27 February 2006

"Paus dan Al-Quran"
Oleh: Adian Husaini


Kristen dan Paus menolak paham relativisme iman, aneh, jika kaum Muslim malah ikut-ikutan mengadopsi nilai-nilai relativisme dalam Barat. Pada 17 Januari lalu, Surat Kabar ‘New York Sun’, menurunkan tulisan Daniel Pipes, berjudul “The Pope and the Koran” (Paus dan Al-Quran). Pipes, yang dikenal sebagai ‘ilmuwan garis keras’ dalam memandang Islam, mengungkap pernyataan Paus Benediktus XVI tentang Al-Quran , dalam sebuah seminar tentang pemikiran Fazlur Rahman, pada September 2005 lalu.

Paus, seperti dikutip Pipes, dari Pastor Joseph D. Fessio, menyatakan, bahwa dalam pandangan tradisional Islam, Tuhan telah menurunkan kata-kata-Nya kepada Muhammad, yang merupakan kata-kata abadi. Al-Quran sama sekali bukan kata-kata Muhammad. Karena itu bersifat abadi, sehingga tidak ada peluang untuk menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi atau menafsirkannya kembali. (There's no possibility ofadapting it or interpreting it).

Menurut Paus, sifat Al-Quran yang semacam itu, memiliki perbedaan utama dengan konsep dalam Yahudi dan Kristen. Pada kedua agama ini, kata Paus, Tuhan bekerja melalui makhluknya. Maka, kata-kata dalam Bible, bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi juga kata-kata Isaiah, kata-kata Markus.

Dalam istilah Paus, “Tuhan menggunakan manusia dan memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengungkapkan kata-katanya kepada manusia. (He's used His human creatures, and inspired them to speak His word to the world). Karena itu, menurut Paus, kaum Yahudi dan Kristen, dapat mengambil apa yang baik dalam tradisi (kitab) mereka dan menghaluskannya. Jadi, kata Paus, dalam Bible itu sendiri ada logika internal yang memungkinkan untuk disesuaikan dan diaplikasikan sesuain dengan situasi dan kondisi yang baru. (Thereis, in other words, "an inner logic to the Christian Bible, which permits it and requires it to be adapted and applied to new situations."). Dalam istilah Paus, Bible adalah “kata-kata Tuhan yang turun melalui komunitas manusia.”

Konsep itu tentu sangat berbeda dengan Al-Quran, yang hingga kini diyakini oleh kaum Muslimin, sebagai “lafdhan wa ma’nan minallah” (lafadz dan maknanya dari Allah). Meskipun sama-sama keluar dari mulut Rasulullah saw, tetapi sejak awal sudah dibedakan antara Al-Quran dengan hadits Nabi. Menurut Paus, karena sifat Al-Quran yang seperti itu, maka Al-Quran tidak dapat diubah dan tidak dapat diaplikasikan.(something dropped out of Heaven, which cannot be adapted or applied). Sifat yang tetap dan tidak berubah dari Al-Quran itu, kata Paus, memiliki dampak besar, yakni bahwa Islam adalah agama yang tetap (statis), yang terpaku pada satu teks yang tidak dapat diadaptasikan. (This immutability has vast consequences: it means "Islam is stuck. It's stuck with a text that cannot be adapted).

Daniel Pipes sendiri dalam artikelnya menyatakan kritiknya terhadap pendapat Paus tentang Al-Quran tersebut. Al-Quran, kata Pipes, tetap bisa diinterpretasikan, dan penafsiran itu selalu berubah. Al-Quran, sebagaimana Bible, juga memiliki sejarah. Jadi, simpul Pipes, Islam bukanlah statis, fixed, atau beku (stuck), sebagaimana dikatakan Paus, tetapi yang sangat besar diperlukan untuk membuat Islam terus bergerak atau berubah. (As this suggests, Islam is not stuck. But huge efforts are needed to get it moving again). Demikian pandangan Paus dan Pipes tentang Al-Quran dan Islam.

Pandangan Paus tentang Al-Quran itu perlu dicermati, sebab Paus yang sekarang memang dikenal sangat gigih dalam mempertahankan dogma-dogma keimanan Katolik. Ia dikenal sangat konservatif dalam menjaga doktrin Katolik. Pandangannya tentang Al-Quran, pada satu sisi, memberikan pengakuan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara konsep Al-Quran sebagai Kalamullah, dengan konsep Bible sebagai ‘firman Tuhan’, yang mengandung unsur manusiawi. Ini yang seharusnya juga disadari oleh umat Islam, khususnya kalangan cendekiawannya, sehingga tidak mudah begitu saja mengadopsi metodologi penafsiran Bible (hermeneutika) ke dalam metode penafsiran Al-Quran.

Karakteristik Al-Quran yang teks-nya diakui sebagai wahyu oleh umat Islam, sangat berbeda dengan karakteristik teks Bible yang diakui oleh Paus, mengandung unsur-unsurmanusiawi.
Tetapi, pada sisi lain, gambaran Paus tentang Al-Quran dan Islam, juga terlalu sederhana, bahwaseolah-olah semua ajaran Islam dan penafsiran terhadap Al-Quran adalah statis dan sama sekali tidak berubah.

Untuk hal-hal yang pokok (qath’iy) memang ayat-ayat Al-Quran tidak bisa ditafsirkan dengan multi tafsir. Semua kaum Muslimin akan bersepakat tentang hal-hal yang pokok dalam ajaran Islam. Semua umat Islam, misalnya, akan meyakini, bahwa Nabi Isa a.s. adalah nabi utusan Allah, bukan Tuhan atau anak Tuhan. Nabi Isa juga tidak mati di tiang salib, sebagaimana diyakini oleh Paus dan pengikutnya. Tetapi, tidak semua penafsiran Al-Quran bersifat beku dan jumud. Banyak ayat-ayat yang memungkinkan ada perbedaan pendapat dalam penafsiran.

Dalam ilmu tafsir, ayat-ayat itu dikenal dengan istilah ‘ayat-ayat dzanniy’. Tapi, apa pun perbedaan penafsiran dalam ayat-ayat dzanniy, umat Islam tetap berpegang pada teks Al-Quran yang sama. Tidak pernah umat Islam terpikir untuk membuat Al-Quran baru, kecuali dilakukan oleh sebagian kecil kalangan yang terpengaruh oleh cara berpikir dalam tradisi Kristen tentang Kitab mereka.

Jadi, gambaran Paus tentang ‘statisitas’ Islam, tidak sepenuhnya benar. Tapi, gambaran kaum liberal, yang mencoba menggambarkan Islam sebagai agama yang selalu berkembang mengikuti zaman dan situasi, juga tidak sepenuhnya benar. Karena Islam masih memiliki teks wahyu yang asli dalam bahasa Arab, yang dijadikan pegangan umat Islam, sehingga ada doktrin-doktrin pokok dalam Islam yang sudah sempurna sejak zaman Rasulullah saw, dan tidak pernah berubah sampai akhir zaman. Umat Islam memiliki teks wahyu yang asli, karena itu tidak ada masalah bagi umat Islam untuk menerapkan penafsiran secara tekstual terhadap Al-Quran.

Seperti dijelaskan pada catatan sebelumnya, masalah otentisitas teks Bible, hingga kini terus menjadibahan perdebatan hangat di kalangan teolog dan pakar Bible. Penemuan sejumlah naskah Bible di Nag Hammadi, tahun 1945, juga menambah daftar panjang perdebatan tentang teks-teks Bible mana yang sebenarnya otoritatif untuk dijadikan sebagai ‘Kitab Suci’. Kini, kaum Kristen hanya menjadikan empat Bible (Matius, Markus, Lukas, Yohanes), sebagai kitab yang disahkan (canon). Sejumlah Bible, seperti Bible Marry, Thomas, atau Bible Philip, tidak dipandang sebagai kitab canon.

Karena itu, kini buku-buku tentang Gnostik Bible dan Gnostik Christian terus bermunculan, yangmenggugat tradisi Kekristenan yang berlangsung sekitar 2000 tahun. Elaine Pagels, misalnya, dalam bukunya, The Gnostic Gospels, (London: Penguin Books, 1979), memunculkan berbagai tantangan pemikiran serius yang membongkar dasar-dasar keimanan kaum Kristen, termasuk masalah keabsahan Bible.

Sayangnya, sebagian kalangan Muslim sendiri, justru kemudian terjebak dalam keraguan tentang kebenaran Al-Quran sebagai Kalamullah. Tanpa sadar, bahwa pandangan semacam itu telah menghancurkan keyakinan agamanya sendiri, tanpa bekal keilmuan yang memadai. Kadangkala pandangan tentang Al-Quran yang disamakan dengan Bible hanya dijadikan batu pijakan untuk melakukan liberalisasi di dalam penafsiran al-Quran.

Yang perlu digarisbawahi pada kata-kata Diniel Pipes adalah ungkapannya, bahwa Islam bisa diubah dan bisa berubah, dan untuk melakukannya dilakukan usaha yang sangat besar. Usaha kaum orientalis dan Barat untuk mengubah Islam sudah dan sedang terus berjalan. Mereka berusaha menjadikan Islam sebagai ‘evolving religion’, agam yang selalu berkembang dan berubah, sehingga Islam menjadi tanpa bentuk lagi, sehingga tidak ada lagi Islam yang satu, tidak ada Islam yang asli.

Sebab, setiap agama akan selalu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang baru, sebagaimana yang terjadi dalam Yahudi dan Kristen. Yang ada, kata mereka, adalah Islam yang banyak, Islam yang warna-warni, dan masing-masing pihak tidak boleh mengklaim diri atau kelompoknya yang benar sendiri. Fenomena penyebaran paham ‘Islam relatif’ ini sebenarnya sungguh keterlaluan, sebab Paus saja, yang mengakui adanya usnur manusiawi dalam Bible, menolak keras paham relativisme iman.

Dalam bukunya yang berjudul, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L. Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of Relativism”. Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat.

Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaanBarat. (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” in the West”. (hal. 165-166). Dalampengantar bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan: “relativism has become a dominant element in twentieth century theology”. (hal. 10)

Jadi, jika kaum Kristen yang kitab sucinya mengandung unsur-unsur manusiawi menolak paham relativisme iman, maka tentulah sangat aneh, jika kaum Muslim malah ikut-ikutan mengadopsi nilai-nilai relativisme dalam peradaban Barat, yang ujung-ujungnya, adalah hilangnya keyakinan kaum Muslimin terhadap kebenaran agamanya sendiri. Wallahu a’lam. (Jakarta, 27 Januari 2006/hidayatullah.com).
Sistem Pidana Islam Versus Pola Pikir Liberal



Sistem pidana Islam dalam media massa atau buku-buku karya para orientalis kafir dan pengikutnya –yakni kaum liberal— selalu diopinikan kejam dan tidak manusiawi. Hukuman potong tangan untuk pencuri atau hukuman mati untuk orang murtad, misalnya, sering dituduh terlalu kejam dan sadis. Ujung-ujungnya, ide yang mereka tawarkan adalah mencari “substansi” sistem pidana Islam, yaitu memberikan hukuman bagi yang bersalah, apa pun bentuk hukumannya. Pencuri cukup dipenjara, misalnya, bukan dipotong tangannya. Pada akhirnya, sistem pidana kafir warisan penjajah tetap bisa bercokol terus di negeri Islam ini.

