22 July 2006

At Tawwazun Fiddunya wal Akhirah

Al-quran turun ketika sebagian manusia meragukan keberadaan akhirat. Persepsi orang yang saat itu menganggap kehidupan dunia adalah terminal final karena mereka tidak memikirkan kehidupan setelah mati. Mereka tidak "sadar" akan hal itu. Tidak heran bila mereka berfoya-foya setiap hari. Mereka mencari uang, tapi tidak bertahan lama. Mereka habiskan uang itu untuk melampiaskan hawa nafsunya.

Persepsi ini ternyata masih menjangkiti sebagian orang pada saat ini. Yang berbeda adalah persepsi itu didasari oleh kenyataan --setidaknya begitu kata mereka-- bahwa keberadaan akhirat tidak bisa dibuktikan. Tentu tidak semua orang berpendapat seperti itu, termasuk kita.

Melalui Alquran, Allah SWT meluruskan persepsi ini. Di dalamnya kita bisa dapati penekanan khusus terhadap keimanan terhadap akhirat, disertai dengan penjelasan yang rinci tentang hakikat kehidupan dunia dan akhirat; serta petunjuk bagaimana menyikapi keduanya. Secara bahasa dunia berarti "dekat". Sebab dunia itu lebih dekat dibanding akhirat. Dunia pun berarti "lebih rendah". Maksudnya dibandingkan akhirat yang kekal, dunia lebih rendah nilainya. Dalam surat Muhammad: 36, Allah swt berfirman: "Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu." Dalam ayat lain allah swt juga berfirman bahwa: "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Al hadid:20)

Short post here
Extended post here

Jelaslah bahwa kehidupan dunia itu bagaikan sebuah permainan. Allah SWT menggambarkan dunia dalam tiga gambaran.

Pertama
, al-la'ib wal lahwu (senda gurau dan permainan). "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui" (Al Ankabut: 64). Dalam ayat lainnya allah swt berfirman, "Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?(Al An'am:32)

Mengapa disebut demikian? ya... karena kenikmatan duniawi tidaklah kekal dan tidak dapat memberikan kemanfaatan yang berkesinambungan. Nikmat itu akan berhenti manakala usianya telah habis. Misal, nikmatnya minum adalah ketika merasa dahaga, namun saat rasa dahaga itu terpuaskan maka nikmatnya juga akan ikut hilang. Sungguh sangat singkat.

Kedua, Allah swt menggambarkan dunia adalah sebagai az-zinah (perhiasan). Apa-apa yang ada di dunia ini hakikatnya hanyalah hiasan saja, sementara. Mengapa? Karena setiap hal yang ada di dunia ini bagaikan sebuah perhiasan yang tidak bernilai, sebab yang menentukan perhiasan itu bernilai atau tidak, berguna atau tidak adalah si pemakai atau orang yang tahu. Contoh, sebuah permata akan bernilai manakala ia berada di tangan seorang ahli permata yang mampu menggosoknya menjadi batu mulia. Firman Allah,"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.(Al Kahfi: 7)

Ketiga, dunia itu adalah hal yang penuh tipudaya (ghurur). Ya...karena kehidupan dunia itu banyak menjadikan manusia condong kepadanya, mereka terlena dalam ketertipuan. Mereka tertipu sebagaimana anggapan di awal, mereka mengira bahwa kehidupan dunia itu akan selamanya dan mereka tidak menyadari akan adanya kehidupan setelah kehidupan dunia. Hal ini sebagaimana firman Allah swt, "Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.(Al Hadiid: 20)

Kita tentu meyakini bahwa kehidupan akhirat adalah terminal terakhir sebagai kampung final yang akan kita tinggali dan tempati. Akhiratlah yang terakhir. Lalu bagiamanakah kita mentikapi orang-orang yang lalai dan tertipu dalam "permainan" ini? Allah 'azza wajalla berfirman dalam kitab suci-Nya,"Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia." Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya"(Al An'am: 91)

Ya...allah menyuruh kita untuk tetap menyampaikan kebenaran kepada mereka ini, namun jika mereka tetap bebal dalam kesesatannya maka tinggalkanlah. Gugur sudah tugas kita untuk mengajak mereka kembali dalam pangkuan Quran jika mereka tetap membelot. Bahkan allah swt pun melupakan mereka ini, seperti dalam firmanNya,"(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka." Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami."(Al A'raf:51)

Sementara allah menggambarkan kehidupan akhirat dalam empat hal. Pertama, al-hayawan (kehidupan yang sebenarnya). Difirmankan,"Dan tiadalah kehidupan ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan (al-hayawan) kalau mereka mengetahui.

Maksud al hayawan dalam ayat tersebut adalah kehidupan yang sempurna di mana mengharuskan fisik para penghuninya kuat-kuat, dan kekuatan mereka mencapai puncaknya. Karena jasad dan kekuatan tersebut diciptakan untuk bisa tetap hidup. Segala sarana kesempurnaan dan kenikmatan hidup juga harus tersedia di dalamnya. Sarana tersebut termasuk semua hal yang menyenangkan hati dan mengenakkan badan, makanan, minuman, pasangan-pasangan dan kenikmatan lain yang tidak pernah terlihat mata, tidak terdengar telinga, serta tidak pernah terlintas dalam hati seorang hamba. Demikian komentar Abdurrahman As Sa'di.

Arti akhirat yang kedua, darul qarar (tempat yang kekal). Berbeda dengan dunia, akhirat itu kekal. Allah SWT berfirman dalam QS Al Mukmin: 39, "Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.

Ketiga, darul jaza (tempat pembalasan). Akhirat adalah masa perhitungan dan pembalasan. Semua yang dilakukan manusia akan dibalas di akhirat. "Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya (Mu'min: 17)

Keempat, akhirat itu lebih baik. Dalam berbagai ayat, seringkali Allah menyandingkan dunia dengan akhirat, kemudian dikomentari yang terbaik dari keduanya. Seperti yang tercantum dalam QS An Nahl [16] ayat 30, "Dan sesungguhnya akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.

Dari sini tampak jelas bahwa akhiratlah kehidupan sebenarnya. Dunia akan hancur, sedangkan akhirat tidak akan pernah hancur. Karena alasan itu Allah SWT mendorong kita untuk menjadikan akhirat sebagai tujuan utama.

Namun dunia tidak boleh kita tinggalkan. Sebab sekarang kita hidup di dalamnya. Sangat rugi bila kita menyia-nyiakannya. Allah SWT tidak menghendaki kita memisahkan dunia dan akhirat. Tidak ada sekularitas (pemisahan).

Kita harus memanfaatkan keduanya, "Carilah akhirat olehmu dalam apa yang telah Allah berikan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan engkau lupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi.(Qashash: 77) Dalam ayat lainnya,"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."(Al Jumu'ah: 10)

Kita pun menjadikan perhiasan-perhiasan dunia sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.Firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.(Al Maidah: 35)

Wallaahu a'lam.

15 July 2006

Psikosomatik Dan Pendekatan Psikologi Qur’ani

Fenomena menarik yang terjadi dewasa ini dan hampir melanda umat manusia adalah kerasnya persaingan antar individu untuk bertahan hidup. Dalam upaya seseorang untuk bertahan hidup, tak jarang konflik yang berkepanjangan mucul seiring dengan lewatnya waktu.

Seorang sibuk memikirkan masa depannya, masa depan anak-anaknya, kehidupannya untuk hari esok, penyakitnya yang tak kunjung sembuh, vonis dokter bahwa tensinya tinggi hangga ia dinyatakan mengidap penyakit darah tinggi, takut tak mampu menyelesaikan studinya, dan lain-lain sehingga ia terfokus hanya memikirkan masalahnya tersebut. Akibatnya, ia terbawa arus pikirannya yang tanpa ia sadari menjadikan konflik pada dirinya.

Kejadian ini terus berlangsung sepanjang hidupnya dan puncaknya ia tak mampu lagi mengendalikan pikirannya. Jadilah ia seseorang penderita suatu penyakit yang dalam bahasa kedokteran disebut psikosomatik atau depressi terselubung. Apa itu psikosomatik? Psikosomatik berkaitan dengan jiwa dan raga atau berhubungan dengan gangguan emosi atau mental pada diri manusia dimana ia tak mampu mengendalikan pikirannya yang ia rasakan dan dampaknya menurunnya daya tahan tubuh orang tersebut.

