwayat al-Bukhari dari Abi Musa (r.a).
    “Engkau akan melihat orang mukmin itu dalam hal saling menyayangi, mencintai dan melindungi sesama muslim ibarat sebatang tubuh yang jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakitnya” - hadis riwayat al-Bukhari dari Nu’man bin Basyir (r.a).

  6. Menjauhi perbedaan, terutamanya yang menyangkut masalah ibadah, meskipun ada yang boleh dua atau tiga cara, menjadi baik jika diambil satu cara yang sama. Dalam masalah lainnya, misalnya masaalah penyelenggaraan, pendidikan, menyikapi persoalan politik dan sebagainya, jika perbedaan di antara sesama anggota sukar untuk dihindari, paling tidak, diusahakan untuk diminimalkan perbezaan-perbezaan itu. Walau sekecil mana pun perbezaan, ia tetap akan menganggu keharmonian dan ukhuwah. Nabi Muhammad (s.a.w) ada mengingatkan: “Janganlah kamu berbeza-beza, nanti hati kamu berbeza-beza (berselisih)” - hadis riwayat Muslim dari Ibnu Mas’ud (r.a).


Larangan Memisahkan Diri Dari Jamaah


Ajaran Islam selain memerintahkan untuk iltizam terhadap jamaah juga melarang untuk memisahkan diri atau keluar dari jamaah itu.

  1. ‘Barangsiapa yang mendapatkan dari pimpinannya sesuatu yang ia tidak sukai hendaklah bersabar. Sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, lantas ia mati, ia mati jahiliyah’- Hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abas (r.a)

  2. Tidak halal darah seorang yang bersaksi bahawa tiada Tuhan selain Allah dan aku utusan Allah kecuali disebabkan tiga hal. Orang yang meninggalkan Islam (dengan) memisahkan diri dari jamaah, seorang janda/duda (bersuami/isteri) yang berzina dan jiwa di balas dengan jiwa (qisas). Hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abas (r.a)



Melihat semua hal tersebut di atas maka sudah seharusnyalah sekarang ini umat Islam menyatukan langkah geraknya dalam satu jamaah (jamaatul muslimin) bukan seperti sekarang ini, ummat terhimpun dalam jamaah-jamaah kecil (jamaatul minal muslimin). Kaum muslimin harus bergerak seiring dibawah satu kepemimpinan, menghadapi musuh-musuh Islam yang juga saling membantu satu sama lain. Tanpa bersatu dibawah satu kepemimpinan, kaum muslimin tidak akan sanggup menghadapi musuh-musuhnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang kafir sebagian merupakan pelindung bagi sebagian yang lainnya. Jika kalian tidak melakukan yang seperti itu, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar”. [QS Al-Anfal : 73]