Pandangan sinis terhadap sistem pidana Islam itu lahir bukan karena sistem pidana Islam yang batil, melainkan lahir karena 2 (dua) alasan utama.

Pertama, secara konseptual, sistem pidana Islam dianggap bertentangan dengan pola pikir kaum sekuler/liberal. Misalnya, hukuman mati untuk orang murtad, dianggap kejam dan salah bukan karena Islamnya yang salah, tapi karena bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dianut secara fanatik oleh kaum sekuler.

Kedua, secara praktikal, sistem pidana yang sedang diterapkan memang bukan sistem pidana Islam. Hukum potong tangan untuk pencuri dipandang salah dan sadis bukan karena Islamnya yang salah, melainkan karena bertentangan dengan sistem pidana kafir warisan penjajah, yaitu pasal 362 KUHP. Dalam pasal ini, pencuri diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Patut diketahui KUHP ini adalah pidana warisan penjajah Belanda yang dikenal dengan nama Wetboek van Strafrecht yang berlaku di negeri muslim ini sejak 1946 (Muljatno, KUHP, 2001:128).

Padahal, studi mendalam dan obyektif terhadap sistem pidana Islam telah menunjukkan berbagai keunggulannya bila dibandingkan dengan sistem pidana sekuler yang tengah diterapkan. Tulisan ini mencoba mengungkap segi-segi keunggulan sistem pidana Islam tersebut, baik keunggulan secara konseptual (teoretis), maupun keunggulan praktikal (empiris).

Keunggulan Konseptual

Secara konseptual (teoretis), paling tidak ada 5 (lima) keunggulan sistem pidana Islam.

Pertama, sistem pidana Islam berasal dari Allah, Dzat yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna termasuk gerak-gerik hati dan kecenderungan naluriah manusia. Ini tentu sangat berbeda dengan sistem pidana sekuler yang dibuat oleh manusia yang sok tahu dan sok pinter tentang manusia, padahal sebenarnya ia lemah dan serba terbatas jangkauan pandangannya.

Allah SWT berfirman : Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maa`idah [5] : 50)

Makna dari ayat di atas adalah tidak ada hukum siapapun yang lebih baik daripada hukum Allah. (Imam as-Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, hal. 91). Jadi, meski redaksinya berupa pertanyaan (siapakah), tapi yang dimaksud adalah menafikan atau mengingkari sesuatu (“tidak ada siapa pun”). (Ghayalaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah, I/139).

Sumber sistem pidana Islam yang berasal dari wahyu Allah ini selanjutnya melahirkan keunggulan-keunggulan lain sebagai implikasinya. Antara lain, penerapan sistem pidana Islam akan dianggap sebagai wujud ketakwaan individu kepada Allah.

Sebaliknya, penerapan sistem pidana sekuler dengan sendirinya sama sekali akan kosong dari unsur ketakwaan, karena ia tidak bersumber dari wahyu Allah. Ketika hukum potong tangan diterapkan, ia adalah wujud ketakwaan kepada Allah. Sebab hukuman itu diperintahkan Allah dalam Al-Quran (lihat QS Al-Maidah [5] : 38).

Tapi ketika manusia menerapkan hukum pidana penjara untuk pencuri, yaitu menerapkan pasal 362 KUHP, berarti ia tidak bertakwa kepada Allah, karena ia tidak menjalankan sanksi ketetapan Allah, tapi sekedar sanksi bikinan manusia sesamanya. Kalau hakim muslim merasa bertakwa kepada Allah dengan menjalankan pasal 362 KUHP, jelas ia sedang berkhayal atau bermimpi kosong.

Dengan kata lain, menjalankan sistem pidana Islam tak ubahnya dengan melaksanakan salat, puasa, haji, dan ibadah ritual lainnya. Jadi sistem pidana Islam bersifat spiritual (ruhiyah). Sebab semuanya adalah hukum yang berasal dari Allah SWT yang merupakan ketakwaan jika dilaksanakan dengan benar oleh seorang muslim.

Kedua, sebagai implikasi dari keunggulan pertama, maka keunggulan berikutnya adalah, sistem pidana Islam bersifat tetap (dawam), konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat. (Audah, at-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, I/24-25). Allah SWT berfirman :

“Telah sempurna kalimat Tuhanmu, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’aam [6] : 115)

Sebaliknya sistem pidana sekuler tidak memiliki sifat konsisten ini, karena ia akan selalu berubah dan berbeda-beda mengikuti kehendak manusia sesuai situasi, kondisi, waktu dan tempat. Penyebab hal ini tiada lain karena sumbernya bukan dari wahyu Allah, tapi dari manusia itu sendiri, sehingga berpotensi sangat tinggi untuk berubah, berbeda, dan berganti.

Dalam sistem pidana Islam, meminum minuman keras (khamr) adalah haram dan merupakan kejahatan (jarimah/jinayah) untuk siapapun di mana pun dan kapan pun (al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hal. 49). Minum khamr hukumnya haram di negeri Arab yang panas, sebagaimana ia haram untuk muslim yang tinggal di Rusia yang dingin.

Ini beda sekali dengan sistem pidana sekuler. Dulu pada tahun 1920-an Amerika Serikat pernah melarang minuman keras. Tapi dasar bangsa Amerika adalah bangsa pemabuk, akhirnya mereka tidak tahan dan minuman keras lalu dibolehkan lagi untuk ditenggak oleh masyarakat Amerika yang kafir.

Memang dalam sistem pidana Islam ada jenis hukuman ta’zir yang memungkinkan adanya perbedaan sanksi hukuman yang penetapannya diserahkan kepada qadhi (hakim). Misalnya pengguna narkoba, dapat dipenjara sampai 15 tahun atau dikenakan denda yang besarnya diserahkan kepada qadhi (al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hal.189). Ini berarti bisa saja sanksi tersebut kurang dari 15 tahun, dan besarnya denda juga bisa berbeda-beda.

Tetapi ini bukan berarti hukum bisa berubah mengikuti waktu dan tempat, sebab hukumnya tidak berubah, yaitu hukum mengkonsumsi narkoba itu tetap haram. Yang berbeda hanyalah kadar sanksinya, bukan boleh tidaknya mengkonsumsi narkoba. Ini beda sekali dengan kejadian di AS, dimana yang berubah justru boleh tidaknya minum khamr.

Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan jawabir (menghapus dosa di akhirat). Jadi sistem pidana Islam itu berdimensi dunia dan akhirat. Sedang sistem pidana sekuler jelas hanya berdimensi dunia saja. Sistem sekuler memang sangat cetek (dangkal) dan picik wawasan dan dimensinya.

Sifat zawajir itu, artinya sistem pidana Islam akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Allah SWT berfirman :

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2] : 179)

Sedang sifat jawabir, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti. Dalam peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah SAW menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya (HR. Bukhari, dari Ubadah bin Shamit RA) (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hal. 64).

Maka, dalam sistem pidana Islam, kalau orang mencuri lalu dihukum potong tangan, di akhirat Allah tidak akan menyiksanya lagi akibat pencurian yang dilakukannya di dunia. Hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu. Tapi dalam sistem pidana sekuler, sifat jawabir ini tidak ada. Nihil. Jadi kalau seseorang mencuri dan dipenjara (bukan dipotong tangan), di akhirat nanti masih akan diazab oleh Allah karena pencurian yang dilakukannya di dunia. Jadi, dengan sistem pidana sekuler, orang akan menderita secara double, di dunia sekaligus di akhirat. Mengerikan, bukan? Nauzhu billah

Keempat, Dalam sistem pidana Islam, peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil. Ini terutama karena, sistem pidana Islam itu bersifat spiritual, yakni menjalankannya berarti bertakwa kepada Allah. Selain itu, hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman, atau menerima suap dalam mengadili, diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad).

Rasulullah SAW bersabda : “Akhdhul amiiri suhtun wa qabuulul qaadhiy ar-risywata kufrun.” (Hadiah yang diterima oleh seorang penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima oleh hakim adalah kufur) (HR. Ahmad).

Berdasar hadits itu, seorang ulama dari kalangan tabi’in, yakni Abu Wa`il bin Salamah berkata, ”Seorang qadhi (hakim) yang menerima hadiah, ia makan barang haram dan jika menerima suap, ia telah sampai pada kekufuran.” (Al-Baghdadi, Serial Hukum Islam, hal. 62)

Kelima, Dalam sistem pidana Islam, seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat.

Kaidah fiqih menyebutkan, ”al-ijtihad laa yunqadhdhu bi-mitslihi.” (Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang semisalnya). (Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 193). Artinya, vonis yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil ijtihadnya, tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang dihasilkan oleh hakim lainnya.

Maka dalam peradilan Islam tidak dikenal sistem “banding” yakni mengajukan peninjauan vonis pada tingkat peradilan yang lebih tinggi, sebagaimana dalam sistem peradilan sekuler. Sebab sekali vonis dijatuhkan, ia berlaku secara mengikat dan langsung dijalankan. Kecuali jika vonis itu salah, maka wajib dibatalkan. Misalnya seorang yang dijatuhi vonis hukuman mati (qishash) atas dasar pengakuan, lalu terbukti pengakuannya tidak benar karena ada saksi-saksi yang membatalkan kesaksiannya itu.

Keunggulan Praktis (Empiris)

Secara empiris, keunggulan sistem pidana Islam pun masih dapat dibuktikan hingga sekarang, meski negara khilafah sebagai institusi penegaknya sudah hancur sejak tahun 1924.

Negara Arab Saudi, walau pun belum Islami seratus persen —karena masih menggunakan sistem monarki (bukan Khilafah)—tapi sistem pidana Islam yang diterapkannya menunjukkan keunggulan signifikan bila dibandingkan sistem pidana sekuler yang dijalankan di negara-negara Arab lainnya, yaitu di Suriah, Sudan, Mesir, Irak, Libanon, dan Kuwait. Rata-rata angka pembunuhan di Saudi (dalam 100.000 penduduk) dalam periode 1970-1979 yang besarnya 53, ternyata hanya 1/6 dari angka pembunuhan Mesir dan Kuwait, 1/7 dari angka pembunuhan Suriah, 1/9 dari angka pembunuhan Sudan, 1/16 dari angka pembunuhan Irak, dan hanya 1/25 dari angka pembunuhan Libanon. (Topo Santoso, 2003: 138-143).