Ketidakmampuan seseorang dalam memikirkan sesuatu yang menjadi beban seseorang dalam kehidupannya merupakan pemicu utama timbulnya penyakit ini. Rasa cemas yang berkepanjangan dan berlebihan, takut terhadap sesuatu, apakah itu benda atau orang. Takut berjumpa orang, apalagi berbica dengan orang-orang tersebut.

Tak mampu berfikir secar optimal. Merasa tak berdaya dalam memecahkan sesuatu problema yang melilit fikirannya. Takut datang ke rumah orang yang ditimpa musibah atau meninggal dunia. Takut mendengar sirene ambulan, dan banyak lagi kecemasan-kecemasan atau ketakutan-ketakutan yang tak beralasan, yang muaranya sebenarnya adalah perasaan takut atau cemas akan kematian dirinya. Dengan kata lain, orang awam tidak melihat secara fisik bahwa si penderita mengalami gangguan kejiwaan sebab orang awam tersebut tak merasakan penderitaan orang yang terserang penyakit psikosomatik itu.

Short post here
Extended post here

Padahal, si penderita sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasi penyakitnya tersebut. Opini orang awam ini kelihatannya memang benar karena ayat-ayat tentang perasaan takut dan kecemasan terhadap dalam Al-Qur'an. Selain itu, orang awam belum pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi penderita psikosomatik. Demikianlah, fenomena yang tampak jika seseorang menderita psikosomatik.

Selain itu, fisik juga ikut terpengaruh akibat penyakit ini. Pada penderita psikosomatik, peningkatan kadar asam di lambung merupakan salah satu efek dari penyakit ini. Si penderita akan merasakan seolah-olah lambungnya sakit. Namun, yang sebenarnya adalah adanya peningkatan asam lambung disebabkan oleh faktor pikiran yang tak mampu dikendalikannya.

Penderita psikosomatik akan merasa rak punya tenaga, dadanya berdebar-debar kencang tanpa sebab, susah tidur, bernafas pendek sepertinya hanya sebatas leher dan tak sampai ke paru-paru, otot-otot terasa tegang seolah-olah ia menderita penyakit darah tinggi padahal ia tak menderita penyakit tersebut. Ia tak mampu berjalan jalan jauh sebab ia akan merasa cepat letih, dan juga ia merasa gamang untuk berjalan apalagi pergi ketempat-tempat ramai, seperti ke plaza-plaza atau ke pasar.

Ini terjadi karena si penderita psikosomatik sering membayangkan apa yang bakal terjadi jika ia pergi ke suatu tempat dan kemudian ia meninggal di sana. Hal semacam ini terus dalam pikirannya kecemasan merupakan penyakit batin, dan menyebabkan perasaan tegang. Tak jarang orang yang mengidap penyakit ini berusaha untuk bunuh diri. Perasaan ingin bunuh diri ini disebabkan penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh. Jika kondisi ini terjadi kemana ia harus mengadu?

Pendekatan Psikologi Qur'ani
Untuk langkah pertama adalah kita mengadu kepada Allah SWT dan kemudian kita pergi konsultasi pada dokter psikosomatik. Dalam Al-Qur'an, Allah telah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 155-57 "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raa'ji'unn. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."

Ayat di atas jelas menggambarkan kepada kita bahwa Allah SWT memberitahu bahwa Allah SWT menguji hamba-Nya. Ujian itu berupa kesenangan, kesusahan, sehat, sakit, kaya dan miskin, supaya diketahui dan terbukti siapakah yang tetap ber-Tuhan kepada Allah SWT dalam segala keadaanya, siapa pejuang dan sabar, dan siapa yang lancung, maka siapa yang sabar diberi pahala dan siapa yang patah dan syirik disiksa.

Dengan demikian manusia harus berjuang, karena hidup adalah pergulatan antara kebenaran dan kebatilan, pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Selanjutnya, Rasullullah shallalla-hu'alaihi wasallam bersabda, "Alangkah menakjubkan perkara orang mukmin! Semua urusan kebaikan baginya. Jika ketika dikaruniai kesenangan dia bersyukur, maka hal itu merupakan kebaikan baginya. Jika ketika dikaruniai kesenangan dia bersabar, maka hal itu merupakan kebaikan baginya." (HR. Muslim).

Demikian juga termuat dalam surat Al Baqarah ayat 216, Allah SWT berfirman, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

Selain dari ayat-ayat di atas, masih terdapat sekitar 134 ayat dalam berbagai kasus yang memaparkan tentang rasa takut, dan sebanyak 48 ayat dengan lafal gelisah. Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa pendekatan psikologi qur'ani merupakan solusi yang tepat untuk keluar dari cengkraman rasa cemas dan rasa takut yang tak beralasan, di samping tentunya berusaha berkonsultasi dengan ahli psikosomatik.

Dokter umum atau dokter spesialis (bukan psikosomatik) biasanya menanganinnya tanpa mau merujuk penanganannya pada dokter spesialis yang menangani psikosomatik. Bisa ditebak apa yang terjadi. Pasien psikomatik biasanya akan berpindah dari satu dokter ke dokter lainnya. Akhirnya, sebagai manusia beragama sudah selayaknya kita mendalami isi kandungan Al-Qur'an karena peristiwa-peristiwa yang terjadi di jagat raya ini telah dengan jelas diuraikan dalam Al-Qur'an. Kita jangan cepat-cepat mengatakan bahwa si penderita sakit "dibuat" oleh para pendengki.

Sebab ketidaktahuan kita akan suatu penyakit dewasa ini sering diasumsikan pada orang yang dengki telah berbuat zalim kepada kita, padahal penyakit yang kita derita adalah disebabakan tekanan kehidupan kita yang mampu kita pecahkan secara sistemaitis. Hanya kepada Allah SWT kita mengadu dan menyerahkan masalah kita. Kita harus banyak bersabar dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT, pencipta alam semesta. Hanya Allah SWT satu-satunya yang mampu menolong semua masalah dan penderitaan kita. Jadi, sudah sepantasnyalah kita mengadukan problem kehidupan kita hanya kepada Allah SWT.***


sumber: waspada

Memuliakan Perempuan Dalam Islam

Menurut salah seorang ahli hikmah mengatakan : "Annisa'u I'madul bilad iza shaluhat shaluhal bilad waiza Fasadat Fasadal bilad." (Perempuan itu adalah tiang negara, apabila perempuan itu baik maka negara akan menjadi baik, dan apabila perempuan itu rusak akhlaknya maka negara akan menjadi rusak dan terbelakang).

Perempuan adalah kata yang sering menjadi bahan pembicaraan manusia sepanjang zaman. Perempuan seringkali digambarkan sebagai makhluk yang mudah dihinggapi berbagai perasaan dan emosional yang tinggi, padahal tidak seperti itu, sehingga mudah diperalat untuk pemuas nafsu, dipertontonkan keindahan tubuhnya lewat pornoaksi dan pornografi, mereka di foto tanpa busana lalu dijual dipasar secara bebas.

Yang jelas saat ini sudah banyak di eksploitasi fisik perempuan sebagai barang komoditi, yang ironis adalah bahwa sebagian mereka bukan hanya rela dijadikan sebagai obyek komoditi murahan yang kadang-kadang menjijikkan. Tetapi malah bangga dengan label yang menempel pada dirinya. Dengan alasan seni atau keindahan mereka jual dirinya, tanpa peduli dengan nilai moral agama. Mereka menginginkan persamaan hak dengan kaum laki-laki dan meminta diberikan kesempatan untuk menciptakan keinginan yang kemudian gerakan ini dikenal dengan emansipasi wanita.

Gerakan emansipasi wanita yang sekarang ini sedang menggejala, kalau tidak hati-hati akan kebablasan kepada sikap penuntutan persamaan dengan kaum laki-laki secara mutlak, tanpa memperhatikan kodrat kewanitaan. Kalau sampai terjadi, maka akan muncul ketimpangan atau ketidakseimbangan di tengah-tengah masyarakat, karena sudah melanggar Sunnatullah.

Kalau kita mengamati sejarah, tidak akan dijumpai kedudukan kaum perempuan lebih terhormat dari yang telah dianugerahkan Allah SWT, kepada perempuan Islam. Untuk itulah musuh-musuh Islam menggunakan perempuan Islam sebagai sarana yang paling efektif didalam merusak ajaran agama, dengan menggiring mereka keluar untuk menodai agama di masyarakat.

