13 September 2007

Refleksi Ramadhan


Sudah sering kita lihat, banyak orang berceramah kemana-mana, apalagi bulan-bulan puasa seperti saat ini. Ramai-ramai menjadi pendakwah atau penulis moral. Apakah ia pejabat, tokoh politik atau tokoh masyarakat begitu rajin mengunjungi rumah-rumah ibadah, melakukan safari Ramadhan ke setiap masjid dan desa-desa. Mereka memberi contoh tentang kebaikan, bersikap hidup qanaah, atau menganjurkan supaya banyak bersedaqah.

Apalagi di musim suksesi pilkada, kegiatan safari Ramadhan bukan saja dari masjid ke masjid atau dari kampung ke kampung, melainkan merambat ke warung-warung kopi. Makanya menjadi penting bagi kita untuk menakar diri, apakah kita melaksanakan ibadah itu masih sebatas retorik atau benar-benar menjadi sekolah untuk meningkatkan kualitas iman? Sebab banyak bukti, ketika bulan Ramadhan begitu gencarnya seseorang memidatokan tentang iman dan taqwa, namun seusai Ramadhan, moral itu ia kurung dalam masjid, disimpan dalam lapisan kitab-kitab yang tahun depan tepat bulan Ramadhan kembali dibuka.

Betapa banyak orang shalat, berpuasa setiap bulan Ramadhan, namun seusai berpuasa kelakuannya tak juga berubah, korupsi tidak hilang-hilang, kezaliman terus merajalela, amoral seperti jadi dogma. Itu artinya, target ibadah puasa untuk meraih titel taqwa belum dimiliki. Ingatlah, bahwa sesungguhnya kita ingin menipu Allah Swt, tapi sebenarnya kita tertipu dan terpedaya akibat kemunafikan sendiri. Maka, tunggulah azab Allah Swt itu sangat pedih.

Sejauh mana optimalisasi usaha yang dilakukan, sangat tergantung pada kesadaran masing-masing. Sebagaimana salah satu firman Allah, “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Short post here
Extended post here

Sebelum tirai Ramadhan ditutup, kita perlu mengevaluasi apakah amalan puasa kita sudah menuju kepada nilai taqwa atau belum. Misalnya, kalau kita begitu gencar pidato, bahwa ibadah puasa itu diwajibkan bagi orang beriman, yaitu menahan nafsu (makan dan minum dan sahwat) sehingga ia akan meraih titel muttaqin. Apakah itu sudah tercermin pada diri kita––misal kalau selama ini kita serakah maka tidak diulangi lagi, tidak menilep hak-hak orang lain, dan kita bisa memiliki kepedulian antarsesama, sehingga kita peduli kepada mereka kaum dhuafa yang sepanjang hidupnya sering puasa.

Sebagai orang beriman, perlu menakar-nakar apakah pesan puasa seperti hidup qanaah sudah diterapkan dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Sebagai pemimpin, misal, yang menyeru rakyat supaya bersabar dan hidup sederhana, sudah sinkronkah dengan perilakunya. Dengan kata lain, kita tidak hanya pandai memberikan contoh-contoh, tapi juga dalam keseharian harus dapat dijadikan contoh.

Menghitung amalan sangatlah penting untuk mengingatkan, memperbaiki apa yang salah, menambah apa yang kurang, dan meningkatkan apa yang sudah baik. Sebab Allah Swt akan menilai kesudahan kita atau ending dari perbuatan hambanya–– apakah mengakhiri Ramadhan dalam keadaan taqwa dan penuh ketaatan kepada-Nya atau justru sebaliknya. Urgensi memperbaiki amalan di saat-saat akhir terangkum dalam doa husnul khatimah yang disebutkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkarnya, “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baiknya umurku pada ujungnya dan sebaik-baik amalku pada ujung akhirnya, dan sebaik-baik hariku adalah pada saat aku menemui-Mu”.

Dalam kondisi negeri kita, khususnya Aceh saat ini, adalah tepat untuk menyadari kesalahan dan kelalaian kita. Bagi yang dhuafa agar jangan putus asa dari rahmat Allah. Sebagaimana salah satu firman Allah Swt yang maknanya “jika seseorang ditimpakan suatu musibah apakah itu berupa sakit, miskin dan kehilangan orang yang dicintai, sesungguhnya dia (Allah) ingin menguji sejauhmana orang itu bersabar”. Begitu juga bagi mereka yang kaya apalagi raya, supaya mensyukuri rahmat itu dengan melakukan kebajikan. Bukan sekedar ceramah, bahwa saya seorang dermawan, yang jujur sambil melingkarkan sal ke leher supaya dianggap orang taat. Atau memfasih-fasihkan bacaan agar dinilai alim, tetapi bagaimana mengubah kelakuan agar menjadi manusia yang rendah hati.

Mengoreksi amalan dalam bulan suci ini agar kita menyadari bahwa kemurkaan Allah Swt sangatlah pedih bila kita ingkar dan munafik atas segala rahmat-Nya. Karenanya dekatkan diri kepada Allah Swt. Para ulama menunjukkan beberapa langkah, pertama, tetapkan satu masa khusus untuk merenung apa yang telah kita lakukan sebelum ini. Lalu bandingkanlah dengan beberapa obyek minimum yang telah kita tetapkan sebelum Ramadhan. Fase-fase terakhir bulan Ramadhan menjadi sangat menentukan, apalagi adanya malam istimewa Lailatul Qadar yang kebaikan dilakukan pada malam tersebut sama seperti melakukan kebaikan selama 1000 bulan. Langkah kedua, adalah memastikan kehidupan kita sebagai seorang muslim selepas bulan Ramadhan ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Menelaah dan menakar kualitas iman akan terlihat melalui refleksi Ramadhan, mana yang berkualitas mana yang tidak. Ibarat mengangikan padi: padi yang tidak berisi akan terbang jauh sedang yang berisi akan tertinggal. Memang untuk menakar iman tidaklah mudah dan standarnya sering berfluktuasi. Itu juga menjadi rahasia kenapa puasa hanya diwajibkan bagi mereka yang beriman. Bukankah kita sering mengaku paling beriman, tapi dalam keseharian kita cenderung tidak mencerminkan orang beriman itu. Sesungguhnya, bulan Ramadhan menjadi salah satu diklat paling efektif mengaktualisasi iman tersebut. Tentu ini berat ketika persoalan lain menghadang kita. Namun paling tidak, seusai Ramadhan akan tumbuhnya penghayatan dan pemaknaan keagamaan tidak sekadar jargon atau trend.

Selama ini kita memperhartikan semangat keagamaan (Islam) hanya berkutat dalam tataran simbolik. Penghayatan dan pemaknaan keagamaan semacam itu dapat kita lihat dengan kasat mata dalam keseharian, manipulasi simbol-simbol keagamaan, dan telah dipertontonkan dengan sukses oleh para elit politik dan birokrasi kita: memajang gelar haji di depan nama, berpeci haji atau simbol keagamaan lain, menjadi pengkhotbah hampir di setiap mimbar, dan sebagainya. Para elit politik dan birokrat kita pun terlihat sangat khusyuk menjalankan ritus-ritus keagamaan. Berkali-kali melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan ritus keagamaan lainnya. Ritus-ritus keagamaan yang dijalani itu dimaknai dapat menghapuskan dosa-dosa. Setelah itu, praktik kebiasaan (korupsi) dilakoni kembali. Jadi, lakon yang kita peragakan dengan bahasa sederhana dapat dikatakan: 11 bulan berbuat dosa, lalu jalani ritus keagamaan (berpuasa, misalnya), maka dosa-dosa selama 11 bulan akan sirna. Kembali ke “kesucian” lagi.

Sungguh, Islam adalah yang melarang kemungkaran, dan Islam selalu mengajak pemeluknya kepada amar ma‘ruf nahi munkar (dekati kebaikan, jauhi ketidakbaikan). Demikian selalu didengungkan di setiap telinga muslim. Islam mengajarkan setiap orang untuk memperkaya diri sendiri melalui jalan yang halal karena dengan menjadi kaya, seorang muslim akan mampu menciptakan lapangan kerja untuk orang lain dan membantu menghidupi sekian banyak jiwa. “Barangsiapa memberikan makanan berbuka kepada seseorang yang berbuka puasa, adalah demikian itu merupakan ampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka dan orang yang memberi makanan itu memperoleh pahala seperti diperoleh oleh orang yang berpuasa (yang diberikan makanan itu) tanpa sedikit pun berkurang.” Demikian salah satu hadis Rasul Saw. Karenanya, menelaah kembali amalan sebagai aplikasi keimanan jauh lebih urgen, mumpung masih ada kesempatan untuk memperbaiki dan menyadarinya sebelum tirai Ramadhan ditutup.