Jika Saudi dibandingkan dengan negara Barat, seperti Amerika Serikat, angkanya akan lebih signifikan dan dramatis. Bayangkan, angka pembunuhan Saudi selama 1 tahun sama dengan angka pembunuhan AS dalam sehari! Sebab rata-rata angka pembunuhan Saudi selama 10 tahun (1970-1979) hanya ada 53 kasus pembunuhan per tahun. Di AS (sepanjang 1992 saja) terjadi 20.000 kasus pembunuhan, atau 54 orang terbunuh per hari (al-Basyr, 1995:45).

Bayangkan pula, angka perkosaan di Saudi selama 1 bulan sama dengan angka perkosaan AS dalam sehari! Sebab rata-rata angka perkosaan Saudi selama 10 tahun (1970-1979) hanya ada 352 kasus perkosaan per tahun. Jadi per bulan di Saudi terjadi sekitar 29 perkosaan. Di AS (sepanjang 1992 saja) terjadi 10.000 kasus perkosaan, atau sekitar 27 perempuan diperkosa per hari. Ini kurang lebih setara dengan angka perkosaan Saudi selama 1 bulan (Qonita, 2001:53-54). Subhanallah!

Penutup

Dari uraian keunggulan konseptual dan praktikal di atas, nampak jelas sistem pidana Islam jauh lebih unggul jika dibandingkan sistem pidana sekuler yang diterapkan saat ini.

Sudah saatnya sistem pidana sekuler warisan penjajah yang kafir itu dihapuskan sekarang juga, sebab ia bertentangan secara total dengan Islam dan hanya menimbulkan dosa dan kerusakan di dunia dan akhirat. Wallahua'lam bishshawaab.

Referensi:
  1. Abdullah, M. Husain. 1990. Dirasat fi al-Fikr al-Islami. Beirut : Darul Bayariq.
  2. Audah, Abdul Qadir. 1992. at-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami. Beirut : Mu`assah ar-Risalah.
  3. Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1987. Serial Hukum Islam (Penyewaan Tanah Lahan, Kekayaan Gelap, Ukuran Panjang, Luas, Takaran, dan Timbangan). Bandung : PT. Alma’arif.
  4. Al-Basyr, M. bin Saud. 1995. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suquth min al-Dakhil). Penerjemah Mustholah Maufur. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
  5. Ghalayaini, Syaikh Musthofa. Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah. 1994. Beirut : al-Maktabah al-‘Ashriyah.
  6. Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham al-Uqubat fi al-Islam. Beirut : Darul Ummah
  7. Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Cetakan kedua puluh satu. Jakarta : Bumi Aksara.
  8. Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta : Gema Insani Press.
  9. As-Suyuthi & al-Mahalli. 1991. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan Pertama. Beirut : Darul Fikr.
  10. Qonita, Arina. 2001. Jilbab dan Hijab. Jakarta : Bina Mitra Press.
  11. Zallum, Abdul Qadim. 2002. Nizham al-Hukm fi al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Hizbut Tahrir.

sumber: Sidogiri Online

Tunangan, Perlukah? Bagaimana Agama Memandangnya?


"Lebih baik tunangan dulu" itulah kata-kata yang disarankan pada orang yang mau berpisah baik sebab meneruskan study ke luar negeri, tugas ke luar kota atau karena cuma takut kekasihnya dibuat rebutan. Tunangan memang telah membudaya di Negara kita Indonesia, tradisi ini sangat melekat di hati masyarakat, sehingga hampir disemua akad pernikahan didahului dengan ikatan tali pertunagan.

Model pertunangan yang yang mewarnai masyarakat kita berbeda antara satu dengan yang lain, ada yang cukup dengan pertukaran cincin yang disertai dengan persetujuan kedua mempelai tanpa melibatkan orang lain, ada juga yang membuat pesta besar-besaran, model ini hampir menyaingi pesta perkawinan dengan melibatkan semua kelurga baik yang jauh maupun yang dekat dan juga mengundang orang sekampung untuk mengikuti acara selamatan bagi pasangan yang akan menjalin keluarga baru. Bahkan saking girang dan bahagianya banyak dari pihak mempelai pria yang telah memberikan maharnya sebelum akad pernikahan dilangsungkan, begitu juga menghadiahkan sepasang baju cantik dan barang-barang indah lain untuk kekasih tunangannya.

Budaya pertunangan ini ada yang sukses sampai ke jenjang tali perkawinan, namun ada juga yang kandas ditengah jalan tanpa membuahkan hasil yang mereka idam-idamkan dan tak jarang malah menimbulkan sengketa antar keluarga, sudah menjadi rahasia umum pertunangan yang batal adalah ajang percorengan reputasi.

Banyak pihak mengatakan bahwa pertunangan banyak nilai positifnya, sehingga mereka menganggap tunangan itu perlu sebagai langkah awal menuju pernikahan, sebab pernikahan itu bukan sekedar menyatukan dua mempelai melainkan dua keluarga besar, kalau ada pertunangan insyaAllah komunikasi dua keluarga akan terbuka lebar, sehingga ada waktu untuk penyesuaian diri. Otomatis persiapan pernikahan juga akan lebih mantap.

Namun ada juga yang mengatakan tidak perlu adanya pertunangan, karena kebanyakan tunangan kandas di tengah jalan dan tidak berakhir di titik tali perkawinan, pihak keluarga sudah banyak direpotkan belum lagi urusan menanggung malu dan timbulnya konflik antara keluarga. " kalau sudah jodoh tidak akan lari kemana, ngapain harus tunangan…? Nikah aja bisa cerai apalagi tunangan…! Itulah omongan mereka.

Lalu bagaimana pandangan syara’ dalam menyikapi masalah ini, marilah kita simak sikap dan komentar Ulama' di bawah ini :

Hukum Pertunangan (Khitbah).

Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan.

Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.

Syarat-syarat Khitbah

Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini:

  1. Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahrom), tunggal susuan (rodloah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
  2. Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya ". Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.

Menikahi Wanita Tunangan Orang Lain

Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia.

Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, mungkin sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.

Mayoritas ulama' mengatakan bahwa akad nikah tersebut sah-sah saja, sebab akad tersebut telah terpenuhi syarat-syarat dan sesuai dengan rukun-rukunya, obyek larangan hadits di atas tertuju pada khitbah, sedangkan khitbah sendiri tidak termasuk rukun apalagi syarat akad nikah bahkan khitbah adalah di luar batas akad nikah. Inilah qaul yang mu'tamad (yang dibuat pegangan).

Berbeda dengan pendapat madzhab Dhohiriah, Mereka mengatakan akad tersebut batal walaupun kedua mempelai telah melakukan hubungan layaknya suami istri ( jima').

Lain lagi dengan pendapat Malikiah, dalam masalah ini mereka mengemukakan tiga qaul yaitu :

  • Sependapat dengan mayoritas ulama'.
  • Sependapat dengan madzhab Dhohiriah.
  • Wajib difash (dibatalkan) jika kedua mempelai belum melakukan hubungan layaknya suami istri (jima'), bila sebaliknya maka nikahnya tetab berlangsung dan dianggab sah.

Pembatalan Tali Pertunangan dan Imbasnya

Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang kurang mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali pertunangan hingga pudar tidak karuan.

Ulama' berpendapat boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.

Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka dan kobaran api yang selalu membakar emosi, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang, dalam hati terusik rasa ingin menuntut semua pemberian yang telah dihadiahkan pada mantan kekasihnya. Lalu bagaimana sikap ulama' menanggapi masalah ini?

Kalau pemberian itu berupa mahar, maka pihak mempelai pria berhak meminta kembali dan wajib bagi mempelai wanita untuk mengembalikanya, jika mahar tersebut masih utuh, dan bila mahar sudah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya (harganya) atau dengan mengembalikan semisal bila mahar berupa mitsliyat (barang yang modelnya sejenis seperti beras dan lain-lain).

Akan tetapi jika pemberian itu bukan berupa mahar melainkan bersifat hadiah atau bentuk pemberian lainnya, maka terjadi khilaf di antara ulama' :

  • Sebagian ulama' (Syafiiyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
  • Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.

Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain.

Wanita Melamar Pria

Biasanya prialah yang menentukan pilihanya pada seorang wanita, inilah adat di Negara kita dan budaya ketimuran pada umumnya, sebab mayoritas wanita dihiasi perasaan malu yang tinggi dan enggan mengutarakan isi hatinya, justru karena tabiat inilah yang membuat kaum lelaki tertarik dan ingin segera mempersuntingnya. Namun juga sering terjadi pihak keluarga mempelai wanita yang memulai jalinan tali pertunangan dan bahkan banyak wanita yang berani mengungkapkan cintanya pada sang pria.

Memang ini bukan hal yang baru atau imbas dari era modern, namun budaya ini adalah warisan nenek moyang kita, karena masalah ini sudah berjalan di zaman Nabiyullah Suaib a.s. tertera dalam Al Qur'an surat al-Qishos ayat 27 bahwa Nabiyullah Suaib a.s. pernah menawarkan puterinya pada Nabi Musa as. Begitu juga di zaman Rasulullah saw. ketika Ummul mukminin Khodijah ra. Mengungkapkan cintanya terhadap Rasulullah dan memohon agar Rasulullah berkenan menikahinya.

Penutup

Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah dilupakan.

Dengan demikian penulis cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan seperti yang disampaikan Roslina psikologi dari Empati Development Center, diantaranya sebagai berikut :

  1. Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan perkawinan terlalu lama.
  2. Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
  3. Menikah dengan motivasi yang positif.
  4. Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
  5. Status pendidikan dan penghasilan pasangan.

Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.

Daftar referensi:

  1. Al Qur'an Al Karim.
  2. Sohih Al Bukhori.
  3. Sohih Al Muslim.
  4. Al Ahkam Al Usroh fi As Syariah Al Islamiah / Dr. Ahmad Al Qulaisi.
  5. Sumber-sumber lainya.

Oleh: Habibul Huda bin Najid Lc * (alhadrami@sidogiri.com , elhabib@plasa.com), Mahasiswa program pasca sarjana Fakultas Syariah Universitas Al Ahgaff Hadramaut Yaman. sidogiri online

21 February 2006

Kesalahan Metodologi Kelompok Liberal




Munculnya kelompok liberal di Indonesia dianggap sebagai tanggapan otentik dalam mengapresiasi gagasan-gagasan liberalisme Barat. Kelompok liberal ini berkembang menjadi jaringan yang siap menjalar ke seluruh daerah dan ke setiap bagian tubuh kaum Muslim di Indonesia. Ibarat sel kanker, kelompok ini telah tumbuh membentuk jaringan yang siap menjangkiti seluruh tubuh kaum Muslim. Tulisan ini akan mengurai beberapa keganjilan metodologi kelompok liberal itu.