Short post here
Extended post here

Apabila moral masyarakat telah berhasil dihancurkan, maka ketahanan dan keampuhan agama pun akan berakhir. Kalau sudah demikian keadaannya maka segala sesuatu mudah mereka lakukan. Karena itulah perempuan Islam hendaknya selalu mawas diri dan di tuntut kesadarannya. Hanya ajaran Islam yang mampu memberikan hak-hak kemanusiaan dan keutamaan yang dapat melindungi serta memuliakan kaum perempuan itu.

Perempuan dalam Islam sangat dimuliakan apabila telah memenuhi ketentuan yang telah digariskan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist diantaranya, Allah SWT berfirman: "....sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang Taat kepada Allah lagi memelihara diri …." (QS. An-Nisa : 34).

Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan tipe perempuan Islam yang dikehendaki oleh Islam.

Pertama, Shalihah, perempuan yang shalihah adalah sebaik-baik perhiasan sebagaimana Sabda Rasulullah SAW: "Dunia ini adalah kesenangan sementara, dan sebaik-baik kesenangan dunia ialah perempuan (istri yang shalihah)" (HR Muslim). Shalihah itu membawa berkah dan berdaya guna. Dan keberkahan itu disebabkan karena iman dan ketakwaannya kepada Allah. Ia menunaikan hak Allah atas dirinya dengan beribadah. Bahkan daya gunanya dapat meluas kepada lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Ia dapat mendidik anak-anak yang menuju ridha Allah. Apabila suaminya memandangnya menyenangkan hati dan taat serta patuh dalam hal-hal kebaikan.

Untuk menjadi perempuan yang shalihah maka harus membekali diri dengan menuntut ilmu karena segala sesuatu tanpa ilmu akan sia-sia. Dalam menuju perempuan shalehat ilmu yang harus dimiliki ialah ilmu agama dan ilmu umum, cara mendidik anak dan cara-cara mengatur rumah tangga, ketika diperintah suami ia taat, dan ia senantiasa berada dirumahnya dan menciptakan suasana rumah tangganya dengan tenang dan nyaman (mawaddah warahmah).

Kedua, Qanitat, Qanitat yaitu istiqomah dalam ketaatan. Kata taat juga mutlak kepada Allah dan Rasul. Sedangkan ketaatan kepada pemimpin dan suami diberikan selama pemimpin dan suami berada di jalur ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Perempuan atau istri yang Qanitat bukan istri yang menerima apa saja yang diperintahkan suaminya walaupun itu bertentangan dengan apa yang telah Allah dan Rasul tentukan pada dirinya. Allah SWT menjelaskan tentang orang yang istiqomah dan taat kepada-Nya: " Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembira dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu." (QS. Fushshilat : 30).

Ketaatan isteri kepada suaminya selama suaminya taat kepada Allah dan Rasul, maka ia wajib taat. Kalau diperhatikan pada kehidupan sekarang ini banyak isteri yang tidak mau diatur oleh suaminya, dengan alasan ia hidup tidak seperti zaman dahulu, sekarang perempuan sudah dapat bekerja diluar rumahnya, sudah dapat mencari uang sendiri. Maka mereka berkesimpulan kewajiban taat kepada suaminya boleh diabaikan. Tapi bagi seorang muslimah yang benar-benar bertakwa kepada Allah maka ia tetap taat kepada suaminya.

Ketiga, Hafizhah, Hafizhah adalah termasuk ciri-ciri perempuan yang diharapkan dalam Islam. Hafizhah yaitu memegang amanah suaminya dengan sebaik-baiknya. Ia menjaga amanah anak, harta milik suaminya dan menjaga kesucian dirinya dengan sebaik-baiknya. Walaupun tidak dilihat suaminya, ia tetap bertaqwa kepada Allah. Allah SWT berfirman : "Dan dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Hadid : 4).

Menjaga amanah Allah berupa anak, yaitu memberikan pendidikan yang sesuai dengan aturan Islam, menjaga jasadnya dengan memberikan makanan yang halal dan baik, yaitu makanan yang mengandung gizi yang baik dan berguna untuk pertumbuhan fisik anak, agar anak menjadi orang yang berbadan kuat. Kemudian dia juga wajib menjaga rohaninya dengan memberikan pelajaran agama, serta mengajarkan hanya takut kepada Allah SWT.

Menceritakan kisah-kisah sahabat Nabi agar anak menjadi berani dan menjadikannya sebagai figur-figur yang dikagumi bagi anak-anak, serta memberikan pendidikan yang disesuaikan dengan jenjang tahap perkembangannya. Istri juga wajib menjaga harta suami apabila suami tidak berada di rumah, mengatur dan menata rumah agar senantiasa rapi dan bersih agar suami apabila berada di rumah merasa nyaman.

Penutup
Didalam al-Qur'an Allah SWT telah memprioritaskan secara khusus bahwa perempuan dijadikan nama sebuah surat yang cukup panjang, yaitu surat An-Nisa. Ini menunjukkan bahwa perempuan mempunyai tanggung jawab dalam bidang keagamaan sama dengan laki-laki, bahkan mereka dapat dispensasi dan kelonggaran dalam melaksanakan ibadah tertentu seperti tidak kena kewajiban untuk ikut berjihad (berperang) dan kewajiban shalat dihapus apabila sedang haid dan nifas.

Allah SWT mensejajarkan perempuan dengan laki-laki dalam bidang hak azasi manusia, peran dibidang keagamaan dan peradaban yang disesuaikan dengan kodrat kewanitaan yang lemah lembut, juga memuliakan, mengasihi dan menyayangi.

Karena itu Nabi Muhammad SAW pernah berwasiat pada ketika khuthbah haji wada' yang berkaitan dengan perempuan : "Berwasiatlah kalian pada perempuan dengan baik,". (HR Bukhari Muslim). Kemudian Nabi menganjurkan kepada manusia agar bergaul dengan perempuan secara lemah lembut: "Tidak ada orang yang memuliakan perempuan kecuali orang yang benar-benar mulia, dan yang melecehkan mereka adalah orang yang hina". Yang terbaik diantara kamu yang terbaik menurut perempuan kalian. "Sesungguhnya perempuan adalah bagian dari laki-laki." (HR Ibnu 'Asakir, Ibnu Majah, Ahmad dan Abu Daud).

Di satu sisi kita diajarkan oleh Rasul untuk memuliakan kaum perempuan. Tapi di sisi lain kita menyaksikan betapa kaum perempuan itu sendiri yang menghinakan dirinya sendiri. Ajaran Islam lewat Al-Qur'an dan Al-Hadits telah mewajibkan untuk menutup auratnya seperti termaktub dalam surat An-Nur : 31 dan Al-Ahzab: 59, tujuannya tidak lain agar perempuan yang beriman itu dapat dibedakan dengan perempuan musyrik maupun kafir. (Wallahu A'lam).


sumber: waspada online

Tips Menjadi Hamba Yang Bersyukur

Menjadi seorang hamba yang bersyukur adalah idaman bagi seorang Nabi yang terkenal sebagai Nabi yang terkaya yaitu Rasulullah Sulaiman a.s, tidak hanya itu keinginan menjadi hamba yang selalu mukhlis itu sering kali dikumandangkan dari lisannya di saat-saat bermunajat kepada Allah SWT, fakta historis ini membuktikan ternyata kebahagiaan sejati itu tidaklah terletak pada "kekayaan" namun kebahagiaan sejati didapati pula jiwa manusia yang bersyukur.

Memang rasa syukur itu sendiri adalah "anugerah" tidak semua orang bisa menikmati perasaan itu, karena belum tentu orang yang selalu bertaburan dari lidahnya ungkapan syukur ia adalah benar-benar pengamal sikap syukur. Karena seringkali apa yang tampil dari diri kita ternyata belem tentu cerminan dari kesungguhan hati, semua sekadar tradisi atau pergaulan. Akhirnya begitu menerima kenikmatan "lupa" dengan mengungkapkan syukur baik kepada yang memberi maupun pada diri sendiri.

Banyak di antara kita terjebak memandang fatamorgana ini menjadi standar kebahagiaan dan pergaulan, padahal tatkala itu semua tidak ada lagi maka alangkah sedihnya, karena kita akan sendiri, tidak dipandang dan diakrabi orang lagi. Sungguh kita akan menuai hasil sebagai akibat desain pergaulan yang kita buat itu.

Short post here
Extended post here

Harta, tahta dan mahkota sangat "labil" dibalik itu semua tersimpan "amanah" untuk mensyukurinya, bahkan seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat yang sering diulang-ulang dalam surah ar-Rahman bahwa Allah SWT kerap bertanya "dari sekian banyak dari nikmat Tuhan yang mana lagikah yang akan kamu dustakan"?