05 September 2007

Perbedaan Pendapat Umat Islam

Benarkah Perbedaan Pendapat Pada Umat Muslim Adalah Rahmat ?

Berkata sebagian kaum Muslimin :
"Biarkanlah keragaman pendapat yang ada di tubuh kaum Muslimin tentang agama mereka tumbuh subur dan berkembang, asalkan setiap perselisihan dibawa ke tempat yang sejuk."

Alasan mereka didasarkan pada sebuah hadits yang selalu mereka ulang-ulang dalam setiap kesempatan, yaitu hadits: "Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat"

Benarkah ungkapan ini? Benarkah Rasulullah pernah mengucapkan hadits tersebut? Apa kata Muhadditsin (Ahli Hadits) tentang hadits tersebut?.

Syaikh Al-Albani rahimahulah berkata: "Hadits tersebut tidak ada asalnya". [Adh-Dha'ifah :II / 76-85] . Imam As-Subki berkata: "Hadits ini tidak dikenal oleh ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha'if (lemah), maupun maudhu (palsu)." Syaikh Ali-hasan Al-Halaby Al-Atsari berkata: "ini adalah hadits bathil dan kebohongan." [Ushul Al-Bida']

Dan dari sisi makna hadits ini disalahkan oleh para ulama. Al-'Alamah Ibnu Hazm berkata dalam Al-Ahkam Fii Ushuli Ahkam (5/64) setelah menjelaskan bahwa ini bukan hadits: "Dan ini adalah perkataan yang paling rusak, sebab jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzhab. Ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzhab."

Bagaimanakah Daya Rusak Hadits Palsu Tersebut Terhadap Islam ?

1. Mengekalkan perpecahan dalam Islam

Tidak ragu lagi bahwa hadits tersebut adalah tikaman para pembawanya bagi persatuan Islam yang haqiqi. Ketika para pembawa panji-panji sunnah menyeru umat kepada persatuan Aqidah dan Manhaj (jalan/metode) yang shahih. Tiba-tiba muncul orang-orang yang mengaku mengajak kepada persatuan Islam dengan berkata: "Biarkanlah kaum muslimin dengan keyakinannya masing-masing, biarkanlah kaum muslimin dengan metodenya masing-masing dalam berjalan
menuju Allah , janganlah memaksakan perselisihan yang ada harus seragam dengan keyakinan dan pola pikir orang-orang arab padang pasir 15 abad yang lalu. Karena Rasulullah bersabda: "perselisihan pendapat pada umatku adalah rahmat."

Alangkah berbahayanya ungkapan tersebut dan banyak lagi perkataan yang semisalnya yang mengakibatkan kaum muslimin abadi di dalam aqidah dan manhaj yang berbeda. Padahal ayat-ayat dalam Al-Qur'an melarang berselisih pendapat dalam urusan agama dan menyuruh bersatu. Seperti Firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 46 yang artinya; "Jangan kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu."

Surat Ar-Rum ayat 31-32: "Jangan kamu seperti orang-orang yang musyrik, yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolong-golongan. Dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka."

Surat Hud ayat: 118-119: "Mereka terus-menerus berselisih kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Tuhanmu."

Dan kita diperintah Allah untuk bersatu dalam Aqidah dan manhaj diatas Aqidah dan Manhajnya Rasulullah dan para sahabatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-An'am ayat: 153 yang artinya: "Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa."

Dan kita diperintahkan Allah untuk merujuk bersama kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah ketika terjadi perselisihan, bukannya membiarkan perselisihan aqidah dan hal-hal yang pokok dalam agama meradang di tengah ummat dengan dalih sepotong hadist palsu. Firman-Nya dalan surat An-Nisa' ayat 59 yang artinya : "Jika kamu berselisih pendapat maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya."
Short post here

Extended post here
2. Kaum muslimin tidak lagi menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sandaran kebenaran dan hakim.

Syaikh Al-Albani berkata: "Diantara dampak buruk hadits ini adalah banyak kaum muslimin yang mengakui terjadinya perselisihan sengit yang terjadi diantara 4 madzab dan tidak pernah sama sekali berupaya untuk mengembalikannya kepada Al-Qu'an dan Al-Hadits." [Adh-Dha'ifah: I/76]

Allah berfirman menceritakan Nabi-Nya Muhammad ketika mengadu kepada-Nya: "Berkatalah rasul: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur'an ini suatu yang tidak diacuhkan." [QS. Al-Furqan:30].

Sungguh hal itu terulang kembali di zaman ini dikarenakan hadist palsu yang menggerogoti ummat.

3. Umat islam tidak lagi menjadi umat terbaik yang jaya di atas umat yang lainnya.

Ini dikarenakan hadits palsu tersebut menjadi dinding bagi seorang muslim untuk beramar ma'ruf nahi mungkar, seorang muslim tidak lagi menegur saudaranya yang berbuat salah dalam syirik, kekufuran, dan bid'ah serta maksiat disebabkan meyakini hadits palsu tersebut. Karena mereka menganggap semua itu sebagai suatu perbedaan yang hakikatnya adalah rahmat, sehingga tidak perlu untuk ber-nahi munkar. Akibatnya, predikat ummat terbaik tidak lagi disandang oleh umat Islam, karena telah meninggalkan syaratnya yakni Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-'Imran ayat: 110 yang artinya: "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ."

4. Ancaman dan kecaman yang keras dari Nabi, karena berkata dengan mengatasnamakan Rasulullah secara dusta.

Rasulullah bersabda : "Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia siapkan tempat duduknya dari api neraka" [Riwayat Bukhari-Muslim].

Hendaklah takut orang-orang yang mengada-adakan perkataan dusta atas nama Rasulullah , demikian pula orang-orang yang menyebarkan dan mendongengkan kisah-kisah palsu dan lemah yang hanya muncul dari prasangka belaka yang padahal prasangka itu adalah seburuk-buruk perkataan.

5. Meninggalkan perintah Allah

Ini adalah efek lanjutan dari hadist palsu tesebut, karena ketika seseorang mentolelir perselisihan aqidah, halal dan haram, serta segala sesuatu yang telah tegas digariskan oleh dua wahyu, maka di saat yang sama ia telah meninggalkan perintah Allah untuk menuntaskan setiap perselisihan kepada Al-Qur'an, dan As-Sunnah. Sebagaimana Allah berfiman :
"Jika kamu berselisih pendapat maka kembali-kanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya" [An-Nisa:59]

6. Melemahkan kekuatan kaum Muslimin serta membuka jalan bagi orang-orang kafir untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Syaikh Ali Hasan dalam kitabnya "ushul bida" mengisyaratkan dampak buruk hadist tersebut yang dapat melemahkan kaum muslimin dan menjatuhkan kewibawaannya, karena jelas-jelas hadist palsu tersebut menebarkan benih-benih perpecahan di tubuh kaum Muslimin, sedangkan Allah berfirman : "Jangan kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang
kewibawaan kamu." [Al-Anfal: 46]

Ibnu mas'ud meriwayatkan : "Rasulullah membuat satu garis dengan tangannya lalu bersabda "ini jalan Allah yang lurus", lalu beliau membuat garis-garis dikanan kirinya, kemudian bersabda, "ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satupun dari jalan-jalan ini kecuali didalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya." Selanjutnya beliau membaca firman Allah , "dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia janganah mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa (Qs. Al-an'am153)". (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa'i).

Maraji':
- Ushul bida' [Syaikh Ali Hasan Ali Abdul hamid]
- Sifatush shalaty An-Naby [Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani] dan
sumber-sumber lainnya

Sumber : kebunhikmah


28 February 2007

oooOoo Icy Heart ooOooo

Air mata masih saja menetes
Bahkan sampai malam ini
Aku masih menangis ..