Ideologi Kapitalisme Sekular Sebagai Pijakan

Satu hal yang menonjol dari kelompok liberal adalah keyakinan mereka atas ideologi kapitalis yang berpangkal pada akidah sekularisme. Menurut Luthfi Assyaukanie, kontributor JIL, dengan sekularisme—istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906)—masing-masing agama dan negara memiliki otoritas sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja[1]. Jadi, sekularisme intinya adalah pemisahan agama dari kehidupan.

Dari akidah ini lahir ide liberalisme (kebebasan: kebebasan beragama [freedom of bilief]; kebebasan berpendapat [freedom of opinion]; kebebasan kepemilikan [freedom of ownership]; dan kebebasan berperilaku/berekspresi [personal freedom]), pluralisme, relativitas kebenaran, dan sebagainya. Akidah ini juga memberikan landasan pada demokrasi dan sistem Kapitalisme.

Keyakinan mereka atas sekularisme dengan seluruh pemikiran turunannya itu dapat kita lihat secara jelas dari ungkapan mereka sendiri. Di antara misi Jaringan mereka (JIL) adalah mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut. Di antaranya: mereka mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural (pluralisme); meyakini kebebasan beragama; memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Mereka yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan dan bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus—demokrasi[2].

Bagi kelompok liberal, sekularisme sudah menjadi keyakinan (qanâ‘ah) yang mereka yakini kebenarannya. Tampak jelas bahwa mereka telah menjadikan sekularisme dan ideologi Kapitalisme sebagai pijakan. Kenyataan ini sungguh bertolak belakang dengan ciri seorang Muslim. Seorang Muslim sejatinya meyakini kebenaran akidah Islam berikut sistemnya dan menjadikannya sebagai pijakan.

Menilai Islam dengan Pandangan Barat

Sebagai keyakinan mereka, sekularisme mereka fungsikan sebagai standar (maqâyis), yakni sebagai standar untuk menilai dan menimbang ide, konsep, dan pemikiran yang lain. Terhadap ide, konsep, dan pemikiran Islam, maka mereka menilainya dengan standar sekularisme dan ide-ide turunannya itu. Mereka menafsirkan teks-teks syariat dengan standar sekularisme-liberalisme. Tidak aneh jika mereka kemudian menggagas metode penafsiran liberal, pluralis, kontekstual, dan sebutan lainnya; yang pada intinya adalah menafsirkan teks dengan standar sekularisme dan turunannya. Misalnya, Allah swt berfirman:

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّين
"Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam)" (QS. Al Baqarah: 256)

Ayat di atas mereka tafsirkan dengan ‘kebebasan beragama’. Artinya, siapapun berhak memilih agama apapun, bahkan untuk tidak beragama sekalipun; juga bahwa seorang Muslim berhak untuk pindah agama, karena setiap orang bebas untuk memilih keyakinannya sendiri. Padahal ayat tersebut hanya menjelaskan tidak bolehnya kita memaksa non-Muslim agar masuk Islam, tidak lebih. Penafsiran mereka itu muncul tidak lain karena mereka telah meyakini kebebasan beragama khas ideologi Kapitalisme sekular.

Ulil Abshor Abdalla, koordinaor JIL, juga pernah menyatakan bahwa Muhammad saw. bukan hanya seorang nabi dan rasul, tetapi juga seorang politikus, namun kebijakan beliau tidak harus ditiru. Ia beralasan, “Bagaimanapun contoh Nabi saw. di Madinah sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu.”[3] Kesimpulan Ulil ini adalah kesimpulan khas sekularisme, yang ‘mengharamkan’ agama berperan formal di ruang publik. Perbuatan dan kebijakan Nabi saw. dalam wilayah publik tidak dianggap sebagai bagian dari tuntunan kenabian yang bersumber dari wahyu, tetapi hanya dianggap sebagai buah kejeniusan beliau.

Fakta dan Sejarah Sebagai Sumber Hukum

Yang tidak kalah ganjilnya adalah metode berpikir mereka yang menjadikan fakta dan sejarah sebagai sumber hukum. Menurut mereka, fakta dan sejarah adalah faktor determinan yang menentukan hukum. Ini jelas keliru dan sekaligus secara telanjang menunjukkan pola berpikir Barat yang mereka gunakan dalam memandang kaitan fakta dengan hukum. Sebab, dalam falsafah hukum Barat, realitas sosial masyarakat dipandang sebagai ‘ibu kandung’ yang melahirkan nilai dan norma hukum. Salah satu prinsip falsafah hukum Barat adalah: undang-undang adalah anak kandung yang lahir dari situasi dan kondisi sosial masyarakat [4].

Inti pandangan mereka adalah mengembalikan hukum pada akal manusia. Padahal keputusan akal tidak pernah permanen. Jika hukum dikembalikan pada akal, akan lahir sekian banyak hukum yang bertentangan satu sama lain. Pandangan akal sangat bergantung pada faktor waktu, tempat, pengetahuan, kedewasaan, watak, lingkungan, emosi, dan lain sebagainya. Penilaian akal bisa bertentangan antara satu orang dengan yang lain, antar tempat dan masa. Di samping itu, akal tidak bisa menjangkau pahala dan siksa akhirat.

Semestinya, fakta dan sejarah harus dijadikan obyek yang akan dinilai dan dihukumi dengan standar baku dan benar yang berasal dari Allah. Di sinilah Allah memerintahkan kita untuk menghukumi sesuatu (fakta sosial dan sejarah) dengan apa yang diturunkan-Nya (QS al-Maidah [5]: 48). Artinya, Allah memerintahkan kita menjadikan wahyu (al-Quran dan as-Sunah) sebagai sumber hukum (mashdar al-hukm) dan menjadikan fakta sosial dan sejarah sebagai obyek yang dihukumi (manâth al-hukm).

Menolak Syariat, Tetapi Mencari Pembenaran Lewat Syariat

Dalam upaya mereka menolak syariat, tidak jarang mereka mencari pembenaran lewat syariat, yaitu dengan mengutip teks syariat dan ucapan para ulama, termasuk kaidah ushul fikih, namun setelah mereka pelintir, untuk mendukung dan membenarkan pendapat mereka. Deny JA menunjukkan semangat ini. “Oleh karenanya, sudah saatnya kita mengembangkan satu teologi negara sekular demokratis yang langsung mendapat justifikasi dari prinsip-prinsip Islam.”

Sikap seperti ini ‘terpaksa’ harus ditempuh karena yang menjadi target adalah kaum Muslim yang masih merujuk pada syariat. Jika tidak menggunakan pembenaran lewat syariat, ide-ide mereka akan tertolak, bahkan sebelum menyentuh sasaran.

Sering Stereotip dan Tidak Adil dalam Menilai Islam

Mereka meyakini ide pluralisme bahwa semua agama adalah benar, artinya juga semua syariat agama-agama itu adalah benar. Akan tetapi, mereka sering mengecualikan Islam dan syariatnya.

Luthfi Assyaukanie, ketika membela sekularisme menulis, “Alangkah tidak fair jika kita mengecam sekularisme semata-mata karena kita merujuk pada praktik sekularisme yang salah.” Di sisi lain kita dapati mereka selalu menggunakan penerapan Islam yang buruk/salah (isâ’ah at-tathbîq al-islâm) sebagai alasan mengecam syariat Islam. Semestinya sebuah konsep/ide dinilai dari konsepsi ideal yang bersumber dari rujukan sahnya. Masalahnya, hal ini tidak bisa dilakukan terhadap sekularisme, karena sangat sulit menunjuk secara tegas konsepsi ideal sekularisme, karena ketiadaan sumber rujukan sah atas itu. Sebaliknya, kita akan sangat mudah menunjuk konsepsi ideal dan sumber rujukan Islam yang sah, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.

Begitu juga tuduhan mereka yang mengecam penafsiran literal atas teks dan lebih mengedepankan penafsiran kontekstual. Akan tetapi, tidak jarang pula mereka menggunakan penafsiran literal teks jika sekiranya itu bisa dipelintir untuk mendukung pendapat liberal mereka. Ambil contoh penolakan mereka akan Daulah Islam hanya karena dalam al-Quran tidak ada kata dawlah (negara)—sebuah alasan yang sangat literal/tekstual.

Sering Memelintir Teks dan Pendapat Para Ulama

Kelompok liberal sering mengutip teks atau pendapat ulama, yang telah mereka pelintir maknanya agar sesuai dengan ide sekularisme yang mereka yakini. Misal, mereka sering mengutip maqâshid asy-syarî‘ah-nya Imam asy-Syathibi, tetapi mereka pelintir maknanya. Pemeliharaan mereka maknai dengan kebebasan. Hifzh al-‘aql (pemeliharaan akal) mereka maknai dengan kebebasan berpendapat, hifzh ad-dîn (pemeliharaan agama) mereka artikan dengan kebebasan beragama, hifzh al-mâl (pemeliharaan harta) mereka samakan dengan kebebasan kepemilikan, hifzh al-‘irdh (penjagaan kehormatan) mereka maknai dengan kebebasan individu. Walhasil, Imam asy-Syathibi dan maqâshid asy-syarî’ah-nya hanya mereka catut untuk medukung pendapat sekular-liberal mereka. Agaknya, bukan hanya asy-Syathibi yang mereka perlakukan demikian.

Begitu pula mereka sering mengutip ungkapan ad-dîn wâhid wa asy-syarî’ah mukhtalifah (agama itu satu, sedangkan syariat beragam) yang mereka katakan pendapat Ibn ‘Aqil dan dikutip ath-Thabari. Pendapat itu mereka gunakan untuk menolak syariat dan membenarkan pendapat mereka yang liberal dan plural.

Imam ath-Thabari mengutip ungkapan itu bukan dari Ibn Aqil, tetapi dari Ma‘mar yang menuturkan ungkapan Qatadah dalam menafsirkan surat al-Maidah ayat 48: Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami memberikan syariat dan jalan yang terang.[5] Ibn Abi Hatim dan Abu Syaikh menuturkan dari Qatadah maksud tafsir ayat tersebut: Maksudnya adalah jalan dan sunnah-sunnah—bagi Taurat ada syariat, bagi Injil (ada syariat bagi) orang yang menaatinya dan yang bermaksiyat. Akan tetapi, agama adalah satu, yang hanya menerima tauhid dan ikhlas, inilah yang dibawa oleh Rasul.[6]

Maksud ayat tersebut memberitahu kita bahwa bagi setiap agama samawi, Allah memberikan syariat yang tidak sama. Akan tetapi, dalam nash-nash lain dijelaskan bahwa sejak Muhammad diutus, syariat selain Islam sudah tidak berlaku lagi dan tidak akan diterima di sisi Allah. Hanya syariat Islamlah yang berlaku dan diterima di sisi Allah. (QS Ali Imran [3]: 85).