Sudah menjadi sifat dasar dari manusia bahwa ia adalah makhluk yang sering mengalami rasa "berkeluh kesah" disebutkan dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (keberuntungan) maka ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat". (Q.S: al-Ma'arij, ayat: 19-22).

Makna Kata "Syukur" dalam kamus besar bahasa Indonesia "syukur" diartikan sebagai rasa terima kasih, sementara itu ar-Raghib al-Asfahani seorang yang ahli bahasa mengulas dalam bukunya "al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an" menyatakan; rasa syukur itu berarti "gambaran tentang nikmat dan menampilkannya ke permukaan. Kata syukur dasarnya berarti "membuka" dan kebalikan dari kata ini adalah "kufur" yang artinya menutup. Jadi hakikat rasa syukur itu adalah "menampakkan nikmat dengan menyebut-nyebut sipemberi dengan lidah" sedangkan kata kufur "menyembunyikannya".

Dengan demikian letak mendasar dari esensial "syukur" itu adalah bagaimana kita dapat menampakkannya sesuai dengan fungsi dan kegunaannya melalui petunjuk al-Qur'an dan al-Hadis, karena dengan petunjuknya kita akan mengetahui arah dan tujuan sipemberi sehingga tidak "mengecewakan" si pemberi.

Dalam literatur ke Islaman dipahami bahwa seluruh keberadaan alam semesta ini adalah "pemberian Allah SWT, Ialah yang menjadikan alat untuk menikmati kenikmatan begitu pula "materi" yang akan dinikmati. Tugas kita sebatas mengubahnya menjadi yang kita minati dan sukai sesuai kebutuhan, hanya saja dalam beberapa proses ini kita sering lupa bahwa "seolah" kita telah "menciptakan" yang telah diciptakan Allah. Sikap itu lama-lama mengkristal menjadi "kesombongan" untuk menggeser peran Allah SWT sbagai Sang Maha Pencipta.

Quraish-Shihab dalam buku "Wawasan al-Qur'an" mengatakan: Ulama ketika menafsirkan firman Allah "Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (QS. al-Baqarah, ayat: 152), menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Hal ini menunjukkan bahwa makna syukur sebenarnya menghadirkan Allah disegenap nikmat-nikmat-Nya, dengan mensyukuri nikmat-Nya maka secara otomatis kita mengakui eksistensi Allah SWT, dalam kehidupan ini.

Dengan demikian begitu besarnya "hikmah dan makna" syukur itu, wajar kalau Nabi Sulaiman berulang-ulang mengatakan: "Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur". (QS. an-Naml, ayat: 40). Bagi Nabi Sulaiman a.s, mengontrol hawa nafsu untuk selalu bersyukur itu teramat penting, karena di saat-saat manusia bersyukur maka saat itu pulalah hadir pengakuan kebesaran Allah dengan segenap keagungan-Nya, dan biasanya yang iringi dengan kata pujian "alhamdulillah". Menurut pakar-pakar bahasa kata "alhamdulillah" disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti "keseluruhan" yaitu yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah SWT, bahkan segala pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.

Jadi jika dilihat yang baik muncul pada orang-orang terdekat kita; karyawan kita jika kita seorang pimpinan, isteri kita anak kita, karya atau hasil kerja kita dan alam ini hendaknya kita cepat-cepat mengucapkan "Subhanallah" maha suci Allah karena hanya Allahlah yang mampu dan kuasa meridhoi dan menghadirkan semua itu, karena meskipun kita sangat berkehendak namun Allah maha segalanya, semua yang kita usahakan tidak akan terlaksana dengan "baik" jika ridho Allah tak bersama kita. Begitupun segala bentuk usaha kita sebagaimana janji Allah jika menuruti hukum alam (sunatullah) dengan baik maka insya Allah akan menghasilkan yang baik pula itu berarti kita telah memahami pesan-pesan-Nya.

Realitasnya banyak manusia yang meragukan apa yang telah diturunkanNya, baik berupa kitab suci maupun tanda-tanda (ayat-ayat kauniyah) alam semesta ini. Sikap-sikap itulah yang dalam perkembangan keyakinan kita menjadi insan yang kufur, karena tidak mau mengakui nikmat Allah bahkan menutupinya dengan berbagai sifat dan sikap mazmumah.

Tips Menjadi Hamba yang Bersyukur

Nabi Muhammad SAW, bersabda: "Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya". (HR: Tarmizi). Hadis ini beriringan dengan tujuan firman Allah bahwa "Dan barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya ia mensyukuri dirinya sendiri dan barang siapa yang kufur maka sesungguhnya Tuhan-Ku maha kaya lagi mulia". (QS: an-Naml, ayat: 40).

Ayat-ayat Allah yang menyatakan bahwa Allah akan menambah dan menjamin nikmat-Nya" itu pada hamba-hamba yang bersyukur sangat banyak, ini menunjukkah bahwa letak jaminan sukses seseorang bukan ketika mengingkari nikmat-nikmat-Nya, namun di saat-saat manusia mau tafakur dan tadzkir kepada Allah SWT buah dari sikap tasyakurnya. Dengan demikian hendaknya kita kembali bersyukur tidak melupai dan mengkhianati pemberian-Nya, kalau demikian menurut saya ada tiga tips yang akan mengembalikan kita untuk menjadi hamba yang bersyukur ('abdan syakura), dan itu lewat tiga indra yang kita miliki, yaitu:

1. Bersyukur dengan hati
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari menyadari betapa besarnya kemurahan dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya. Qorun yang mengingkari keberhasilannya atas bantuan Ilahi, dan menegaskan bahwa itu diperolehnya semata-mata karena kemampuannya, dinilai oleh al-Qur'an sebagai kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya (kisah ini termaktub dalam surah al-Qashash, ayat: 76-82).

Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa malapetakapun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dengan rasa syukur seperti ini seseorang akan jatuh tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah SWT.

Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati, yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang dianugerahkan Allah. Bahkan sujud syukur dapat dilakukan saat melihat penderitaan orang lain dengan membandingkan keadaannya, melihat betapa perihnya hati mereka yang terkena musibah gempa dan Tsunami saudara-saudara kita baik yang ada di NAD maupun di Nias. Meletakkan kening dan dahi ke atas tanah adalah simbolisasi kerendahan dan kehambaan kita dihadapan Khalik, kemudian menyadari dengan nikmat apa saja tidak merubah status manusia dihadapan Allah yang sama-sama sebagai hamba yang "sama". Kesamaan inilah yang menemani kesetiaan dan kesabaran seseorang untuk tetap bertahan pada jiwa yang selalu bersyukur baik pada waktu senang maupun susah.

2. Syukur dengan lidah
Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya. Seperti telah saya sebutkan di atas, mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi "alhamdulillah". Hamdu (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apapun baik pada kita (si pemuji) ataupun orang lain, karena memang memuji tidak memerlukan "balasan" untaian kata itu mengalir secara "ikhlash" karena pengakuan yang mendalam atas kekaguman dan ketakjuban.

Jika mata dan hati kita secara sadar menyaksikan singgasana nikmat yang tak ternilai harganya maka akan terurailah kata-kata sebagaimana firman Allah: "Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya". (QS. Ibrahim, ayat: 34).

Semua hal yang datang sebenarnya harus kita syukuri tetapi setidaknya secara garis besar kita pantas mensyukuri beberapa nikmat terbesar Allah yaitu: kehidupan dan kematian, hidayah Allah, pengampunan-Nya, panca indera dan akal, rezeki, sarana dan prasarana, kemerdekaan semua nikmat ini sangat besar nilainya dan harus kita syukuri dengan baik.

Masih banyak sebenarnya nikmat-nikmat Allah yang secara khusus kita syukuri, tetapi beberapa nikmat di atas sebagian yang sering disebut-sebut dalam al-Qur'an. Kemudian secara aplikatif nilai syukur ini akan "berharga" bila dilanjutkan dengan gerak-gerik aktivitas kita sehari-hari alias diamalkan dengan perbuatan.

3. Syukur dengan perbuatan
Aktivitas yang bernilai "syukur" bisa dilihat bagaimana kita mengamalkan hidup ini dengan motivasi "ridha" Allah SWT, Nabi Daud a.s, beserta putranya Nabi Sulaiman a.s, memperoleh aneka nikmat yang tiada tara. Kepada mereka Allah berpesan: "Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur". (QS. Saba', ayat: 13).