Rentang waktu tak terlihat
Hilang dalam angan
Terlewati sepi melanda
Akal rentan termakan usia dan logika

Tak habis pikir aku Rapuhnya pribadiku
Hati tak terpaku kokoh di dasarnya
Berkali-kali kusebutkan nama Sang Khaliq
Berharap dinginnya malam dapat mengusap pedihnya hati ini

Air mata iringi selah-selah nafas tersisa
hidup yang mati menangisi nasib
tak punya hati, mati
hati tak seutuhnya basi jadi bangkai
Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun…

Maafkanlah aku ya Allah
Jadikanlah aku ikhlas akan ketetapanMu
Jikalau pedih ini adalah obat yang kauberikan akan lalaiku
Aku tak berharap yang lain kecuali manisnya ridhoMu di akhir perjalananku

20 February 2007

BERLAKU ADIL TERHADAP WANITA

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ يَحِلًّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوْهُنَّ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْراً

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. Janganlah kalian menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Bergaullah kalian dengan mereka secara patut. Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. Annisa:19)

Tafsir ayat

Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû lâ yahillu lakum an taritsû an-nisâ'a karh[an] (Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa). Menurut jumhur mufassir, yang dimaksud dengan mewarisi wanita adalah mewarisi pernikahan dengannya.1 Pengertian secara lebih jelas dapat ditelisik dari sabab an-nuzûl ayat ini yang-kendati ada beberapa perbedaan ungkapan-semuanya bermuara pada kesimpulan yang sama, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan adat-istiadat yang berlaku pada zaman Jahiliyah.2

Pada masa itu, jika ada seorang laki-laki meninggal dunia, para walinya mendatangi istri yang ditinggalkan dan melemparkan kain kepadanya atau ke tendanya. Setelah itu mereka menjadi orang yang paling berhak terhadap wanita itu. Mereka bisa menikahinya tanpa mahar, selain mahar yang telah diberikan suaminya dulu. Bisa juga mereka menikahkannya dengan laki-laki lain, lalu mereka mengambil maharnya; atau mempersulitnya dengan menahannya di rumah, tanpa menikahinya, hingga wanita itu mampu menebus dirinya dengan harta yang diwarisi dari suaminya, atau hingga mati sehingga hartanya bisa mereka warisi. Namun, apabila wanita itu pergi sebelum dilempari kain, maka wanita itu lebih berhak atas dirinya. Tradisi itu berlangsung terus hingga wafatnya Abu Qays bin al-Aslat yang meninggalkan seorang istri bernama Kabisyah binti Ma'n. Anaknya dari istri yang lain melemparkan kain kepada Kabisyah dan mewarisi pernikahan bapaknya. Namun, setelah itu dilakukan, Kabisyah justru ditinggal pergi dan tidak dinafkahi. Ia disakiti agar menebus dirinya. Ia pun mengadukan perkara tersebut kepada Rasulullah saw. Lalu turunlah ayat ini.3

Short post here
Extended post here

Dengan turunnya ayat ini, praktik mempusakai wanita dilarang secara tegas. Ketentuan hukum ini berlaku dalam semua keadaan, baik wanita yang diwarisi itu merasa ridha atau terpaksa.  Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Walâ ta'dhulûhunna litadzhabû bi ba'dhi mâ ataytumûhunna illâ an ya'tîna bi fâhisyah mubayyinah (Janganlah kalian menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata).

Huruf di sini bisa lâ nâhiyah yang memberikan makna larangan, bisa pula nâfiyah mazîdah li ta'kîd an-nafi (nafi tambahan untuk menegaskan makna nafi). Maknanya, perbuatan yang disebutkan berikutnya juga tidak halal.4

Secara bahasa, kata ta'dhulu dari kata al-'adhl yang bermakna at-tadhyîq wa al-habs (menyusahkan dan menahan).5 Dalam konteks ayat ini, al-'adhl berarti at-tadhyîq bi al-man' min al-tazwîj (menyusahkan dengan cara menghalangi untuk menikah).6 Dengan demikian, ayat ini dapat dipahami sebagai larangan menahan dan menghalangi wanita untuk menikah lagi dalam rangka menyusahkan mereka.

Al-Hasan berpendapat, pihak yang diseru ayat ini adalah para wali mayit. Di zaman Jahiliyah, mereka biasa melarang wanita yang ditinggal mati suaminya untuk menikah lagi.7 Sebagaimana dijelaskan di muka, tindakan itu dilakukan agar mereka bisa mewarisi hartanya atau wanita itu memberikan maharnya kepada mereka jika dia hendak menikah lagi.

Menurut Ibnu Abbas, Qatadah, as-Sudi, adh-Dhuhak,8 dan sebagian besar mufassir,9 pihak yang diseru adalah para suami; yakni para suami yang tidak lagi menyukai istrinya dan ingin menceraikannya, lalu mereka mempergaulinya dengan buruk dan menyusahkannya agar mau menebus dirinya dengan mahar yang telah diberikan kepadanya.10 Menurut al-Jashash dan al-Andalusi, pendapat ini lebih kuat. Argumentasinya, orang yang telah memberikan harta kepada wanita adalah suami.11 Demikian juga menurut al-Qurthubi, Ibnu 'Athiyah, dan asy-Syaukani. Para mufassir itu menyatakan, jika istri melakukan perbuatan keji, yang berhak menahannya hingga dia bisa pergi dengan hartanya menurut Ijma bukanlah wali, namun suaminya.12

Larangan tersebut berlaku selama istri itu tidak melakukan perbuatan fâhisyah mubayyinah (perbuatan keji yang nyata). Secara bahasa fâhisyah berarti al-fi'lah asy-syanî'ah al-qabîhah (perbuatan yang buruk lagi tercela), sedangkan mubayyinah berarti bayyinah zhâhirah wâdhihah (jelas, nyata, dan gamblang).13

Menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Said bin al-Muasayyab, asy-Sya'bi, Hasan al-Bashri, dan beberapa mufassirr lainnya, yang dimaksud dengan kata fâhisyah di sini adalah zina.14 Ibnu Abbas (dalam riwayat lain), Ikrimah, dan adh-Dhuhak memaknainya sebagai nusyûz dan maksiat. Ibnu Jarir lebih memilih makna secara umum yang meliputi zina, maksiat, nusyûz, dan semacamnya.15 Itu berarti, jika seorang wanita berzina atau nusyûz, dan terdapat bukti-bukti yang bisa diterima, suaminya berhak meminta kembali mahar yang telah diberikan kepadanya.

Setelah melarang beberapa tindakan zalim yang biasa dilakukan terhadap para wanita, Allah Swt. berfirman: Wa'âsyirûhunna bi al-ma'rûf (Bergaullah kalian dengan dengan mereka secara patut). Seruan ini ditujukan kepada para suami agar mereka mempergauli istri-istri mereka secara makruf.

Menurut ath-Thabari, yang dimaksud bi al-ma'rûf adalah dengan segala hal yang diperintahkan syariah dalam mempergauli mereka, yakni dengan menunaikan hak-hak mereka.16 Beberapa mufassir menyatakan bahwa ma'rûf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan perbuatan.17 Al-Jazairi memaknai ma'rûf sebagai tindakan yang adil dan ihsân.18 Asy-Syaukani menggarisbawahi, semua itu bisa berbeda-beda, bergantung pada kondisi suaminya; dari segi kekayaan, kemiskinan, ketinggian, dan kerendahannya.19

Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: Fa in karihtumûhunna fa 'asyâ an akrahû syay[an] wa yaj'ala Allâh fîh khair[an] katsir[an] (Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka [maka bersabarlah], karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak).

Di akhir ayat ini Allah Swt. mendidik hamba-Nya agar lebih bisa menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya, selain zina dan nusyûz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai itu terdapat sisi-sisi kebaikan.

Berlaku Adil Terhadap Wanita

Ayat ini merupakan salah satu dari upaya Islam melenyapkan semua bentuk kezaliman terhadap wanita, seraya mengembalikan semua yang menjadi hak-haknya. Tradisi yang memperlakukan wanita layaknya harta benda yang dapat diwarisi dihapus. Tindakan yang memeras mereka dan mengebiri hak-hak mereka dengan cara menghalangi mereka meminta cerai dan mencari suami lain-padahal ia tak lagi dipergauli secara baik-juga dilarang.

Islam telah menetapkan suami-istri sebagai sahabat yang saling mengisi dan mengasihi. Masing-masing diberi sejumlah hak dan kewajiban. Ayat ini memerintah para suami agar mempergauli istri-istri mereka secara makruf. Allah Swt. berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْف

Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (QS al-Baqarah: 228).

Bagi suami, berlaku baik terhadap istri harus menjadi catatan penting. Sebab, Rasulullah saw. menjadikan perlakuan baik terhadap istri sebagai pertanda kebaikan seseorang. Rasulullah saw. bersabda:

«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِيْ»

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku. (HR al-Hakim dan Ibnu Hibban).