Menjadi Perpanjangan Tangan Barat

Melihat kemiripan ide, konsep, dan perjuangan kelompok liberal, hal itu menyiratkan bahwa mereka tidak lebih merupakan perpanjangan tangan dan aktor yang disutradari oleh Barat.

Proyek Barat sebelumnya untuk mengobok-obok dan menyimpangkan Islam tidak berhasil gemilang. Sebab, aktornya adalah kalangan Barat sendiri yang notabene non-Muslim. Akibatnya, ide dan konsep mereka sulit memasuki ruang pemikiran kaum Muslim. Di sinilah sesungguhnya posisi kelompok liberal itu, yakni untuk melempangkan jalan Barat untuk mempengaruhi kaum Muslim, baik mereka sadar atau tidak. Misi mereka sudah barang tentu mem-Barat-kan kaum Muslim. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.


Catatan Kaki:

  1. Islamlib.com, editorial 11/04/2005, Luthfi Assyaukanie, “Berkah Sekulerisme“
  2. Lihat: Islamlib.com.
  3. Lihat: Ulil Abshar Abdalla, “Muhamamd: Nabi dan Politikus,” Media Indonesia, 4/5//2004, hlm. 1.
  4. Mufti & Al-Wakil, At-Tasyrî’ wa Sann al-Qawanîn fi ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm. 10, 1992
  5. Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, vi/270, Dar al-Fikr, Beirut. 1405; Ibn al-Manzhur, Lisân al’Arab, viii/176, Dar al-Fikr, Beirut; Abd ar-Razaq Humam ash-Shan’ani, Tafsîr ash-Shan’ani, ed. Dr. Mushthafa Muslim Muhamamd, i/192, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, cet I. 1410.
  6. As-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsûr, iii/96, Dar al-Fikr, Beirut. 1993.

SEJARAH KODIFIKASI HADITS NABI


Pendahuluan

Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Quran. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.

Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.

Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.

Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Beberapa penulis muslim seperti halnya Ahmad Amin, juga Isma'il Ad'ham sebagaimana dikutip Mustafa al-Siba'i telah membuat kesimpulan serupa berkaitan dengan otentisitas al-Hadits ini.

Tulisan ini selanjutnya akan membahas berkaitan dengan proses kodifikasi al-Hadits. Sebuah pertanyaan yang diajukan, benarkah bahwa otentisitas al-Hadits patut diragukan mengingat kodifikasi al-Hadits baru dilakukan pada akhir abad pertama hijriyah? Untuk menjawab pertanyaan ini dalam tulisan ini akan disinggung tentang keberadaan al-Hadits sebelum masa kodifikasi khususnya berkaitan dengan adanya penulisan al-Hadits sebelum kodifikasi resmi. Selain itu disingung pula pembahasan tentang adanya larangan penulisan al-Hadits. Tentang Penulisan al-Hadits yang merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah suatu yang melekat pada diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai di setiap event yang dialami oleh Rasulullah saw. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw adalah al-Hadits.

Dari sinilah kebanyakan para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan al-Hadits secara lengkap tentu sulit, karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang menyertai Rasulullah. Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.

Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran untuk menghafalkan al-Hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya; “Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain). Mungkin saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi pula orang yang membawa informasi itu bukan orang yang faqih.?” (Sunan Abi Dawud Juz III: hal 321)

Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak” Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal. 32. hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39) Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: “Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: ‘Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; ‘apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah’, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, “Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang hak” (Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162)

Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: “Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw”.(Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127)

Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain Shahifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah Sa’ad bin Ubaddah. Sekitar Larangan Penulisan al-Hadits Sebagaimana telah disebutkan, adanya kegiatan penulisan al-Hadits telah berlangsung semenjak Rasulullah saw masih hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr menulis al-Hadits atas restu dari Rasulullah sendiri.

Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis al-Hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya: “Bersabda Rasulullah saw, “tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah “ (Shahih Bukhari Juz 1, hal 31)

Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits sebagaimana hadits dari Abu Sa’id al Khudri “Dari Abu Sa’id Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya” (Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21)

Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.

Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw.

Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.

Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar: "Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya"

Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Quran.

Proses Kodifikasi al-Hadits

Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.

Abu Na’im menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan ”perhatikan hadits Nabi dan Kumpulkan”. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: ”Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw”. (Shahih al-Bukhari, Juz I. hal 29)

Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman bin Sa’ad bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq

Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits).

Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut M M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits.

Bahkan beberapa orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah sengaja melakukan kecerobohan dalam hal ini untuk menciptakan keraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Tetapi amat disayangkan banyak penulis kontemporer termasuk dari kalangan Muslim telah menjadikan karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht sebagai rujukannya. Sungguh aneh karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah ditelan mentah-mentah oleh kelompok liberal Islam untuk menghantam karya-karya ulama terdahulu tentang hadits.

Dalam bukunya ”Studies In Early Hadith Literature” yang diterjemahkan oleh Ali Musthafa Yaqub dengan judul ”Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya”, M M. Azami telah mengurakian secara rinci dalam bab tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadits mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan abad ke dua Hijriyah. Tampak sekali dari penelitian Azami, bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat Hadits dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat hingga masa tabi’in kecil dan tabi’it-tabi’in tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syu’aib ini berlanjut ke tangan putra dari Syu’aib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin Syu’aib.

Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa ta’dil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.

Kesimpulan

Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
  1. Abu Dawud, al-Imam, Sunan Abi Dawud, Maktabah Dahlan, Indonesia, tt
  2. Azami, Muhammad Musthafa., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994
  3. Al-Bukhari, al-Imam, Shahih Bukhari, Dar al-Fikr, Bairut, tt
  4. Al-Darimi, Abu Muhammad, Sunan al-Darimi, Dar al-Kitab al-Arabiy, 1987
  5. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Penerbit Al-Hidayah, Surabaya, 1998
  6. Ibnu Hanbal, al-Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Dar al-Fikr, Bairut, tt
  7. Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (tejemahan Endang Sutari dan Mujio), Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994
  8. Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis, Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004
  9. Muslim, al-Imam, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Bairut, tt.
  10. al-Siba'i, Musthafa, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islam (terjemahan Nurcholis Madjid), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993
  11. al-Tirmidzi, al-Imam, Sunan al-Tirmidzi Juz V, Dar al-Fikr, Bairut, tt.

sumber: Sidogiri Online

Majalah Playboy: Resultasi Ekstrimisme Liberal



Bencana alam di berbagai belahan bumi pertiwi yang datang bertubi-tubi ternyata masih belum cukup memberikan penderitaan bagi rakyat Indonesia. Kepedihan atas bencana alam ini masih akan ditambah dengan bencana moral yang dalam waktu dekat diprediksi juga akan menimpa. Dan sejatinya, bencana moral ini akan lebih memedihkan dari bencana alam apapun, sebab bencana moral ini akan melahirkan situasi peradaban hewani. Situasi inilah yang akan disongsong menyusul terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia, bentuk bencana moral di atas.


Pada bulan November 2005, majalah Playboy edisi Indonesia ini telah mendapat izin untuk terbit. Majalah porno yang dikelola oleh kerajaan bisnis Hugh Heffner Amerika Serikat ini rencananya akan terbit pada Maret 2006 nanti.


Dari berbagai respon yang mengemuka mayoritas menyatakan tidak setuju dengan rencana akan diterbitkannya majalah ini. Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, telah menyatakan dengan tegas akan ketidaksetujuannya, termasuk Muhammadiyah. Bahkan, Majlis Ulama Indonesia (MUI) sudah mempertimbangkan fatwa haram bagi umat Muslim Indonesia membeli dan membaca majalah tersebut (www.hidayatullah.com, edisi 27/01/06).


Pada tataran fikih (hukum Islam), majalah jenis ini sudah memiliki kejelasan hukum: haram! Dari proses awal pengambilan foto yang dilakukan dalam keadaan telanjang hingga dampak yang ditimbulkan. Dalam hal ini, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama, Atho` Mudzhar, menganggap bahwa majalah Playboy yang termasuk menyebarkan pornografi sama dengan cakram digital (VCD) porno. Jadi, dampak negatif yang ditimbulkan juga pasti sama dengan dampak VCD-VCD porno. Sedangkan realita informasi media banyak memberitakan kasus aksi kriminal, seperti pemerkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual lainnya diakibatkan karena sering menonton VCD porno.


Dilihat pada tataran situasi sosial Indonesia saat ini, kebijakan pemerintah ini memang cukup janggal. Ditengah carut-marutnya kompleksitas problema sosial, ekonomi dan politik ternyata majalah yang tidak mendidik ini justru mendapat izin untuk terbit, hanya dengan dalih kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM) dan seni. Dalam hal ini, benar sekali komentar Ma’ruf Amin, ketua komisi fatwa Majlis Ulama Indonesia. Dia menyatakan, paradigma berpikir tentang kebebasan seni dan HAM perlu dilakukan perubahan, karena sementara ini seringkali dalih kebebasan ini membawa dampak yang mengganggu stabilitas nasional. Apalagi sebuah kebijakan yang melegalkan industri pornografi, semacam izin untuk majalah ini.


Bila kebebasan diartikan sebagai kebebasan ekspresi di semua lini (liberal) justru akan mencekik produk sosial unlimited. Semacam konsep bebas yang ditawarkan Fredrick W. Nietzche yang menganggap agama sebagai virus. Konsep ini akan melahirkan sebuah situasi bebas tanpa batas, termasuk ‘rubrik’ telanjang di depan umum. Padahal, dalam kondisi bagaimanapun manusia pasti masih membutuhkan tuhan. Buktinya, Nietzche sendiri masih seorang figur liberal yang abu-abu, karena masih mengakui eksistensi The Real (Yang Maha Nyata). Artinya, konsep bebas semacam ini tetap tampak sebagai ‘ikon’ yang tidak lurus dan tidak relevan dengan realita. Pada akhirnya, pemaknaan ini akan menjebak manusia pada titik ekstrim liberal dan merambah pada lahirnya era posmodernisme.


Tanda awal hadirnya era posmodernisme ini adalah lahirnya proses penelanjangan tanpa batas terhadap suatu nilai di tengah-tengah kompleksitas modern utopis. Posmodenisme ini memiliki dua bentuk. Pertama, posmodernisme dekonstruktif, yang menekankan pada penentangan kepada segala bentuk otoritas, pengekangan, dan pembatas (hukum, aturan dan agama) demi untuk memperoleh kebebasan ekspresi dan pembebasan hasrat secara total. Posmodern inilah yang dianut Nietzche di atas. Posmodernisme jenis ini secara totalitas berupaya melepaskan diri dari kungkungan dalam bentuk apapun dan sebagai titik klimaks liberalitas.