Makna bekerja di atas adalah menggunakan nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahan. Ini berarti setiap kali ada nikmat Allah kita dituntut merenungkan tujuan nikmat tersebut. Nikmat-nikmat Allah terbentang baik di daratan maupun di lautan, menuntut kemampuan akal kita untuk menghadirkan teknologi yang canggih untuk menggali dan menuai hasilnya.

Dengan "kerja keras" akhirnya setiap insan yang mau bekerja dengan baik akan mendapatkan kesejahteraan hidup. Tetapi yang sangat disayangkan pernah terjadi sebagai iktibar bagi kita dimana pengalaman pahit telah dilukiskan telah terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, kaum Saba' yang hidup di Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu yaitu Ratu Balqis. Diceritakan keadaan bangsa yang kuat persatuan dan kesatuan, nikmat bumi yang subur membuat mereka makmur, tetapi mereka berpaling, dan enggan sehingga akhirnya mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah bersang. Tinggallah kenangan yang menghiasi hidup mereka akibat kelalaian untuk bersyukur pada Allah SWT.

Penutup
Dengan segenap fasilitas yang kita miliki hari ini sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak bersyukur, karena kunci kesejahteraan diri bukan terletak pada banyak sedikitnya harta tetapi pada besar-kecilnya ungkapan syukur yang mampu kita wujudkan. Dengan bersyukur maka Allah akan semakin dekat dengan begitu hati inipun semakin tenteram. Semoga! Amiin yaa Kariim. Wallahua'lam bishawab.


sumber: kajian MyQ by: ncakrawala

Upaya Menjaga Kebersihan Hati

Tuhan menurunkan kepada manusia dua sifat, yaitu sifat hasanah (baik) dan sifat sayyi'ah (jelek). Kedua sifat ini selalu melekat pada diri manusia sepanjang hayatnya. Tetapi, sifat yang bertolak belakang secara diametral tersebut, masih sangat ditentukan oleh eksistensi hati (kalbu), sebagai potensi (al-quwwah, fakultas) yang menentukan pilihan dan tindakan (action) manusia.

Eksistensi kalbu merupakan pusat penalaran, pemikiran dan kehendak, yang berfungsi untuk berfikir, memahami sesuatu, dan bertugas atas aktualisasi terhadap segala sesuatu. Kalbu dapat dikategorikan intuisi atau pandangan yang dalam, yang mempunyai rasa keindahan, dan kehidupannya dari sinar mentari yang membawa manusia pada klebenaran, dan sebagai alat untuk mengenal kebenaran ketika pengindraan tidak memainkan peranannya.

Menurut Ibnu Athaillah Al- Sakandari, seorang sufi terkemuka, menyatakan bahwa kalbu merupakan bagian esensi kehidupan manusia. Sebagai tokoh ulama yang zahid, wara' serta sebagai duta orang-orang arif dan imam para sufi, Athaillah mengemukakan pentingnya kalbu. Bahkan, ia menegaskan bahwa untuk meraih derajat tinggi dan tempat mulia di hadapan Allah, diperlukan kedalaman pengetahuan pada diri Muhammad Saw, sebagai utusan Allah. Bagi kaum Muslim, figur utama yang perlu diikuti dan dihormati adalah Rasulullah, kata Athailah dengan nada semangat. Dengan mengikuti sunnah Rasul, secara pasti kehidupan ini akan terbimbing ke arah jalan yang diridhai Allah.

Muhammad Saw adalah orang yang senantiasa terjaga kesucian hatinya. Nabi benar-benar menjadi publik figur yang sangat disegani, dihormati karena hatinya yang sangat mulia. Dengan nada dan gaya yang fulgar, Athaillah sampai membuka kartu rahasia, bahwa salah satu kesuksesan dirinya menjalani seorang sufi, yaitu karena ia telah mengikuti Rasulullah baik secara lahir maupun bathin.

Short post here
Extended post here

Adapun metode ampuh untuk menjaga kesucian kalbu adalah dengan taubat. Secara bahasa, taubat berakar dari kata taaba yang berarti kembali. Artinya kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali lari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridha'i-Nya, kembali dari yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, dan seterusnya.

Jalan taubat sengaja di buka oleh Allah agar jika seorang Muslim melakukan kesalahan, baik yang besar maupun kecil, ia wajib segera kembali kepada jalan Allah. Dengan mengutip ayat al-Qur'an, Athaillah menyerukan: "Kembalilah kamu sekalian kepada jalan Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". Mengapa manusia perlu bertaubat? Karena manusia dihidupkan dan dimatikan hanya oleh Allah. Sehingga modal untuk kembali kepada Allah hanyalah dengan keadaan Suci (fitrah) dari segala bentuk dosa dan perbuatan maksiat, yang menentang kemahakuasaan Allah.

Kiat untuk menundukkan kalbu juga bisa dengan muhasabah (introspeksi diri). Manusia seharusnya punya kesadaran bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah di manapun ia berada, baik siang maupun malam. Dengan demikian, manusia akan terdorong untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri, perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap kalbunya sendiri. Lagi-lagi, menurut Athailah, Muhasabah dapat direncanakan sebelum melakukan sesuatu dengan secara tepat dan matang. Mempertimbangkan terlebih dahulu baik-buruk dan manfaat perbuatannya itu.

Satu hal lagi yang menjadi catatan agar Kalbu tetap suci adalah sikap ikhlas. Secara etimologis, ikhlas berakar dari khalasha yang berarti bersih, jernih, murni; tidak tercampur. Ikhlas bagaikan air bening yang belum tercapur oleh zat apapun. Sikap ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan dari setiap kemauan, keinginan yang didasarkan bukan kepada Allah.

Ikhlas mengajarkan kepada manusia agar berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah. Karenanya, setiap perbuatan harus diawali dengan kata niat. Seperti yang dianjurkan Nabi: "Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya."

Sebagaimana yang terpaparkan di atas, tulisan ini merupakan salah kunci untuk menjaga kebersihan hati (kalbu). Jika hal ini memang benar, tentu semata-mata karena hidayah dan ilmu Allah yang diturunkan melalui hamba-Nya.

sumber: waspada online

14 July 2006

Menuju Jamaatul Muslimin



Semenjak kekhilafahan jatuh tahun 1924, ummat Islam hidup tercerai-berai tanpa ada kepemimpinan yang satu hingga hari ini. Persatuan mereka dipisahkan oleh nation-nation yang sempit akibat penjajahan Barat selama ratusan tahun. Potensi kekayaan alam mereka dieksploitasi untuk memajukan industri Barat. Jadilah, bangsa-bangsa yang berpenduduk mayoritas Muslim yang semula berada dalam kejayaan dan keemasan berubah menjadi bangsa-bangsa yang miskin di bawah bayang-bayang sistem kapitalisme Barat. Barat menamakan bagian dunia ini adalah dunia ketiga. Di samping itu, upaya ghazwul fikri (invasi pemikiran) yang dilakukan Barat secara tersistem terus menerus menggempur dunia Islam. Akibatnya, kemerosotan akhlaq dan aqidah (keimanan) bisa kita saksikan di berbagai bagian dunia Islam. Inilah wajah-wajah dunia Islam sekarang ini, persis sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW:

“Berbagai bangsa sebentar lagi akan menyerang kalian dari segala penjuru, bagaikan rayap-rayap menyerang tempat makan mereka. Para sahabat bertanya: Apakah hal itu karena kita pada waktu itu jumlahnya sedikit? Rasulullah menjawab: (Tidak), padahal kalian pada waktu itu banyak, tetapi kalian adalah buih, bagaikan buih air bah. SesungguhnyaAllah SWT akan mencabut kewibawaan kalian dan pada waktu yang sama Allah akan menanamkan wahn dalam hati kalian. Para sahabat bertanya: Apakah wahn itu wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: Cinta dunia dan takut mati”. (HR. Abu Dawud).

Short post here
Extended post here
Hadits ini menunjukkan kepada fenomena adanya persekongkolan internasional di mana berbagai bangsa menyerang kaum Muslimin. Ummat Islam saat itu menjadi sebuah hidangan yang diperebutkan oleh siapa saja yang lapar dan rakus. Keadaan ini dibenarkan oleh realitas yang kita alamai dewasa ini. Barat dan Timur, golongan kanan dan kiri, ahli kitab dan orang-orang atheis; semua bersekongkol menyerang ummat Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran: Mereka itu satu dengan yang lain saling membantu. Lebih parah lagi, sejak terjadinya peristiwa serangan 11 September 2001, skenario isu terorisme (baca: Islam) menjadi strategi yang cukup jitu untuk (kalau bisa) menghabisi kekuatan kaum muslimin, khususnya kaum muslimin yang memiliki ruh Islam yang tinggi.