Rasulullah saw. adalah teladan sempurna bagi setiap suami yang ingin mempergauli istrinya dengan baik. Beliau menggilir istri-istrinya di setiap malam dengan adil, memberi mereka nafkah, bersikap lemah-lembut kepada mereka, memuliakan mereka, dan sabar terhadap kemarahan mereka. Kecemburuan dan percekcokan di antara istri-istrinya dihadapi dengan tenang. Tak kalah pentingnya, beliau senantiasa mendidik istri-istrinya sehingga menjadi wanita utama.

Ayat ini juga mengajak hamba-Nya untuk belajar bersabar dalam menghadapi sesuatu yang tidak disenangi pada istrinya. Ketika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya tidak lantas suami bersegera menceraikannya.

Semestinya suami harus berpikir lebih jernih, tidak adakah sisi-sisi lain yang dia sukai pada istrinya? Jika dia mengambil keputusan cerai dan mencari istri baru, adakah jaminan istrinya yang baru terbebas dari perkara yang tidak dia sukai? Bagaimana jika istri berikutnya juga terdapat sejumlah perkara yang tidak dia sukai, apakah dia juga akan menceraikannya? Jika itu dilakukan, betapa sering dia harus berganti-ganti istri untuk menemukan istri yang bisa memuaskan segala sisinya.

Suami yang menuntut istrinya tanpa cacat selayaknya juga harus berkaca. Apakah dia telah menjadi suami sempurna yang bisa memuaskan istrinya di segala sisinya? Jika tidak, mengapa dia harus menuntut sesuatu yang ia sendiri tidak bisa melakukannya? Rasulullah saw. bersabda:

«لاَ يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً وَإِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا بِآخَرَ»

Janganlah seorang Mukmin membenci istrinya yang Mukminah. Jika dia tidak menyukai suatu perangainya, niscaya dia meridhai perangainya yang lain. (HR Muslim).

Melalui ayat ini, keadilan Islam tehadap wanita tergambar jelas. Islam menjaga kehomatannya, mengangkat martabatnya, dan melindungi hak-haknya. Kelemahan pada diri wanita tidak boleh dijadikan sebagai peluang bagi siapapun untuk berbuat aniaya terhadapnya. Adakah ideologi dan sistem kehidupan yang lebih adil daripadanya?

Wallâh a'lam bi ash-shawâb.

Catatan Kaki:

  1. Al-Qurasyi al-Baghdadi, Zâd al-Masîr fî 'Ulûm at-Tafsîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 100.

  2. Riwayat yang cukup lengkap tentang ini dapat dilihat dalam al-Thabari, Jâmi' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 647-649; as-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma'tsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 234-235.

  3. Al-Baghawi, Ma'âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 323; al-Khazin, Lubâ at-Ta'wîl fî Ma'ânî at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 357.

  4. An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta'wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 242; al-Alusi, Rûh al-Ma'ânî, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 451.

  5. Al-Alusi, Rûh al-Ma'ânî, vol. 3, 451; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol.1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 480.

  6. Abu Ali al-Fadhl, Majmû' al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt), 39.

  7. Al-Jashash, Ahkâm al-Qur'ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 157.

  8. Al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 212; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-Azhim, vol. 1 (Riyadh: Dar Ala, al-Kutub, 1997), 570.

  9. Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta'wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 52; Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr, vol. 9 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 10.

  10. Ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr, vol. 9, 10.

  11. Al-Jashash, Ahkâm al-Qur'ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 157; al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 212.

  12. Al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 6; Ibnu 'Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 3, 27; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 555.

  13. Az-Zuhayli, at-Tafsîr al-Munîr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 299.

  14. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhim, vol. 1, 570.

  15. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhim, vol. 1, 570.

  16. Ath-Thabari, Jâmi' al-Bayân, vol. 3, 654.

  17. Ath-Thibrisi, Majma' al-Bayan fi Tafsîr al-Qur'ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1993), 40; at-Tafsîr al-Kabîr, vol. 9, 11; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 1, 480.

  18. Al-Jazairi, Aysar at-Tafâzîr li Kalâm al-'Aliyy al-Kabîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 543.

  19. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 556.

sumber: milist

29 January 2007

Syari’at Islam

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِي


وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul’, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.”

Penerapan syari'at Islam menuntut upaya yang lebih dari sekedar sosialisasi tentang perlunya syari'at Islam. Dalam upaya pembentukan kesadaran masyarakat tentang syari'at Islam, terdapat beberapa kendala yang bersifat deeprooted dari hanya sekedar ketidakfahaman dar keengganan masyarakat untuk menerimanya. Paling tidak, kendala historis, sosiologis dan ideologis perlu dicatat dalarruupaya sosialisasi syari'at Islam yang lebih intens.

Dari segi legal historis misalnya, efek kolonialisme Belanda berpengaruh besar terhadap hukum positif yang berlaku di Indonesia. Kebiasaan berhukum dengan standar kolonial ini menjadikan umat Islam merasa asing dengan hukum agamanya sendiri. Karena hukum menyangkut kesadaran tentang keadilan, misalnya, konsepsi masyarakat tentang keadilan itu sendiri dipengaruhi oleh sistem hukum yang ada.

Dari segi sosio historis, kolonialisme juga telah menciptakan struktur masyarakat yang terpolarisasi baik secara agama, status sosial maupun budaya. Dalam konteks berbudaya, ethnocentrism dan xenocentrism merupakan produk kolonial yang telah membentuk mentalitas masyarakat Indonesia. Ethnocentrism dalam hal ini adalah anggapan bahwa budaya barat merupakan standar budaya masyarakat yang modern dan beradab, sementara xenocentrism menunjukkan bahwa budaya dan adat bangsa sendiri lebih inferior ketimbang budaya barat-kolonial. Termasuk dalam konteks ini adalah rasa inferior terhadap atribut dan karakter yang melekat pada agama masyarakat terjajah, dan rasa superior jika mengadopsi budaya barat yang nilai rasional, progresif dan humanis. Persoalan HAM, misalnya, harus menggunakan standar barat termasuk isu-isu tentang jender dan demokrasi.

Short post here
Extended post here

Xenocentrism dan Ethnocentrism semakin kuat karena dukungan agen penyebar budaya yang menggunakan kekuatan media massa sebagai pembentuk opini publik. Kekuataan inilah yang terus mewariskan mentalitas inferior terhadap atribut budaya dan agama sendiri dan perasaan bangga mengadopsi budaya barat.

Selain itu, dari segi politico historis, sejarah tentang DI/TII diabadikan sebagai icon pemberontakan kelompok Islam yang berpotensi mengancam integrasi bangsa. Image ini memunculkan phobia (ketakutan) dan alergi kepada hal-hal yang bersentuhan dengan kritik terhadap ideologi negara beserta perangkat-perangkat hukumnya dan altematif tawaran Islami.

Dalam konteks ideologis, fenomena tuntutan syari'at Islam dianggap sebagai artikulasi kebangkitan Islam yang sarat dengan unsur kekuasaan. Upaya itu dianggap sebagai simbol paling tinggi dari politik Islam, karenanya harus dilakukan pembendungan. Politik bahasa dengan memperkenalkan idiom-idiom fundamentalis, teroris, radikal dan militan merupakan contoh pertarungan ideologi yang memasuki ranah (area) media massa dalam melakukan distorsi terhadap upaya membumikan Islam. Perdebatan di lembaga legislatif dan perdebatan mengenai produk perundang-undangan juga merupakan representasi atas hal itu.

Upaya sosialisasi syari'at Islam memerlukan diversifikasi strategi dan metode yang bersifat jangka panjang dan pendek. Hal-hal yang berkaitan dengan persoalan mentatitas yang bersifat deeprooted tidak bisa diatasi dengan kegiatan insidental. Upaya agar masyarakat dapat melakuakn internalisasi terhadap nilai-nilai yang dikandung dalam syari'at Islam perlu dilembagakan. Di samping itu, upaya ini harus diluruskan sejak awal bahwa penerapan syari'at Islam bersifat ideologis dan bukan politis maupun hanya sebatas respon terhadap kegagalan modernisme yang dihadirkan di tengah masyarakat. Penerapan syari'at Islam merupakan upaya untuk mewujudkan islam yang rahmatan lil 'alamin.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita dalam merespon persoalan-persoalan yang terjadi di seputar kita antara lain:

Pertama, menegaskan adanya hubungan antara persoalan-persoalan yang disebutkan terdahulu dengan tingkat ke-Islaman kita; persoalan-persoalan tersebut terkait dengan pemahaman kita terhadap Islam, terkait dengan komitmen kita melaksanakan prinsip-prinsip Islam dan terkait dengan konsistensi kita untuk menjadikan Islam sebagai solusi masalah sosial. Allah SWT akan menguji kita dengan pelbagai masalah untuk menegaskan keimanan kita pada-Nya, untuk menjadikan kita lebih matang dengan pengalaman dan untuk mengetahui siapa yang menjadi lawan dan kawan dalam menegakkan Islam.