Kedua, posmodernisme rekonstruktif, yang menekankan pada penghargaan secara positif akan keanekaragaman, dialog, heterogenitas, dan pluralitas. Dalam konteks Indonesia, posmodernisme jenis ini adalah ‘madzhab’ para liberalis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kental dengan konsep teologi inklusif pluralisnya, walaupun masih dengan komitmen yang abu-abu pula.


Dua arus ini mengawali dirinya dengan konsep ‘tanpa batas’. Secara gamblang, resultasi (hasil) konsep bebas dengan pemaknaan semacam ini sudah bisa ditebak: lahirnya peradaban hewani! Dimana –dengan atas nama kebebasan- siapapun boleh berekspresi sekehendak hati, tanpa ada otoritas apapun yang menghalangi, termasuk agama. Dan pengatasnamaan ini yang dijadikan dalil para pembela terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia. Padahal, jelas sekali bahwa karakter majalah ini adalah eksploitasi tubuh wanita dengan memamerkan pose-pose panas.


Kesimpulannya, paradigma pikir liberal dengan dalih kebebasan berekspresi ini adalah bentuk upaya mentuhankan manusia dan memanusiakan tuhan, memberikan hak penuh secara bebas kepada manusia untuk menentukan jalannya sendiri dan menjauhkan nilai-nilai normatif reliji dari kehidupan (sekular). Sampai di sini, jelas sekali bahwa pemaknaan kebebasan dalam mainstream pengelola dan pembela majalah ini adalah pemaknaan ala Barat yang sangat tidak relevan dengan karakter budaya Indonesia.


Upaya mereka menerbitkan majalah porno ini di Indonesia adalah upaya mencengkramkan hegemoni Barat di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan arti, muslimin Indonesia akan dipaksa kalah 1-0 di kandang sendiri
.

20 February 2006

Mengkritisi Ide Dasar Islam Liberal


Islam Liberal dianggap sebagai suatu respon otentik Islam dewasa ini dalam mengapresiasi gagasan-gagasan terbaik liberalisme Barat. Charles Kurzman, profesor sosiologi agama di Universitas North Carolina, memperkenalkan istilah atau gerakan baru di dunia Islam ini dalam bukunya Islamic Liberalism (Buku ini telah diterjemahkan oleh Penerbit Paramadina-Jakarta dengan judul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global). Sebenarnya, Kurzman bukanlah yang pertama. Sebab, sebelumnya telah muncul Leonard Binder yang mencoba menyodorkan paham tersebut dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies.

Dalam gagasan Kurzman, ada tiga gagasan mendasar Islam Liberal, yaitu: syari’at liberal (liberal shari’a), syari’at diam (the silent shari’a) dan syari’ah diinterpretasi (interpreted shari’a). Syari’at liberal yang dimaksudkannya adalah bahwa wahyu-wahyu al-Qur’an dan contoh-contoh Nabi memerintahkan muslim untuk mengikuti posisi liberal. Sementara, ada beberapa perkara yang didiamkan oleh syari’at sebenarnya bukan karena wahyu tidak lengkap melainkan wahyu membiarkan manusia untuk memilihnya sendiri. Dan, syari’at diinterpretasi menyemangati bahwa perbedaan keberagamaan merupakan suatu hal yang niscaya, bukan hanya antara komunitas agama tapi juga dalam Islam itu sendiri. Dari ketiga gagasan mainstream tersebut terlihat benang merahnya adalah menjadi manusia liberal baik dalam membuat syari’at maupun menginterpretasikan wahyu sesuai pilihan masing-masing manusia. Dan, itu adalah liberalisme (paham serba bebas). Jelaslah bahwa kata liberal (bebas) dalam konteks Islam Liberal bukanlah maknanya sebagai bebas merdeka (hurriyah) dari penyembahan manusia lalu hanya mengabdi kepada Allah SWT. ( ‘ubûdiyyah). Tapi, bebas untuk menginterpretasi, merubah, menakwilkan, membuang, memberlakukan atau tidak, bahkan membuat syari’at. Hal ini akan jelas dengan mengikuti tulisan-tulisan mereka yang menjadi penyokongnya.

Di Indonesia, gagasan liberal seperti itu dipropagandakan oleh kelompok yang kini menamakan dirinya sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL). JIL didirikan hampir sekitar setahun lalu dengan slogan “Menuju Islam Yang Membebaskan”, bertujuan untuk: memperkokoh landasan demokratisasi melalui penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan humanisme; membangun kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan terhadap perbedaan; mendukung gagasan penyebaran pemahaman keagamaan (terutama Islam) yang pluralis, terbuka, dan humanis; mencegah agar gagasan-gagasan keagamaan yang militan dan pro kekerasan menguasai publik.

Kelompok atau komunitas ini didirikan memang dengan latar belakang yang sangat kental mengandung unsur kecemasan dan bau rivalitas terhadap apa yang mereka sebut kelompok fundamentalis atau militan yang mereka tengarai mulai marak akhir-akhir ini. Simaklah, dalam halaman “Latar Belakang” di situs www:Islamlib.com yang memuat latar belakang berdirinya Jaringan Islam Liberal, disebutkan: sudah tentu bila tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan-pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini, jika benar terjadi, akan mempunyai akibat yang buruk buat usaha-usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab, pandangan-pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan dengan kelompok agama yang ada, sebut saja antara Islam dan Kristen. Jika ketegangan itu terus muncul, karena kecurigaan yang ditimbulkan oleh pandangan keagamaan yang keliru, maka sudah pasti akan menimbulkan kesulitan dalam membangun suatu kehidupan “koeksistensi” yang damai di antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada…… Untuk mencegah kecenderungan “yang tidak sehat” ini terus berlangsung, maka harus ada upaya untuk melakukan kampanye yang militan guna mendukung dan mengembangkan gagasan-gagasan keagamaan yang terbuka, pluralis dan humanis.

Siapapun yang membaca secara lengkap apa itu JIL -sebagaimana yang mereka paparkan sendiri- akan mengetahui bahwa pada mulanya sudah terdapat satu pendirian yang diyakininya, yaitu sekularisme yang melahirkan demokrasi dan pluralisme dengan slogan inklusivisme. Namun, di hadapannya terdapat orang-orang ikhlas yang ingin merubah tatanan yang hancur, kacau, dan penuh kezhaliman akibat sistem sekularisme dan liberal yang diterapkan di dunia Islam dengan hukum-hukum Islam sebagaimana yang terdapat didalam wahyu Allah SWT. Karenanya, logis bila muncul pemikiran untuk mencari jalan agar gagasan dasar sekularisme tadi mendapatkan justifikasi dari Islam. Untuk itu, diusunglah Islam Liberal. Simaklah salah satu ungkapan tegas Denny JA, salah seorang kontributor Islam Liberal, dalam situsnya. “Oleh karenanya sudah saatnya kita mengembangkan satu teologi negara sekuler demokratis yang langsung mendapat justifikasi dari prinsip-prinsip Islam,” ungkapnya.

Empat Agenda Yang Membebaskan?

Mereka yang mengklaim Islam Liberal memiliki empat agenda. Agar menarik diklaim sebagai agenda yang membebaskan. Luthfi asy Syaukani dalam tulisannya Empat Agenda yang Membebaskan menulis keempat agenda itu, yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi. Dalam masalah politik, yang dimaksud dengan agenda ini adalah sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku. Di mata Islam Liberal urusan negara semuanya diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslim. Negara bukan wewenang agama. Di bidang toleransi, bukan hanya sekedar menghargai keagaaman orang kafir melainkan juga memandang bahwa semua agama itu sama. Sama-sama masuk sorga. Sama-sama berserah diri. Sementara itu penafsiran tentang hukum waris yang qath’iy, jilbab dan poligami dianggap sebagai penghinaan terhadap perempuan. Dan, kebebasan berekspresi atau berpendapat dimaksudkan agar setiap orang bebas berbuat apa saja termasuk tidak beragama.

Dalam memecahkan semua ini, menurutnya, kaum muslim dituntut melihat keempat agenda ini dari perspektif mereka sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan kontradiksi ketimbang penyelesaian yang baik. Pernyataan ini lebih menegaskan bahwa Islam yang diterapkan bukanlah Islam yang dipahami Rasul dan para sahabatnya serta al-Qur’an yang ditegakkan Rasulullah Saw saat itu. Sebab, hal tersebut merupakan pergumulan mereka untuk menyelesaikan persoalan pada jamannya.

Cara berpikir seperti ini sebenarnya merupakan cara berpikir tipikal ideologi kapitalisme Barat. Ideologi kapitalisme memandang manusia hidup di suatu masyarakat dikarenakan adanya persamaan kepentingan. Mereka menetapkan mana yang disepakati benar dan mana yang disepakati keliru. Jadilah hukum. Setiap ada persoalan yang muncul, masyarakat berupaya untuk memecahkannya berdasarkan pandangannya terhadap persoalan tersebut. Karenanya, masyarakat 100 tahun lalu apalagi 1400 tahun lalu menyelesaikan masalah menurut persepsinya sendiri. Tentu, berbeda dengan persepsi masyarakat sekarang. Begitu, pandangannya.

Padahal, realitasnya berbagai problem kehidupan itu sama. Yang berbeda hanyalah bentuknya saja. Ambil contoh mencuri, dari dulu hingga sekarang yang namanya mencuri sama. Bedanya, kalau dulu mencuri kurma, sekarang mencuri TV; kalau dulu menggunakan kuda, sekarang menggunakan mobil. Begitu pula manusia. Dari dahulu manusia itu tetap karakternya. Punya rasa lapar, haus, gerah, panas, kedinginan. Punya gharizah baqa (ingin memiliki, ingin dihargai, hasrat memimpin, rasa takut, berani, dan sebagainya), punya gharizah nau’ (mencintai isteri/suami, tertarik pada lawan jenis, terangsang bila melihat aurat, sayang kepada anak, senang keindahan, dan sebagainya), dan gharizah tadayyun (mensucikan Pencipta, lemah, membutuhkan Allah SWT dan sebagainya). Manusia yang hidup 1400 tahun lalu memiliki hal yang sama dengan manusia sekarang. Padahal, aturan dan hukum tersebut merupakan pengaturan terhadap interaksi sesama manusia dengan karakternya yang sama tersebut. Karena itu, Allah SWT menurunkan aturan/hukum kepada seluruh umat manusia, tanpa mengenal perubahan jaman. Hal ini sangat rasional, sebab Allah-lah Dzat Mahatahu dan Mahaadil terhadap manusia ciptaan-Nya itu. Disinilah Allah Rabbul ‘Alamin memerintahkan kaum beriman untuk menerapkan apa saja yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan meninggalkan apapun yang dilarang oleh Nabi akhir jaman itu. “Dan segala apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu, ikutilah! Dan apapun yang dilarang oleh Rasul bagimu, tinggalkanlah!” begitu makna firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr [59] ayat 7. Karenanya, sikap menyelesaikan masalah hukum dengan perspektif sendiri tanpa mengikuti perspektif al-Qur’an dan As Sunnah yang dicontohkan Rasulullah Saw atau menyesuaikan ayat atau hadits dengan perspektif sendiri karena alasan jaman berubah bertentangan dengan perintah Allah SWT yang dinyatakan dalam al-Qur’an tadi. Kalaupun ada kontradiksi yang terjadi antara realitas masyarakat dengan hukum yang digali secara jernih dari Islam bukanlah diakibatkan oleh perspektif yang diambil dari Rasulullah tadi, melainkan dikarenakan sistem hidup yang diberlakukan sekarang bertentangan dengan sistem hidup Islam yang diberlakukan pada masa Nabi Saw.