Bagaimana jalan untuk dapat keluar dari kondisi seperti itu? Apakah kondisi ummat seperti ini dapat kembali kepada kejayaan sebagaimana sebelumnya? Bagaimanakah jalan menuju ke sana? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang dapat muncul di benak kaum Muslimin yang merindukan kembalinya kejayaan ummat Muslimin. Tidak ada yang mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas selain dari Allah dan Rasul-Nya. Marilah kita simak informasi (futuristik) dari Allah SWT di dalam surat An-Nur: 55: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.

Ayat tersebut memberikan informasi tentang janji Allah SWT yang akan kembali memberikan kekuasaan (kekhalifahan) kepada orang-orang Mu’min dan mengerjakan amalan-amalan shalih. Allah SWT akan meneguhkan Dienul Islam serta menukar keadaan mereka yang ketakutan menjadi aman sentosa. Janji Allah pasti benar. Tinggal kita cermati dua hal utama sebagai syarat terealisirnya janji Allah tersebut: iman dan amal shalih. Munculnya orang-orang (generasi) yang memiliki keimanan yang benar dan terealisir dalam amal (aktifitas, kerja) yang nyata yang senantiasa mengikuti panduan Ilahi (Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW).

Inilah dua kunci utama untuk dapat mengembalikan kejayaan Islam. Di samping itu, kita dapati hadits-hadits futuristik dari Nabi SAW yang memberikan isyarat masa depan. Di antara berita gembira itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tamim Al-Dari; “beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Risalah ini (yakni Islam) pasti akan sampai ke tempat-tempat yang telah dicapai oleh malam dan siang. Allah tidak akan meninggalkan satu pun rumah batu dan rumah bulu melainkan dia memasukkan agama ini ke dalam rumah tersebut; baik dengan kekuasaan penguasa atau kehinaan orang yang hina, dan Allah akan tetap memuliakan orang yang telah dimuliakan dan menghinakan orang yang dihinakan oleh kekufuran”. (HR. Ahmad).

Berita gembira lainnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yamani, dari Nabi SAW sbb: ”Dari Numan bin Basyir, ia berkata: Kami duduk-duduk di Masjid Rasulullah SAW, Basyir adalah seorang yang tidak banyak bicara. Kemudian datang Abu Tsalabah seraya berkata, Wahai Basyir bin Sad, apakah kamu hafal hadits Rasulullah SAW tentang para penguasa? Maka Hudzaifah tampil seraya berkata, Aku hafal khutbahnya. Lalu Abu Tsalabah duduk mendengarkan Hudzaifah berkata: Rasulullah SAW bersabda:

1). Muncul kenabian di tengah-tengah kamu selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya.
2). Kemudian akan muncul khilafah sesuai dengan sistem kenabian selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya.
3). Kemudian akan muncul raja yang menggigit selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya.
4). Kemudian akan muncul raja yang diktator selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya.
5). Kemudian akan muncul (lagi) khilafah sesuai dengan sistem kenabian. Kemudian beliau diam.

Hussein bin Muhammad bin Ali Jabir memberikan penjelasan seputar periodisasi dalam hadits tersebut sbb:

  1. Periode pertama dan kedua cukup jelas, yaitu saat Nabi masih hidup dan kemudian digantikan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsmna ibn Affan serta Ali ibn Abi Thalib. Bentuk pemerintahan mereka adalah khilafah yang terpimpin, sesuai dengan sistem kenabian. Akhirnya lembaran putih ini (masa khilafah rasyidah) digulung pada saat tangan seorang berdosa menikam dada harum penuh berkah Ali bin Abi Thalib ra. Setelah itu, ummat Islam memasuki era pemerintahan baru di mana khilafah dijadikan barang warisan di antara Bani Umayyah di Syam.
  2. Periode Bani Umayyah sampai dengan Khilafah Utsmaniyyah adalah periode raja yang mengigit. Pada tahun 1924, periode ketiga ini diakhiri oleh Dewan Nasional Turki yang menyatakan pembubaran dan penggulingannya.
  3. Dengan demikian, ummat Islam telah melampaui periode ketiga dari periodisasi pemerintahan yang diramalkan oleh Rasulullah SAW tersebut; selanjutnya memasuki periode keempat, yaitu periode raja yang diktator dalam bentuk kudeta-kudeta militer dan lain sebagainya yang kita saksikan pada abad ini. Kita tidak tahu pasti kapan Allah akan mencabutnya sehingga ummat Islam, bahkan semua manusia, akan hidup bahagia dalam periode baru, yaitu periode khilafah sesuai sistem kenabian. Periode yang menjadi cita-cita ummat Islam dan semua manusia. Karena hanya periode inilah yang mampu menyelesaikan semua problematika ummat manusia dan dapat membahagiakannya.
Mengomentari hadits tersebut Syaikh Yusuf Qaradhawi mengatakan sbb: “Hadits tersebut membawa berita baik tentang akan lenyapnya era pemerintahan diktator yang otoriter, zhalim, dan kejam kemudian disusul dengan munculnya kekhalifahan yang baik; mengikuti konsep (Manhaj) Nabi dalam menegakkan keadilan, melaksanakan sistem musyawarah, mengayomi hukum-hukum Allah, dan memelihara hak-hak rakyat”.

13 July 2006

Antologi >>> Hanya Waktu

Who can say where the road goes,
Where the day flows?
Only time...

And who can say if your love grows,
As your heart chose?
Only time...

Who can say why your heart sighs,
As your love flies?
Only time...

And who can say why your heart cries,
When your love lies (dies)?
Only time...

Who can say when the roads meet,
That love might be,
In your heart.

And who can say when the day sleeps,
If the night keeps all your heart?
Night keeps all your heart...

Who knows?
Only time...

*********ooooOO0{+}0OOoooo**********

Bait syair mengalun, mengalir dalam riak sang bayu yang meniup sepi
Saat kau beranjak pergi, meninggalkan segala galau hati
Menggurat hitam dalam mimpi....Hanya waktu....


05 July 2006

Counter Liberlism > Aqidah Lurus

MEMAHAMI AGAMA DENGAN BENAR


Dalam satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Bani Israil (kaum Yahudi dan Nasrani) telah berpecah-belah menjadi 72 aliran, dan umatku akan berpecah-belah menjadi 73 aliran. Mereka semua akan masuk neraka kecuali satu aliran saja. Para sahabat bertanya, "Siapakah dia itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Siapa yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku." (HR. Tirmidzi, al- Hakim dan al-Anjurri; dihasankan oleh al-Albani).

Penjejasan Hadits

Rasulullah saw mengkhabarkan kepada umatnya bahwa Bani Israil, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani, telah ber-selisih dalam memahami dan menga-malkan agamanya. Sehingga mereka pun terpecah menjadi 72 golongan (firqah). Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan/aliran dan kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Perselisihan tersebut terjadi karena munculnya orang-orang yang mening-galkan petunjuk nabinya dan mengi¬kuti pendapat atau gagasan sebagian tokoh-tokon mereka yang menyimpang dari garis kenabian. Setiap penyimpangan menimbulkan munculnya satu firqah (kelompok). Begitulah seterus-nya sampai jumlah kelompok-kelompok tersebut genap 72. Kemudian, apa yang menimpa umat Bani Israil itu akan menimpa pula umat Islam, bahkan lebih banyak lagi. Ini adalah suatu peringatan dari Rasulullah saw agar umat ini berhati-hati dan waspada. Kemudian beliau juga menginformasikan bahwa seluruh kelompok dan aliran tersebut tercela dan terancam dengan neraka kecuali satu kelompok saja. Jadi, hanya ada satu kelompok saja yang selamat. Mendengar informasi ini, para sahabat bertanya, 'Siapakah golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?" Beliau saw menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat yang singkat namun padat, "Siapa yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku." Artinya, siapa yang setia dan komitmen meniti jalan Nabi saw dan para sahabatnya maka dialah orang yang selamat.