Kedua, diperlukan kesabaran dalam merespon persoalan di atas yang merupakan sunnatullah di mana ujian perlu diberikan kepada orang-orang Mu'min. Sabar berarti menahan diri dari mengambil jalan pintas yang tidak diridhai Allah dengan menghalalkan segala cara untuk mengatasi persoalan. Sabar menuntut keyakinan bahwa balasan baik dari Allah pasti akan datang. Sabar meminta kita untuk bersikap yakin terhadap adanya jalan keluar. Sabar harus disertai dengan permintaan pertolongan kepada Allah SWT. Sabar berarti jauh dari berkeluh kesah dan putus asa.

"Sungguh indah kehidupan seorang mu'min. Sesungguhnya semua urusan adalah baik baginya. Jika mendapatkan kebaikan, ia akan bersyukur dan kesyukurannya ini adalah baik baginya; dan jika ditimpa musibah, ia akan bersabar dan kesabarannya itu adalah baik baginya". (HR. Bukhari)

Ketiga, Kondisi yang menjadi masalah bagi Ummat Islam tidak seluruhnya merupakan kesalahan internal tetapi juga terdapat kekuatan luar yang memang tidak menginginkan ummat Islam bersatu. Allah berfirman:

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ

"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan juga kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan" (QS. Ali Imran: 186)

Kalimat "Adzan katsira...” DR. Yusuf Qardhawi memberi komentar ayat tersebut dengan mengatakan: "teror lisan" pasti dilancarkan kepada kaum beriman untuk merusak dakwah mereka, mendiskreditkan dan menimbulkan keraguan di sekitar citra dan hakekat sejarah mereka. Suatu peperangan yang menggunakan senjata intrik, pemalsuan, provokasi dan fitnah. Karena itu kaum Muslimin harus mempersiapkan diri untuk menghadapi gangguan-gangguan tersebut dan bersabar menelan pahitnya gangguan itu sampai Allah memenangkan yang haq dan menghancurkan yang bathil".

Keempat, optimisme bahwa Allah pasti akan memberikan jalan keluar. Optimisme adalah modal psikologis untuk tidak terus terpuruk dalam kesedihan. Tidak jarang kita melihat bahwa krisis terus berlangsung karena kita telah diliputi rasa putus asa terlebih dulu. Kondisi ini semakin memperburuk motivasi kita untuk bekerja. Kekuatan usaha kita banyak bergantung pada semangat kita mencari ridha Allah SWT. Rahmat Allah tidak datang dengan sendirinya, tetapi dicari untuk didapat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Al Quran.

وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ …

“… dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS. Yusuf: 87)

Semoga Allah SWT memberikan jalan keluar, memberikan kekuatan untuk bersabar, memelihara rasa optimisme dalam mencari rahmatNya dan memberkahi segala/langkah untuk menyelesaikan persoalan. Amiin.

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. Al Israa: 16)

Wallahua’lam bishshawwaab

edited from: Khutbah 'Idl Fitri by H. Ali Mochtar N, MA

14 January 2007

Langit dan Laut Bercinta

Dahulu kala, langit dan laut saling jatuh cinta.
Mereka sama2 saling menyukai 1 sama lain.
Saking sukanya laut terhadap langit, warna laut = langit,
saking sukanya langit terhadap laut,warna langit = laut.

Setiap senja datang,
si laut dengan lembut sekali membisikkan "aku cinta padamu" ke telinga langit.
Setiap langit mendengar bisikan penuh cinta laut
langit tidak menjawab apa2 hanya tersipu2 malu wajahnya semburat kemerahan.

Suatu hari, datang awan...
begitu melihatkecantikan si langit,
awan seketika itu juga jatuh hati terhadap langit.
Tentu saja langit hanya mencintai laut,
setiap hari hanya melihat laut saja.

Awan sedih tapi tak putus asa,
ia mencari cara dan akhirnya menemukan akal bulus.
Awan mengembangkan dirinya sebesar mungkin dan menyusup ke tengah2 langit dan laut, menghalangi pandangan langit dan laut terhadap 1 sama lain.

Laut merasa marah karena tidak bisa melihat langit,
sehingga dengan gelombangnya,
laut berusaha menyibak awan yang mengganggu pandangannya.
Tapi tentu saja tidak berhasil.

Lalu datanglah angin,
yang sejak dulu mengetahui hubungan laut dan langit
merasa harus membantu mereka
menyingkirkan awan yang mengganggu.

Dengan tiupan keras dan kuat, angin meniup awan ...
Awan terbagi2 menjadibanyak bagian,
sehingga tidak bisa lagi melihatlangit dengan jelas,
tidak bisa lagi berusaha mengungkapkan perasaan terhadap langit.

Sehingga ketika merasa tersiksa dengan perasaan cinta terhadap langit,
awan menangis sedih.
Hingga sekarang, kasih antara langit dan laut tidak terpisahkan.
Kamu juga bisa melihat di mana mereka menjalin kasih.
Setiap ke laut, di mana ada 1 garis antara laut dan langit, di situlah mereka sedang bercinta.


nice pick from : Cahaya Diatas Cahaya

08 January 2007

Kenali Lawan Bicaramu

Komunikasi antara dua orang atau lebih adalah hal sehari-hari yang kita lakukan, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu dengan yang lainnya. Komunikasi yang dibangun ini adalah untuk mempererat hubungan diantara mereka baik hanya untuk saling sapa saja ataupun untuk tujuan-tujuan tertentu. Nah, berkaitan dengan menjalin hubungan komunikasi ini adalah penting untuk mengenal karakater lawan kita dalam berkomunikasi. Ini penting karena untuk menjaga agar hubungan yang terbina tetap baik dan saling menguntungkan dalam artian tidak timpang atau lebih parah dapat menimbulkan ekses negatif.

Golongan darah ternyata menentukan cara orang berpikir, berucap dan bertindak. Hal ini terutama diyakini oleh orang-orang Jepang secara lebih ketat. Praktek pemilihan golongan darah ini dilakukan oleh mereka pada saat akan merekrut tenaga kerja untuk kebutuhan profesional. Untuk jenis posisi tertentu, jenis golongan darah yang dibutuhkan akan berbeda dengan untuk posisi lainnya. Karena menurut keyakinan orang Jepang, tidak semua golongan darah dapat bekerja sama baiknya di semua posisi. Adalah seorang Furukawa Takeji yang pertama kali meneliti dan menyatakan bahwa golongan darah seseorang akan mempengaruhi kepribadian dan karakter orang tersebut secara langsung.

Seorang motivator, Andrie Wongso dalam sebuah bukunya yang berjudul "Understanding Your Communication Styles – Memahami Gaya Komunikasi Anda", membahas mengenai berbagai karakter orang dari golongan darahnya. Dari jenis golongan ini beliau memetakan berbagai jenis karakter manusia. Saya tidak akan membahas semuanya di sini silahkan anda mencari atau membeli buku tersebut di toko-toko buku yang ada.

Karena kebetulan golongan darah saya A maka akan saya bahas bagaiman karakter manusia dari golongan darah tersebut, sehingga anda maupun saya bisa berkomunikasi dengan baik karena paling tidak tahu sedikit bagaimana kita harus berkomunikais dengan orang-orang bergolongan darah A ini :-).

Karakter Orang Bergolongan Darah A

Orang dengan golongan darah A memiliki kekuatan karakter yang mengakar kuat yang akan membantu mereka untuk tetap tenang dalam krisis ketika semua orang panik menghadapi situasi serupa. Mereka cenderung menghindari konfrontasi, dan sesungguhnya kurang nyaman berada di antara orang banyak. Mereka biasanya pemalu dan terkadang suka mengasingkan diri. Mereka mencari keharmonisan dan sangat sopan, tetapi mereka sebenarnya tidak pernah benar-benar cocok dengan orang lain. Mereka sangat bertanggung jawab. Jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan, mereka lebih suka mengerjakannya sendiri. Orang-orang dengan golongan darah ini selalu mengukir sukses dan sangat perfeksionis. Mereka juga sangat kreatif, dan paling artistik di antara semua golongan darah yang ada karena kesensitifan mereka.