Melalui cara berpikir ‘bebas’ yang dipegangnya tersebut, teranglah bahwa yang dimaksud dengan ‘empat agenda yang membebaskan’ adalah bebas dari hukum wahyu yang disebutnya sebagai ‘perspektif masa silam’ dan bukan ‘perspektif pribadi’. Dengan kata lain, bebas dari keterikatan terhadap hukum syara. Padahal, Allah Pencipta manusia memerintahkan untuk senantiasa berpegang kepada hukum-Nya. Simaklah firman Allah SWT dalam surat Yûsuf [12] ayat 40: “Tidak ada hukum melainkan milik Allah”. Begitu pula peringatan-Nya: “Tidakkah engkau (Muhammad) melihat orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu beriman pada apa-apa yang diturunkan kepada engkau dan pada apa-apa yang diturunkan sebelum engkau, sementara mereka berkehendak bertahkim (berhukum) pada thaghut. Padahal, merekadiperintahkan untuk kufur pada thaghut tersebut. Dan syaithan berkehendak untuk menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh.” (Qs. an-Nisâ[4]: 60).

Sekularisme Ide Dasar JIL

Pertama Bagaimana sebenarnya pandangan atau pemikiran keagamaan kelompok yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, meski tidak ditegaskan secara resmi dalam situs tersebut, tapi cukup tergambar dari sejumlah artikel dan wawancara yang ada. Siapapun yang mengelaborasi ide-ide kelompok yang dinamakan Islam Liberal akan menyimpulkan bahwa ada dua ide dasar yang diembannya. Pertama, sekularisme, dan kedua, konsekuensi logis dari sekularisme adalah liberalisme.

Yang paling menonjol, disamping pandangan-pandangan teologis yang seperti biasa cenderung mengada-ada dan rada “genit” tapi dianggap oleh mereka sebagai sesuatu yang “progresif”, adalah keteguhannya untuk bersikeras memisahkan agama dari negara (sekularisme). Sekalipun sekularisme acapkali dibedakan dengan sekularisasi, keduanya sama-sama pemisahan agama dari kehidupan. Negara dalam pandangan JIL, haruslah netral dari pengaruh agama apapun. Sementara, agama harus tetap dipertahankan dalam wilayah privat. Begitu agama dibawa ke wilayah publik, apalagi dengan membawa-bawa peran negara, pasti akan melanggar nilai-nilai demokrasi yang memberikan jaminan kebebasan kepada individu dan prinsip eksistensi negara sebagai penjaga harmoni interaksi antar kelompok di tengah masyarakat. Tegasnya, menurut JIL, negara sekuler itu lah yang terbaik. Banyak sekali ungkapannya tentang hal ini. Diantaranya, korban pertama dari penerapan syariat adalah perempuan, pisahkan kehidupan agama dari negara, Islam bukan wewenang negara, terapkan pluralisme dan demokrasi. “Saya kira kita harus memperjelas bahwa agama-agama itu sudah ada sebelum adanya negara. Karena itu, sebetulnya negara tidak mempunyai kompetensi untuk mengatur agama, karena agama ada di atas negara,” ujar Djohan Effendi salah seorang kontributornya. Pendapat ini terlihat menggelikan. Bagaimana tidak, bila memang mengakui agama ada di atas negara maka logisnya negara itu harus diatur oleh hukum agama. Bukan malah sebaliknya menyingkirkan agama.

Lebih dari itu, bahkan menuding diterapkannya syariat Islam akan mendatangkan bahaya, termasuk untuk perempuan. Kontributor JIL lainnya, Muslim Abdurrahman, tanpa merasa dosa menyatakan: “Banyak dampak negatif yang bakal muncul dari pemaksaan penerapan syariat Islam di Indonesia. Dari soal kemiskinan, ketidakadilan hukum, hingga perampasan hak-hak kewarganegaraan akibat sentralisme kekuasaan pada hanya satu penafsiran. Korban pertama yang bakal muncul akibat penerapan syariat Islam itu adalah kaum perempuan.” Karena, menurutnya, “banyak sekali regulasi dalam Islam yang membatasi ruang gerak kaum perempuan.”

Oleh karena itu, komunitas JIL sama sekali menolak keinginan sejumlah elemen dari umat Islam yang menuntut penerapan syariah Islam di Indonesia, meski terbatas hanya untuk umat Islam sekalipun. Sekali lagi, penerapan syariah oleh negara berarti telah melanggar prinsip netralitas negara yang harus menjaga prinsip-prinsip non diskriminasi dan equality (kesamaan) diantara seluruh warga negara. Meski hanya khusus untuk umat Islam, penerapan syariah juga tetap dipandang JIL telah melanggar hak pribadi untuk memilih dalam sikap beragama.

Benarkah demikian? Orang yang memahami al-Qur’an dan As Sunnah akan memandang sebaliknya. Banyak sekali contoh tentang hal ini. Jika kita pikirkan antara masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum Islam dengan masyarakat yang permisif dan kacau, yang didalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah akibat paham serba bebas (liberalisme) dan sekularisme; hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba); maka bagaimanakah kesimpulannya? Tentu, masyarakat jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Sedangkan yang kedua pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup semau gue, di hutan belantara dengan hukum rimba, yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (lihat Qs. al-A’râf [7]: 179). Tapi, anehnya, masyarakat masih ada yang ikut-ikutan memandang bahwa masyarakat sekuler yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern (lebih tepatnya ‘sok modern’), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional, konservatif, bahkan ‘primitif’.

Dalam kenyataannya, politik sekuler memang meremehkan nilai agama dan memandang agama sebagai masa lalu yang sudah tidak lagi memiliki peran dalam masalah publik. Dalam kehidupan pribadi sekularisme agama boleh jadi masih ada, tapi dalam kehidupan publik agama dinilai akan memutar jarum jam ke belakang. Akibatnya, sekularisasi manusia beserta materialisasi dan humanismenya mendekonsekrasi nilai-nilai kehidupannya; dan pada gilirannya mendewakan manusia itu sendiri. Bila manusia sudah mendewakan dirinya sendiri, ia akan kehilangan kontrol dan daya pembeda (furqân) antara yang haq dan batil, antara yang terpuji dengan yang tercela. Apalagi dibarengi dengan paham machiavellis.

Berbeda dengan itu, Islam menyatukan antara materi dengan ruh, antara kehidupan masyarakat dan negara dengan Islam. Islam menolak tegas sekularisme ataupun sekularisasi. Setiap gerak-gerik manusia wajib diatur oleh aturan Islam (lihat Qs. al-An’âm [6]: 162). Islam tidak mengenal pemisahan istilah kaum rohaniawan (rijâl ad dîn) dan negarawan (rijâl ad dawlah). Sebaliknya, semua penganut Islam dinamakan muslimun. Karenanya juga, tidak ada pemisahan antara Islam dengan negara. Bahkan, Islam merupakan agama yang salah satu ajarannya adalah negara (Al islâmu dînun minhu ad dawlah). Dalam Islam, pusat segala-galanya adalah Allah Pencipta alam semesta (theosentris).

Dengan menyatukan agama (Islam) dengan kehidupan masyarakat dan negara maka kesadaran akan pengawasan Allah SWT merupakan dasar bagi setiap perbuatan, tindakan, kebijakan dan aturan yang ditetapkan. Takut kepada Allah Dzat Mahaperkasa menjadi pijakan. Karenanya, setiap orang termasuk penguasa tidak akan semena-mena dalam berbuat kezhaliman, tidak mendustai rakyat apalagi mengkhianatinya. Rakyat pun tidak akan rela membiarkan kemungkaran yang dilakukan oleh penguasanya. Pada sisi lain, hukum yang akan berdampak efektif adalah hukum yang diyakini kebenarannya. Padahal, hukum yang diyakini kebenarannya secara penuh adalah hukum yang lahir dari akidah. Dan, itu adalah Islam.

Liberalisme Ide Dasar JIL Kedua

Berikutnya, ide dasar kedua yang diusung JIL adalah liberalisme. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah kebebasan berekspresi/berpendapat sebagaimana disebutkan dalam empat agendanya. Apa yang dimaksudkan kebebasan berekspresi oleh mereka?

Pertama
, siapapun boleh memeluk agama apapun atau tidak beragama sekalipun. Konsekuensinya, murtad tidak jadi soal. Dalam pandangannya, semua agama tidak ada bedanya. Simaklah ungkapan pengusungnya yang diwakili Djohan Efendi: “Beragama adalah pilihan sukarela seseorang yang tidak bisa dipaksa-paksa. Siapa saja bebas untuk menentukan agamanya, apakah ia akan memilih Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau agama lainnya. Bahkan, orang juga bebas memilih untuk tidak beragama. Sebab, selama beragama adalah soal keyakinan individual, maka ia tak bisa dipaksakan. Kalau kita memaksa seseorang harus beragama, maka keberagamaan yang muncul jadi tidak tulus,” ujarnya. Orang yang membedakan antara muslim dengan kafir disebut kelompok Islam Liberal sebagai dualistis. Ulil menulis: “Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh sekarang ini. Jalan konfrontasi hanyalah akan menguntungkan orang-orang yang mempunyai pandangan dualistis mengenai kehidupan ini: “Islam” dan “kafir”, baik dan jahat, dan seterusnya.”