Keharusan Mengikuti Pemahaman Para Salafus Shalih dalam Masalah Agama

Salafus shalih adalah tiga generasi pertama umat Islam yang mereka itu telah diakui keterbaikannya oleh Rasulullah saw . Tiga generasi tersebut adalah para sahabat Nabi, tabi'in (generasi setelah sahabat) dan tabi'it tabi'in (generasi setelah tabi'in). Ketiga generasi tersebut telah dipuji oleh Rasulullah sebagaimana sabda beliau: "Sebaik-baik manusia adalah generasi-ku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang lain, beliau saw bersabda: "Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus pada masanya (yakni generasi sahabat), kemudian generasi yang sesudah mereka, kemudian generasi yang sesudah mereka." (HR. Muslim)

Pernyataan Rasulullah saw bahwa para sahabat adalah generasi terbaik umat ini menunjukkan bahwa mereka adalah kaum yang:
  1. Paling baik pemahamannya tentang agama dan paling benar metodenya dalam memahami agama.
  2. Paling lurus dan kokoh aqidah (keimanan)nya.
  3. Paling ikhlas dalam niatnya.
  4. Paling mencontoh Rasulullah saw dalam ibadahnya.
  5. Paling bersih hatinya.
  6. Paling dalam keilmuannya.
Para sahabat juga telah dipuji oleh Allah swt dalam beberapa ayat suci-Nya. Pujian tersebut tidak pernah di-berikan untuk kaum selain mereka. Di antaranya adalah firman Allah swt, "Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu Iihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil." (QS. Al-Fath: 29)

Dan juga firman-Nya,"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu (muhammad) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktu)."(QS.AI-Fath:18)

Juga firman-Nya, "(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah (kaum Muhajirin) yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. "(QS. Al-Hasyr : 8)

Juga firman-Nya, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) se-belum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. "(QS. Al-Hasyr: 9).

Pujian Allah swt kepada para sahabat menunjukkan bahwa Allah telah merestui jalan mereka, pemahaman mereka dan metode beragama mereka, sebab mustahil Allah swt memuji suatu kaum yang berada di atas jalan yang salah. Oleh karena itu al-Imam Ibnu Katsir rahimahulullah berkata dalam muqaddimah tafsirnya, "Jika ada orang bertanya, cara manakah yang terbaik dalam menafsirkan al-Qur'an? Maka jawabnya ialah cara (metode) yang paling benar dalam menafsirkan al-Qur'an adalah :
  1. Hendaknya al-Qur'an ditafsirkan dengan al-Qur'an, sebab apa yang di dalam satu ayat disebutkan secara global maka ia dirinci dalam ayat yang lain.
  2. Jika engkau tidak mendapati tafsirnya dalam al-Qur'an, hendaklah engkau cari dalam as-Sunnah (Hadits). Sebab as-Sunnah adalah penjelas al-Qur'an.
  3. Jika engkau tidak mendapati keterangan (tafsir)nya dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah, maka hendaklah engkau merujuk kepada perkataan sahabat. Sebab merekalah yang paling mengerti tentang al-Qur'an karena mereka menyaksikan saat-saat turunnya ayat-ayat suci al-Qur'an dan tahu latar belakang serta sebab diturunkannya ayat-ayat tersebut. Hal ini salah satu kekhususan mereka. Di samping itu mereka juga memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar dan amal yang shalih. Terlebih lagi para ulama sahabat seperti, Khulafa'ur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Abbas ."(Tafsir ibnu Katsir, him 5-6, dengan sedikit diringkas)
Oleh karena itu, sungguh nyeleneh sekali pemahaman sebagian anak muda masa kini (JIL) yang dengan arogannya berkata, "Kami percaya, ijtihad (pemahaman rasional atas teks-teks ke-Islaman) adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca." Mereka memaknai ijtihad dengan "penalaran rasional" atas teks-teks ke-Islaman. Ini artinya mereka hendak menafsirkan teks-teks ayat suci alQur'an dengan akal mereka. Alangkah sesatnya pemahaman tersebut.

Hanya dengan memehami pemahaman para sahabatlah yang akan menjamin seseorang dari kekeliruan dan kesesatan. Imam Ibnu Katsir rahimahumullah berkata, "Adapun penafsiran al-Qur'an hanya dengan bersandar pada ra'yu (penalaran rasional) maka haram, karena Nabi saw pernah bersabda: "Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur'an dengan ra'yu (pikiran)nya atau dengan apa yang dia tidak ketahui, maka hendaklah bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud; Tirmidzi berkata: hadits hasan)

Oleh karena itu sebagian salafus shalih sangat menghindari pembicaraan ayat-ayat yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Sebagaimana halnya Abu Bakar ash-Shiddiq beliau pernah berkata: "Bumi mana yang akan mengembanku dan langit mana yang akan menaungiku jika aku berkata tentang Kitabullah (al-Qur'an) apa yang tidak aku ketahui?"

Imam para ahli tafsir, Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abi Mulaikah rahimahumullah, seorang tabi’in yang shalih, bahwa Abdullah bin Abbas ra pernah ditanya tentang satu ayat al-Qur'an tetapi beliau enggan untuk berkata sesuatu tentang ayat tersebut. Seandainya pertanyaan tersebut diarahkan kepada salah seorang di antara kalian, maka pasti ia akan menjawabnya." (Tafsir Ibnu Katsir, hlm. 6). Padahal Abdullah bin Abbas ra adalah seorang tarjumaanul Qur'an (ahli tafsir Al-Qur'an). Kesimpulannya, hanya dengan memahami Islam sesuai dengan pemahaman para sahabatlah yang akan menjamin seseorang dari kekeliruan dan kesesatan. Inilah metode yang benar. Kesalahan dalam metode memahami agama adalah sangat fatal, karena akan menyebabkan salahnya kesimpulan-kesimpulan yang diambil. Oleh karena itu, liberalisme agama yang berarti memahami teks-teks agama (al-Qur'an dan as-Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas adalah suatu prinsip yang sangat sesat lagi menyesatkan.

Apakah Kebenaran Bersifat Relatif dan Plural (jama')?

Salah satu prinsip yang diusung oleh JIL adalah mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Artinya, mereka tidak mengakui adanya kebenaran yang bersifat mutlak dan tunggal. Apakah pemahaman ini benar? Marilah kita kembalikan kepada teks-teks al-Qur'an dan as-Sunnah.
  1. Allah swt berfirman, "Kebenaran itu adalah darl Rabb-mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu." (QS. Al-Baqarah:147).
  2. Allah swt berfirman, "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, serta semua yang ada di dalamnya." (QS. Al-Mu'minun :71).
  3. Allah swt berfirman, "Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka bagai-manakah kamu dipalingkan (dari kebenaran) " (QS.Yunus: 32).
Dari ketiga ayat di atas jelas sekali bahwa kebenaran adalah yang datang dari Allah is , dan itu bersifat mutlak. Oleh karena itu dalam ayat yang lainnya Allah swt berfirman, "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS.AI-An'am: 116).

Dalam haditsnya, Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang hidup di antara kalian, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (jalan hidupku) dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigitlah ia de¬ngan gigi-gigi geraham (yakni peganglah kuat-kuat)."(HR. Abu Daud, Tir-midzi dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh al-Albani).

Hadits di atas jelas sekali memberikan petunjuk kepada umat yaitu jika terjadi perselisihan maka yang hams menjadi pedoman adalah sunnah Rasulullah saw dan para khalifahnya yang empat. Jadi kebenaran itu tidak bersifat relatif (nisbi) atau plural.

Dengan prinsip pluralisme tersebut JIL berpendapat bahwa semua agama adalah sama dan mengandung kebenaran. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar se-dang agama yang lain salah. Ini berarti semua pemeluk agama akan masuk surga dan hidup berdampingan di sana. Ini adalah suatu pemahaman yang sangat batil dan bertentangan dengan teks-teks yang jelas. Bahkan tak diragukan lagi, siapa yang memiliki pemahaman di atas maka ia telah murtad.

Allah swt berfirman 'Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisiAllah hanyalah Islam. (QS.AIi Imran: 19)

Dan juga firman-Nya," Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."(QS.Ali Imran: 85).

Dan juga firman Allah swt, "Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (QS. Al-Bayyinah: 6) Yang dimaksud dengan ahli kitab dalam ayat di atas adalah kaum Yahudi dan Nasrani.

Nabi saw juga bersabda, "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, balk Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang diriku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada ajaran yang aku bawa, melainkan ia akan menjadi penghuni neraka." (HR. Muslim).