Cara Berkomunikasi dengan Orang Bergolongan Darah A

  • Jangan mengangkat topik yang konfrontatif, misalnya, topik kontroversial karena mereka orang yang tidak suka membuat konfrontasi dengan lawan bicara.
  • Gunakan kata-kata yang relatif sopan karena mereka sangat sensitif dan terkadang konservatif sehingga kata-kata yang tidak sesuai dengan standar kesopanan minimal akan dapat menyinggung mereka.
  • Jika menjawab usahakan dengan lengkap dan bermakna karena mereka adalah orang yang sangat sempurna dan kurang menyukai hal yang setengah-setengah.
  • Mintalah pandangan dan pendapat mereka karena mereka sangat kreatif untuk hal ini dan dengarkan dengan saksama ketika mereka menjelaskan.
  • Jangan melebihi mereka saat menyampaikan sesuatu. Artinya, jangan sampai mereka merasa dilampaui dalam hal kepintaran dan pengalaman, misalnya.
  • Hargai mereka dengan memuji seperlunya karena pujian yang berlebihan akan membuat mereka ragu dengan ketulusan si pemuji.

Sebagai tambahan, orang golongan darah A cenderung menyukai topik-topik yang bernuansa damai dan kooperatif. Mereka tidak menyukai topik yang berkaitan dengan sepak terjang atau kepribadian orang lain yang tidak ada parameter jelasnya. Mereka sangat sensitif, dalam arti setiap kata yang diterima oleh akal sehat mereka akan menjadi tolok ukur mereka terhadap orang yang diajak berkomunikasi. Untuk itu, lebih berhati-hatilah jika berhadapan dengan orang golongan darah A ini karena mereka sesungguhnya adalah pengamat yang luar biasa.

sumber: Andrie Wongso

05 January 2007

Imperialisme Modern

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

"
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. " (Al-Baqarah: 120).

Bentuk ketidakrelaan Yahudi dan Nasrani dapat dibuktikan melalui fakta sejarah, berlangsung dari dulu hingga kini, kadang tidak diperlukan analisa tinggi untuk memahaminya, masyarakat awam juga bisa membaca fakta yang "kasat mata" itu.

Konflik hubungan Islam dengan Yahudi mulai memburuk terutama sejak mereka melakukan konspirasi bersama pasukan kafir Mekah untuk memusuhi kaum Muslim di Madinah hingga akhirnya mereka diusir dari Madinah dan Khaibar. Peristiwa Khaibar di kemudian hari menjadi satu peristiwa paling traumatis dan mewariskan dendam kesumat orang Yahudi hingga berabad-abad.

Pada masa sahabat, Yahudi melakukan infiltrasi dengan cara menyusup ke tengah-tengah barisan Islam. Puncaknya, mereka berhasil membunuh Khalifah Amirul Mukminin Umar ibnil Khatthab. Mereka juga berhasil membangkitkan fitnah atas diri Utsman bin Affan, dan mempertajam pertentangan antara kubu Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan. Tidak hanya sampai di situ, mereka bahkan menyusup ke barisan Syi'ah dan kelompok-kelompok militan lainnya dengan pola provokasi agar kelompok-kelompok itu melakukan perlawanan, baik terhadap idiologi maupun institusi as-sawad al-a'dham (kelompok mayoritas) saat itu.

Short post here
Extended post here

Sedangkan konflik pertama kali dengan kaum Nasrani terjadi pada Perang Mu'tah (8 H) dan Perang Tabuk, melawan tentara Romawi (Bizantium). Perang Mu'tah terjadi karena al-Harits ibnu Umair al-Azady yang diutus Nabi untuk membawa surat kepada pemimpin Bushro, namun dalam perjalanan dihadang Syurahbil bin Amr al-Ghassany, pemimpin al-Balqa', masuk wilayah Syam di bawah pemerintahan Kaisar Romawi. Syurahbil mengikat al-Harits dan membawanya ke hadapan Kaisar, lalu dia memenggal lehernya. Padahal, membunuh duta merupakan kejahatan yang amat keji dan sama halnya mengumumkan perang.

Banyak telah tersebut dalam sejarah mengenai peperangan antara ummat muslim melawan tentara kafir yahudi dan Nasrani. Puncak peperangan tersebut adalah perang Salib yang berlangsung sangat lama. Alhamdulillah akhirnya dibawah komando seorang panglima gagah berani Shalahuddin Al Ayyubi panji Islam masih tetap berkibar dengan perkasa tak tergoyahkan.

Namun, sudah usaikah perang itu kini? T
ernyata belum, karena sesudah itu ada perang salib gaya baru berupa ekspedisi kolonialisme bangsa Eropa ke dunia muslim. Inggris menjajah India, Mesir, Irak, Yordania, dan Malaysia. Prancis menjajah Suriah, Libanon. Belanda menjajah Indonesia setelah sebelumnya dijajah Portugis; Spanyol menjajah Moro dan seterusnya. Tampaknya mereka banyak belajar dari sejarah, bahwa sulit sekali mengalahkan umat Islam di medan pertempuran sepanjang Aqidah masih berakar dalam sanubari mereka.

Seiring penjajahan atas negeri muslim, mereka melakukan serangkaian program strategis, tentu semua tak lepas dari misi idiologi, seperti missi 3 G yang sangat terkenal: Gold-Glory-Gospel. Program tersebut, misalnya, selain berupa eksploitasi kekayaan alam, juga berupa dikotomi pendidikan antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum. Ibarat bom waktu, praktik ini berdampak pada lahirnya kader "intelektual " yang tidak memiliki kepahaman dan kejuangan akan dienul Islam, padahal di kemudian hari mereka banyak tampil mengisi jabatan-jabatan strategis dan bahkan memimpin negeri muslim dalam format nation state yang sekuler. Di sisi lain, lahir kaum "ahli dien" yang tidak mendapatkan tempat strategis dalam negara--kalau tidak boleh dikatakan kurang mampu memimpin--serta terkesan hanya sebagai 'aksesoris' dalam ritus formal kagamaan. Kaum ini bahkan sering digambarkan sebagai simbol kemunduran dengan performa lusuh dan menggelikan.

Aspek lain yang mereka serang adalah moralitas (akhlak) masyarakat muslim. Orientalis Syatilyn memberikan statement yang cukup terkenal, "Gelas dan artis mampu menghancurkan umat Muhammad daripada seribu meriam, maka tenggelamkanlah umat Muhammad ke dalam cinta materi dan syahwat." Hidupnya kolonial di tengah-tengah negeri muslim dengan jargon kemajuan otomatis memberikan inspirasi bagi masyarakat muslim dalam mengartikan arti "kemajuan" itu sendiri yang oleh bangsa penjajah diwujudkan dengan memberikan contoh dalam bentuk pergaulan bebas, mabuk-mabukan, dan perilaku amoral lainnya.

Aspek lain adalah "Invasi Pemikiran" (Gozwul Fikri). Mereka belajar dari resep kemenangan Islam, tak lain adalah akidah sahihah yang selalu melandasi setiap perilakunya, juga jiwa merdeka dari perbudakan sesama manusia serta semangat "hidup mulia atau mati syahid". Dalam kesimpulan mereka, sepanjang "ruh" dari resep tersebut masih mengurat mengakar pada setiap pribadi muslim, maka kekalahan episode berikutnya adalah sebuah keniscayaan.

Karenanya, missionaris Zwimmer pada konferensi yang diselenggarakan negara-negara imperialis di kota Al-Quds menyatakan, "Tugas besar di pundak missionaris yang dikirim negara-negara Nasrani ke negara-negara Islam ialah mengeluarkan umat Islam dari keislamannya agar ia menjadi manusia yang tidak memiliki hubungan dengan Allah. Dengan sendirinya ia kemudian tidak berpegang teguh kepada akhlak yang merupakan lambang suatu bangsa dalam kehidupan." Gladston dengan bahasa lain, "Sesungguhnya kepentingan Eropa di Asia Jauh dan Tengah tetap terancam selama di sana masih ada Alquran yang dibaca dan ka'bah yang kerap dikunjungi." Louis IX berpesan kepada negara Eropa: "Kalian tidak mungkin dapat mengalahkan kaum muslimin di medan perang, kalian harus mengalahkan mereka terlebih dahulu di medan pemikiran. Setelah itu akan mudah bagi kalian untuk menguasai mereka. Dan, mereka adalah kaum yang hati-hati terhadap bius-bius budaya kalian."