Padahal, memang, Allah SWT tidak memaksa seorang kafir untuk masuk Islam dengan cara diancam dengan senjata, misalnya. Di dalam suatu pemeritahan Islam boleh saja ada orang kafir, seperti pada jaman Nabi. Sebab, tidak ada paksaan dalam menganut agama. Namun, ketika seseorang sudah menganut Islam, maka Allah SWT ‘memaksa’-nya untuk mentaati aturan-aturan Islam. Dan, “Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah,” kata Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sayyidina ‘Ali r.a. Juga, Allah SWT melarang murtad: “… Barangsiapa murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 217). Dan, Allah SWT sendiri menggunakan istilah mukmin-kafir ini. Misalnya didalam surat al-Bayyinah [98] ayat 6 dan 7 menyebutkan: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahlu Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.”

Kedua, bebas berbuat karya apapun, apalagi bila sesuatu itu dipandang seni. Kelompok ini menyatakan “Seni tak bisa dihalal-haramkan”, kata Abdul Hadi WM dari kelompok Islam Liberal. “Yang ada dalam seni,” lanjutnya, “adalah indah atau buruk, bukan halal atau haram”. Dengan pandangan semacam ini, maka ketika heboh dua orang mahasiswa di Bandung mengabadikan perzinahannya dalam VCD dianggap sebagai kebebasan pribadi dia. Begitu pula, saat seorang penyanyi wanita membuat klip dengan udel kemana-mana, pinggul digoyang agar merangsang, dikerubuti banyak pria, sambil menyanyikan lagu dianggap sebagai karya seni. Bebas! Gambar yang disebut Nabi Muhammad yang dipampang dalam majalah Newsweek, dalam kacamata ini dianggap karya seni.

Ketiga, bebas menghujat keotentikan al-Qur’an dan menjelek-jelekannya. Juga, sekalipun tidak secara terang-terangan menyatakan tidak beriman pada al-Qur’an, namun memandang bahwa penulisan al-Qur’an yang ditulis sekarang tidak lengkap dan penuh fiksi (cerita bohong) dan mitos. Artinya, al-Qur’an itu perlu diragukan. “…Berbagai kesimpangsiuran, seperti ditunjukkan di atas, memperlihatkan bahwa teori dominan tentang pengumpulan pertama al-Qur’an di masa Abu Bakr adalah fiksi semata… Bagi rata-rata sarjana Muslim, “keistimewaan” rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Qur’an. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos ketimbang prasangka dogmatis. …. Uraian yang diterakan sejauh ini memperlihatkan eksisnya suatu jaringan fiksional yang telah ditenun di sepanjang perjalan historis al-Qur’an…,” kilah Taufik Adnan dari kelompok Islam Liberal.

Keempat, bebas memberi cap negatif (stigma) kepada umat Islam yang berpegang teguh kepada aturan Islam serta memberi sebutan bagus pada diri mereka. Dibuatlah dikotomi Islam tradisional vs modern, Islam moderat vs fundamentalis, Islam legalistik/formalistik vs substantif/normatif, Islam ekslusif vs inklusif, Islam ramah vs garis keras, Islam liberal vs literal, dan seabrek cap lain. Ungkapan-ungkapan ini tidak pernah luput dalam setiap ungkapan dan tulisan mereka. Arahnya mengkotak-kotakkan umat. Cap-cap negatif untuk orang yang ikhlas menerapkan dan membela Islam dengan hati dan pikiran jernih, sedangkan cap-cap yang positif diperuntukkan bagi mereka. Padahal, kategori dalam al-Qur’an itu adalah mukmin-muslim, kafir, munafik, zhalim dan fasik. Mereka yang taat kepada Allah SWT dengan menjalankan Islam itulah mukmin-muslim, merekayang ingkar dialah kafir, orang yang pura-pura beriman padahal sebenarnya ingkar namanya munafik, sedangkan orang yang melakukan dosa secara sembunyi-sembunyi padahal ia tahu bahwa menurut Islam hal itu adalah dosa disebut zhalim, dan orang yang melakukan dosa secara terang-terangan padahal ia tahu bahwa menurut Islam hal itu adalah dosa disebut fasik.

Kelima, bebas menginterpretasikan ayat dengan menggunakan akal semata. Artinya, yang menurut akal sesuai itulah yang benar. Muncullah istilah tafsir humanis, tafsir inklusif, dan lainnya. Sekalipun hasilnya bertentangan dengan teks itu sendiri tidak persoalan, asal substansi tetap ada. Padahal, al-Qur’an itu wahyu dari Allah SWT yang berupa teks (nash). Jadi, hal penting dalam memahami suatu pernyataan apapun adalah teksnya itu, lalu dihubungkan dengan latar belakang (asbabun nuzûl) ayat untuk memahami maknanya bukan malahan untuk mengabaikannya. Betul, Allah SWT sangat menghargai berpikir. Lebih dari 43 al-Qur’an menyebut kata berpikir. Namun, bukanlah berpikir liar melainkan berpikir tentang realitas, memahami nash, lalu menghubungkan antara realitas dengan nash. Realitas sebagai objek hukum, bukan subjek hukum. Karenanya, kebebasan interpretasi masing-masing tanpa berpegang kepada teks al-Qur’an tidak lebih dari sekedar menjadikan al-Qur’an sebagai hiasan semata, alat legitimasi keyainan yang sebenarnya sudah ada.

Itulah ternyata pengertian liberal (bebas) yang mereka usung. Bebas dalam makna tadi, jelas, diperangi oleh Islam. Islam telah menetapkan hukum-hukum yang mengatur perbuatan manusia, baik tindak tanduk maupun perkataannya. Tidak dibenarnya manusia melanggar hukum tersebut, menyimpang darinya dan atau berbuat rusak dan membuat kerusakan (fasad) sekehendaknya. Tidak dibenarkan oleh Islam adanya riddah (murtad), tuduhan dusta, ide-ide bohong, riba, khamr, perjudian, hubungan jenis diluar pernikahan, sebaliknya yang ada adalah kehidupan yang bersih tanpa kezhaliman dan penyembahan manusia terhadap manusia melainkan penyembahan murni semata kepada Allah Dzat Maha Perkasa.

Agen Pemikiran Barat Kafir

Bila dibandingkan antara keyakinan ideologi Barat (kapitalisme) dengan ide-ide dasar Islam Liberal tadi tidak ada bedanya. Sebagai misal, menurut Harvey Cox, komponen-komponen sekularisasi adalah disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam dari nilai-nilai agama, agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral (agama) atas otoritas dan kekuasaan, dan hal ini merupakan syarat untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan poltik dalam proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, maknanya adalah perelatifisasian setiap sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai agama yang bersifat absolut (Cakrawala Islam, 1991). Berdasarkan hal ini jelas sekali bahwa sekularisme atau sekularisasi itu memandang agama sebagai penghambat kemajuan, dan karenanya harus dipisahkan dari peranannya mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Dalam ideologi tersebut, pusat segala-galanya adalah manusia (antroposentris). Sedangkan ajaran agama (baca: Islam) dianggap relatif sehingga tidak dapat dijadikan tolok ukur. Nampaklah, gagasan sekulerisme dan liberal merupakan akar peradaban ideologi kapitalisme yang kini diusung oleh Barat pimpinan AS. Karenanya, sulit dibantah, gagasan Islam Liberal hanyalah merupakan kepanjangan tangan dari negara Barat dalam menundukkan Islam dan kaum muslim dengan menggunakan bahasa agama; merupakan agen pemikiran Barat kafir.

Adapun dari segi politis, mengikuti apa yang dikatakan Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani (At Takattul Al Hizbiy, 1953) Barat imperialis terus menerus menjajah dunia Islam dalam segala bentuknya. Diantaranya dengan menguasai perekonomian, politik, diterapkannya hukum kufur, mencengkeramkan tsaqofah Barat dan memberikan pemahaman tentang al-Qur’an didasarkan pada tsaqofah Barat tersebut. Perangkat untuk itu ada tiga, yaitu: penguasa yang zhalim, kalangan cendekiawan yang terbaratkan, dan zhalamiyyun. Dengan peta seperti ini, terlihat kelompok yang mengusung gagasan Islam Liberal, sadar atau tidak, merupakan pion yang dipasang Barat di depan kaum muslimin agar tidak kembali kepada Islam. Dalam konteks inilah kita memahami apa yang menjadi salah satu tujuan JIL: “…mencegah agar gagasan-gagasan keagamaan yang militan dan pro kekerasan menguasai publik.” Apalagi realitas menunjukkan bahwa benang merah Islam Liberal di Indonesia ini puncaknya adalah Cak Nur yang sudah dikenal sejak dulu sebagai pro Barat. Dilihat dalam konteks ini, Islam Liberal telah memproklamirkan dirinya sebagai pencegah diterapkannya hukum Islam, menghambat dilanjutkannya kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah Islamiyyah.

Sungguh, Barat sangat paham betapa bahayanya Islam yang adil terhadap peradabannya. Barat juga tahu bahwa Islam merupakan calon pengganti peradabannya yang kini sudah gontai. Karenanya, Barat mulai menyerang Islam dengan uslub (teknik) yang baru berupa serangan melalui jalan para pengekor gagasan dan tsaqofahnya atas nama kebebasan (liberal). Di samping, Barat juga terus memerangi kaum muslim melalui berbagai organisasinya (PBB, IMF, dan sebagainya.) yang menghukumi kaum muslim. Bahkan, berupaya memerangi Islam dan kaum muslim langsung oleh dirinya sendiri melalui, misalnya, Konsperensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1991. Salah satu isinya, melegalkan praktik aborsi, homoseksual, dan lesbianisme. Mengapa dilakukan di Kairo? Mengapa dimuktamarkan, bukankah di dunia Barat hal tersebut sudah biasa? Sayangnya, ada diantara putra-puteri Islam yang mengagumi tsaqofah mereka, menerima nilai-nilainya dan mencampuradukan antara haq dengan batil.

Sekalipun demikian, sungguh, kita sangat yakin bahwa Islam nan agung ini tidak akan pernah dipengaruhi oleh saham-saham musuh dan tipu daya para agennya. Islam adalah dînullâh (agama Allah), dînulhaq (agama kebenaran), tali-Nya yang kokoh. Karenanya, kaum muslim wajib berpegang teguh kepadanya, mengikatkan diri pada hukumnya, dan peganglah sekuat tenaga. Di dalam Islam-lah terdapat kebaikan kaum muslim dan kelurusan urusannya. Itulah senjata hebat kita dalam menggagalkan rencana Barat kafir dan para anteknya, dan dengan itulah konspirasi mereka porak-poranda. Ya, Allah, saksikanlah telah aku sampaikan!

“Mereka hendak memadamkan dengan mulut-mulut mereka cahaya Allah, namun Allah penyempurna cahaya-Nya sekalipun orang-orang kafir benci.” (Qs. ash-Shaf [61]: 8).

sumber: Sidogiri Online