Invasi itu berupa tayskik (menanamkan keragu-raguan dan pendangkalan Islam), tasywih (menghilangkan kebanggaan umat Islam terhadap diennya dengan, misalnya, pencitraan negatif bahwa Islam kejam, teroris...), tadzwib (pencampuradukan antara haq dan bathil hingga membingungkan umat Islam dalam memilih) dan taghrib (pembaratan dunia Islam dengan mendorong umat Islam agar menerima pemikiran dan budaya Barat, seperti sekulerisme, nasionalisme dan sebagainya). Secara teknis, antara lain melalui kaderisasi putra-putri terbaik Islam dengan memberikan beasiswa untuk belajar Islam di negeri Barat, yang tentu saja penuh distorsi. Dengan "bekal" legalitas intelektual, sepulang dari study, kader-kader tersebut akhirnya lebih banyak menyuarakan islam versi Barat, didukung hegemoni musuh akan media massa, menjadikan mereka cepat melejit dan selalu menjadi referensi umat untuk klarifikasi atas wacana keislaman yang aktual. Kadang hal itu tidak disadari oleh mereka, karena yang rusak pola pikirnya (tashowwur). Fitnah syubuhat (kesamaran, keraguan akan prinsip Islam) akhirnya "mewabah", sebagai efek domino dari invasi tersebut. Tragisnya, reaksi balik dari ulama' yang hanif dan kredibel tidak seimbang, tampaknya disamping karena tidak didukung sarana/kemampuan teknis yang memadahi, juga diakibatkan lemahnya iradah.

Natijahnya, saat strategi imprialisme modern berlangsung lama, disadari atau tidak, sebuah kekalahan menimpa negeri muslim hampir pada setiap lini kehidupan, mulai dari menjangkitnya paham nasionalisme sekuler di kalangan muslim yang berujung dengan mencampakkan hukum Allah, fitnah syubuhat, krisis akhlak yang akut, kekayaan alam yang sudah terkeruk hingga menghantarkan masyarakat muslim pada jurang kebangkrutan, kebodohan, dan ketertinggalan, serta ketergantungan.

Di antara "prestasi" spektakuler kerja sama Yahudi Nasrani adalah tumbangnya lembaga Khilafah Turki Utsmani. Kamal at-Taturk, "pemimpin masa depan", demikian mereka menjuluki, resmi membubarkan dan menggantinya dengan sistem sekuler 13 Maret 1924, setelah sebelumnya tampil sebagai sosok pahlawan yang dielu-elukan karena dianggap telah mengembalikan kewibawaan Turki dari kekalahan memalukan pada PD I 02 Agustus 1914 M. Tentu itu sekenario yang disiapkan dengan membuat perang jadi-jadian yang berakhir pada kemenangan Kamal, sebuah modus yang biasa dilakukan, baik dalam perjuangan idiologi maupun politik.

Secara kauniyah, bahwa permusuhan itu (Islam vs Yahudi dan Nasrani) berkesinambungan hingga kini, misalnya dapat dilihat pada tragedi-tragedi yang menimpa umat Islam di banyak belahan dunia seperti Palestina, Bosnia, Kosovo, Chechnya, Kasymir, Moro, Ambon, Poso, dan sekarang Afghanistan, disamping perang pemikiran yang juga masih berlangsung.

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al Baqarah: 217)

Syurga di langit Mu'tah

Hari itu, barisan para pemberani berderap rapi seperti gigi sisir yang indah. Langit Madinah menjadi saksi, kuntum-kuntum azzam yang menggelora dalam setiap dada. Mereka berkumpul, bersiap dengan semerbak iman.

Di sana, ada sesosok manusia yang mereka cinta sepenuh nafas di raga, Nabi Muhammad SAW. Dari bibir manisnya, sebuah seruan indah bergaung dengan sempurna. Angin sahara menyemilirkan sabda Rasulullah ke setiap gendang telinga para sahabat yang terpanggil untuk pergi. Bukan sembarang pergi, karena berperjalanan menempuh banyak lembah kali ini tidaklah untuk bersenang. Nabi yang Ummi, kekasih yang sungguh mereka cintai dengan begitu benderang, mengembankan sebuah amanah. Berjihad.

Hari itu di bulan Jumadil Awal tahun ke delapan Hijrah (629M), para sahabat yang begitu merindukan surga sebagai tebusan kehidupan fana dunia, menyambut seruan nabi mulia dengan berserpih kesungguhan. Alangkah indah bisa menjadi para mujahid pemberani pembela agama dengan jaminan pasti dari manusia mempesona seperti Muhammad. Sejarah menorehkan sebuah kisah pembunuhan utusan Muhammad, oleh gubernur Heraklius di Bushra. Itulah muasal genderang panggilan jihad. Para ksatria pilihan Al-Musthafa berjumlah 3000 orang. Mereka semua adalah para sahabat yang tangguh dan telah banyak melakukan peperangan. Al-Musthafa menunjuk Zaid bin Haritsh sebagai panglima.

Sebelum pergi, mereka mendengar untaian pesan nabi. Sebuah taklimat yang mereka patri dalam-dalam di relung dada:

Short post here
Extended post here

"Pabila Zaid syahid atau terluka, maka panglima kalian adalah Ja'far bin Abi Thalib.Jikalah Allah mentakdirkan Ja'far gugur dan terluka, adalah Abdullah bin Rawahah yang kan menggantikannya. Dan ketika Abdullah pun mengalami hal serupa, kalian diperkenankan memilih sendiri panglima pemberani"

Sebelum berderap menuju medan pertempuran, mereka masih juga mendengar dengung indah lantunan perintah Rasulullah, yang disemat baik-baik oleh para perindu surga :

"Jangan bunuh anak kecil,jangan bunuh perempuan,jangan menebang pepohonan,dan janganlah engkau menghancurkan rumah tempat bernaung"

Mereka pergi dengan banyak tengadah, kepada yang Maha Perkasa. Mereka berbaris menjauhi Madinah dengan banyak pinta yang dilantunkan oleh kaum Muslimin, semoga para ksatria kembali dengan membawa kemenangan.

Berita keberangkatan pasukan muslimin sudah terlebih dahulu sampai. Pihak musuh saat itu bersiap penuh. Penguasa Heraklius mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah di sekitar Syam. Selain itu didatangkan juga bantuan tentara yang terdiri dari orang Yunani dan orang Arab. Sejarah mengisahkan jumlah pasukan Rumawi yang bersiaga mencapai dua ratus ribu orang. Ketika mengetahui jumlah yang akan dihadapi begitu jauh dari perkiraan, banyak dari para sahabat yang merasakan kekhawatiran. Namun, Abdullah bin Rawahah yang dikenal berani dan suka bersyair itu dengan lantang berkata:

"Saudaraku, apa yang tidak kita senangi, justru itu yang kita cari sekarang ini, kita memerangi mereka bukan karena kehebatan senjata, bukan karena kekuatan dan juga bukan karena jumlah yang besar. Kita perangi mereka hanya karena kita mencinta agama yang dengannya Allah memuliakan kita. Marilah saudaraku, kita maju. Kita rengkuh satu dari dua pahala : menang atau mati syahid". Dan semangat para sahabat kembali menyala. Dengan mengucap basmalah, mereka kembali maju mendekati musuh.

Di perbatasan Balqa', desa Masyarif, akhirnya kedua pasukan bertemu, kaum Muslimin mengelak ke daerah Mu'tah sebuah desa di pinggiran Syam yang mereka anggap dapat dijadikan kubu pertahanan. Perang berkecamuk. Mu'tah mengabadikan keagungan iman para ksatria yang melawan dengan jumlah musuh tak sebanding. Zaid sebagai panglima melesat ke tengah peperangan seperti anak panah lepas dari busur tanpa sedikit keraguan pun. Kematian bukan hal yang ditakutinya, ia merindukan kemenangan atau mati syahid. Helai cinta kepada Al-Musthafa terjalin begitu rapi, hingga Zaid terus mengingat senandung jaminan manusia berparas mempesona, masuk surga. Zaid terus bertempur, mengayun pedang, mengejar musuh dan mempertahankan bendera. Namun badannya tak mempunyai mata, beberapa tombak tak kuasa ia elak.

Tombak-tombak musuh kian memburunya. Zaid tersungkur, wajahnya mencium jelita pasir yang bersimbah merah. Bendera tetap berada dalam genggaman. Ia rasakan tubuhnya semakin ringan, padahal kulitnya tak lagi sempurna, tak ada celah selain robek akibat ratusan tombak para sang durja. Sejeda kemudian, ada nafas terhembus dari raga sang panglima. Degup jantungnya berhenti, tak ada lagi denyut nadi. Panji Islam, tertancap agung di sebelahnya. Kibarnya mengangkasakan ruh yang disambut para bidadari dari surga. Kekasih Rasulullah pergi, temui Rabb yang Maha Tinggi.

Ja'far melesat mengais bendera dan kini bendera berkibar di tangan pemberaninya. Kecamuk perang kian berdentang. Pedang beradu pedang, tombak melayang tak kenal arah, kepala terpenggal, dada tertembus, belum lagi pekikan. Dan pabila terdengar gema Allahu Akbar, maka semakin banyak dada para pemberani membusung menjemput musuh. Bau amis menyeruak pengak. Ja'far melaju ke tengah kancah. Tak ada rasa takut yang hinggap, ia menyambut para penyerangnya.

Mu'tah bersaksi, banyak bibir sahabat tersenyum menyongsong penghilang kesenangan. Tak terkecuali dengan sang pengganti panglima, Segera ia melompat dari kuda kebanggaan. Sekali tebas, kaki-kaki kekar kudanya telah terbelah. Bukan, bukan ia tak mengenal kasih sayang, ia hanya khawatir kudanya kelak menjadi tunggangan musuhnya. Kini ia berada di pepasir Mu'tah, mengayun pedang dan mempertahankan bendera. Panji kebangggan Islam, terus terbumbung di angin sahara. Bau udara tak lagi sama. Ja'far terus menyongsong pasukan Rumawi sepenuh keimanan dalam hatinya. Sebuah syair ia bumbungkan ke angkasa. Deru angin membantu menghantar syairnya menembus langit dan pendengaran para prajuritnya :

Oh semerbak surga kian mendekat, segar dan sejuk gemericik air minumnya. Ada banyak kemilau tahta di sana. Dan Rum, Adalah Rum yang dekat azabnya, Kafir dan sangat jauh hubungan nasabnya. Bila bertemu, ku kan segera memenggal mereka

Detik selanjutnya, sebilah pedang terhunus merenggut sebelah tangan kanan pemegang bendera. Ja'far mundur. Tangan sebelah kirinya masih sempurna, wajah tampan yang mirip dengan raut Rasulullah itu masih tersenyum meraih panji kebanggan. Ia kembali melesat, menerjang pasukan berbaju besi. Dan kali ini tangan yang sebelah kiripun putus, dibabat penuh sang durja dari Romawi. Apakah Ja'far menangis pedih? Tidak, ia masih saja menerbangkan senyum kesyukuran, panji Islam tak boleh jatuh. Ia mendekap amanah Rasulullah dengan sisa tangan dan dadanya. Panji tetap berada di ketinggian. Ja'far memandang kibar bendera di angkasa, membayangkan seraut wajah yang melimpahinya kesayangan, wajah rembulan Al-Musthafa. Ingin sekali ia melaju lagi, namun badannya kini terbelah, pedang musuh begitu pongah. Pepasir Mu'tah menyambut sang syuhada. Ja'far rubuh menyusul panglima pertama. Awan berarak, udara bergerak, suara semakin memekak, namun tubuh Ja'far sunyi.

Setelah Ja'far syahid, Abdulllah bin Rawahah lah yang kini menyambut panji amanah Rasulullah. Dengan berkuda ia meraih bendera, sementara ia berfikir untuk turun, ia ragu sejenak. Mengenang sang pemberi amanah, langsung ia mengenyahkan keraguan dalam hatinya. "Kenapa engkau masih membenci surga wahai Abdullah," itulah yang dikatakannya kepada dirinya sendiri. Dengan hati lapang, ia maju sebagai panglima yang ketiga. Dan ternyata pilihannya tidak salah, ia pun syahid menyusul panglima-panglima kebanggaan Rasulullah.

Akhirnya setelah syahidnya Abdullah maka para sahabat melakukan pemilihan pemimpin pasukan, dan jatuhlah pilihan kepada bahu Khalid bin Walid yang terkenal ahli strategi perang. Khalid yang melihat kekuatan musuh begitu tangguh sedangkan semangat pasukan muslim kian melemah, mengatur siasat. Anak buahnya di posisikan berpencar dengan jumlah yang kecil. Posisi itu memanjang dan berada di belakang sisa pasukan. Ketika pagi tiba, pasukan yang berpencar itu melakukan hiruk pikuk yang riuh rendah hingga menimbulkan kesan bala bantuan datang dari pasukan Nabi. Dan memang kesan itu membuat gentar pihak musuh, mereka berfikir beribu kali untuk melakukan pertempuran. Pihak Rumawi kemudian memerintahkan pasukannya mundur. Hingga kesempatan ini digunakan Khalid juga untuk menarik pasukannya kembali ke Madinah. Pertempuran ini tidak memberikan kemenangan bagi ke dua belah pihak. Pasukan Muslimin pulang tanpa kemenangan dan juga kekalahan.

***
Berita petaka Mu'tah, segera sampai. Nabi berduka. Bergegas, langkahnya menuju rumah para panglima yang menjadi syuhada.

Tiba di rumah Zaid bin Harits yang merupakan anak angkatnya, saat itu tak seperti biasanya Nabi menangis atas sebuah kematian, hingga para sahabat yang menyaksikan bertanya-tanya dan khawatir. "Duhai manusia pilihan, mengapakah engkau menangisi sebuah kepergian?" tanya mereka kepada Nabi. Lembah madinah menjadi saksi, ketika bibir manis sang Al-Musthafa mendendangkan sebuah jawaban: "Ini adalah tangisan seorang kekasih kepada kekasihnya".

Untuk Ja'far, Al-Musthafa menggemakan suaranya di lengang udara "Aku, Muhammad, telah melihat Ja'far bersenang dalam Jannah memiliki dua sayap berbulu putih, berlumur darah".

Dan untuk mereka bertiga, yang telah syahid sebagai panglima, sebagai ksatria di taman sejarah, dalam satu peristiwa yang sama, dalam ekspedisi Mu'tah. Nabi berkata, "Mereka telah diangkat ke surga dan berada di ranjang emas".

***
Berbahagialah para perindu surga seperti mereka. Tidakkah kita menginginkan kenikmatan bertemu bidadari yang menurut Nabi, kerudung yang menyapu kepalanya saja tak pernah akan sebanding dengan keindahan yang pernah kau saksikan di dunia. Tidakkah kau memendam keinginan untuk tamasya ke sana? Menjumpai bidadari. Membuktikan syair Ibnul Qayyim dalam kasidahnya:

Kami bidadari jelita, Abadi..., suci..., pelepas dahaga Pandanglah kami, dan kau kan mampu berkaca Untuk apa ada sebening cermin Jika ada pipi merona Dan senyuman mutiara Pasangan kami Orang yang mulia

***
sumber: elazhar.net

Mu'tah

Malam yang sulit silih berganti datang kepadaku
Duka lara datang kepadaku jika manusia tidak bisa tidur
Ingat kekasih membuatku mengalirkan air mata dengan deras
Setiap kali aku ingat mereka, aku menangis
Ketahuilah, sesungguhnya kehilangan orang tercinta adalah musibah
Betapa banyak orang diuji, kemudian bersabar
Kulihat orang-orang pilihan kaum Mukminin gugur secara bergantian
Satu orang disusul orang lain
Allah tidak menjauhkan para korban yang meninggal secara bergantian
Di Mu’tah, di antaranya pemilik dua sayap, Ja’far,
Zaid, dan Abdullah yang meninggal secara beruntun
Ketika sebab-sebab kematian datang di suatu pagi
Mereka berjalan dan menuntun kaum Mukminin
Kepada kematian dengan senang hati dan cerah
Ia lebih putih daripada bulan purnama dan berasal dari keturunan Hasyim
Ia pantang menyerah dan pemberani jika menghadapi kezhaliman
Ia menikam hingga jatuh tanpa bantal
Di medan perang karena terkena tombak yang mematikan
Ia pun bersama para syuhada’
Pahalanya adalah Surga dan taman-taman hijau
Kami lihat Ja’far menempati janji Muhammad dan tegas dalam menyuruh
Islam selalu mempunyai pilar-pilar tangguh dari Bani Hasyim
Dan itu akan selalu menjadi kebanggaan
Mereka laksana gunung Islam
Sedang manusia rendah di sekitar mereka
Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Ja’far, saudaranya yaitu Ali
Ahmad yang terpilih manjadi nabi
Hamzah, Abbas, dan Aqil
Dengan mereka semua, segala kesulitan di masa-masa sulit menjadi hilang
Jika manusia mendapatkan kesukaran
Mereka adalah wali-wali Allah dimana Allah menurunkan hukumNya kepada mereka.
Dan pada mereka ada kitab yang suci ini.