Sikap Islam Terhadap Sekulerisme

Sekulerisme dalam bidang perundang-undangan (tasyri) artinya memisahkan agama dari negara atau dari kehidupan seluruhnya. Ini artinya menerapkan hukum-hukum yang tidak diturunkan oleh Allah swt. Padahal Allah berfirman, "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah: 44)

Sekulerisme dalam bidang keimanan (aqidah) artinya menolak agama, tidak beriman kepadanya dan mencampakkan hukum-hukumnya. Ini suatu bentuk kekafiran yang nyata. Satu contoh, al-Qur'an menegaskan dalam beberapa ayatnya bahwa nenek moyang seluruh manusia ini adalah Nabi Adam as. Kabar yang datang dari Allah ini wajib kita imani. Tetapi kaum sekuler berkata, "Tidak, kabar tersebut tidak mesti kita percaya. Tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengimani semua yang tertulis dalam al-Qur'an."

Contoh lain, Allah swt telah memilih Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) bagi semua orang-orang yang beriman. Apa saja yang diperintahkan oleh Nabi saw wajib dilaksanakan, apa saja yang beliau larang wajib ditinggalkan. Mentaati Nabi saw berarti mentaati Allah swt, sebagaimana firman-Nya, "Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemeli-hara mereka". (QS. An-Nisa' :80). Tetapi kaum sekuler yang diwakili oleh Ulil Abshar Abdalla berkata di harian Kompas, "Nabi Muhammad saw adalah pribadi yang mesti kita kritisi."

Sekulerisme dalam bidang akhlak artinya membebaskan tersebar luasnya pornografi (prilaku seksual yang menyimpang seperti homoseks, lesbian, kumpul kebo), meremehkan norma-norma agama dan nilai-nilai kesucian. Kaum sekuler menyenangi tersebarnya kemaksiatan dengan dalih kebebasan dan hak-hak individu. Mereka mengagumi para artis dan selebritis, sebaliknya antipati terhadap nilai-nilai kesucian. Tidak heran jika Ulil Abshar mengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab yang diserap oleh kaum muslimin non Arab.

Inilah yang diserukan oleh JIL. Mereka berkata dengan retorika yang memukau, "Kami yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama berada di ruang privat, dan urusan politik harus diselenggarakan melalui proses konsensus."

Kalimat-kalimat yang penuh retorika itu (dan ini cara mereka menghias kebatilan agar nampak indah) menjadi sirna dan buyar ketika dihadapkan pada pertanyaan Rabbul alamin, Penguasa jagad raya ini, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih balk dari-pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah: 50).

Bagi seorang mukmin hanya ada dua pilihan, hukum Allah swt atau hukum jahiliah. Tidak ada pilihan ketiga. Seorang mukmin tidak ragu-ragu bahwa hukum Allah swt-lah yang, (syari'at Islam) jauh lebih baik daripada hukum yang dibuat oleh manusia (meskipun melalui proses konsesus). Sebab, Allah aza wajalla Maha luas ilmu-Nya, Maha adil hukum-hukum-Nya, Maha bijaksana dalam aturan-aturan-Nya. Sehingga, hukum yang diturunkan oleh Allah pun juga sempurna, adil, bijaksana dan paling menjamin kemaslahatan manusia. Sebab, Dia-lah Yang menciptakan manusia, maka Dia pula yang paling tahu tentang apa yang baik dan yang buruk bagi manusia. Sedangkan akal manusia terbatas, sering bersifat aniaya (zhalim), cenderung memihak (tidak adil) dan ilmu manusia sangatlah minim dibandingkan ilmu Allah swt, bagaikan setetes air di lautan. Lalu bagaimana syari'at Allah yang sempurna itu hendak diganti dengan tatanan-tatanan yang dibuat oleh manusia? Alangkah bodohnya pemikiran seperti itu.

Renungkanlah firman Allah swt berikut: "Apakah Allah yang mendptakan itu tidak mengetahui ? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Mulk:14) "Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?"(QS. At-Tiin: 8) "Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. "(QS. Al-Baqarah: 216)

Tidak ada jalan lain yang lebih tepat untuk membendung dan menangkal kerancuan-kerancuan (syubhat-syubhat) yang disebarkan oleh JIL selain dengan kita kembali kepada aqidah yang bersih lagi jernih yang merupakan sumber kemuliaan dan kejayaan, kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah dan memahami isi kedua sumber tersebut sesuai dengan pemahaman para salafus shalih, para ulama terdahulu yang telah tertarbiyah langsung oleh Rasulullah Muhammad saw.

wallahu'alam bishawwab.


sumber: Majalah, Indonesi Islami, edisi II - Rabiul Awal 1427 H

03 July 2006

Melihat Aqidah 3

MAKNA PERSAKSIAN (SYAHADAT)
BAHWA MUHAMMAD ADALAH RASULULLAH



Maknanya adalah: Taat terhadap apa yang diperintahkannya dan membenarkan apa yang diberitakannya serta menjauhi apa yang dilarang dan diancamnya. Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syariatkan. Setiap muslim harus mewujudkan syahadat ini, sehingga dikatakan tidak sempurna syahadat seseorang terhadap kerasulannya manakala dia sekedar mengucapkannya dengan lisan, namun meninggalkan perintahnya dan melanggar larangannya serta taat kepada selainnya atau beribadah kepada Allah tidak berdasarkan ajarannya. Rasulullah bersabda:

Siapa yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah dan siapa yang durhaka kepadaku maka dia telah durhaka kepada Allah” (H.R. Bukhari)

Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak termasuk didalamnya maka dia tertolak” (Muttafaq alaih)

Termasuk wujud nyata dari syahadat ini adalah tidak adanya keyakinan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memiliki hak ketuhanan yang mengatur alam ini, atau tidak memiliki hak untuk disembah, akan tetapi dia hanyalah seorang hamba yang tidak disembah dan seorang Rasul yang tidak didustakan dan dirinya tidak memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri dan orang lain dalam mendatangkan manfaat dan mudharat kecuali apa yang Allah kehendaki. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّ
“Katakanlah (Hai Muhammad),“Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah “ (Q.S; Al A’raf : 188).


HAL-HAL YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN


  1. Mengadakan persekutuan (syirik) dalam beribadah kepada Allah ta’ala (Q.S; An Nisa: 116). Termasuk dalam hal ini, meminta pertolongan dan berdoa kepada orang mati serta bernadzar dan menyembelih qurban untuk mereka.

  2. Siapa yang menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara kepada Allah, memohon kepada mereka syafaat, serta sikap berserah diri kepada mereka, maka berdasarkan ijma’ dia telah kafir.

  3. Siapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau menyangsikan kekafiran mereka, bahkan membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir.

  4. Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang dari Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam lebih sempurna dan lebih baik. Meyakini ada suatu hukum atau undang-undang yang lebih baik dibandingkan syariat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, serta lebih mengutamakan hukum taghut (buatan manusia) dibandingkan ketetapan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.

  5. Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, meskipun dia mengamalkannya. (Q.S; Muhammad: 9).

  6. Siapa yang mengolok-olok sebagian dari Din yang dibawa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, misalnya; mengolok-olokan pahala atau balasan yang akan diterima maka dia telah kafir. (Q.S; At- Taubah:65-66)

  7. Melakukan sihir, diantaranya “As-sharf” (mengubah perasaan seorang laki-laki menjadi benci kepada istrinya) dan “Al Athaf” (Menjadikan seseorang senang terhadap apa yang sebelumnya dia benci) atas bantuan syaitan.Siapa yang melakukan kegiatan sihir atau ridha dengannya maka dia kafir. (Q.S; Al Baqarah: 102)

  8. Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang musyrik lebih dari pada pertolongan dan bantuan yang diberikan kepada kaum muslimin. (Q.S; Al Maidah: 5)

  9. Beranggapan bahwa manusia bisa leluasa keluar dari syariat Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. (Q.S; Ali Imran: 85)

  10. Berpaling dari Dinullah, baik karena dia tidak mau mempelajarinya atau karena tidak mau mengamalkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala. (Q.S; As-Sajadah: 22).
«sebelumnya

02 July 2006

Melihat Aqidah 2

Keutamaan Laa Ilaaha Illallah

Dalam kalimat (Laa Ilaaha Illallah) terhimpun banyak keutamaan, dan faedah yang bermacam-macam. Akan tetapi keutamaan tersebut tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya jika sekedar diucapkan saja. Dia baru memberikan manfaat bagi orang yang mengucapkannya dengan keimanan dan melakukan kandungan-kandungannya. Diantara keutamaan yang paling utama adalah bahwa orang yang mengucapkannya dengan ikhlas semata-mata karena mencari ridho-Nya maka Allah ta’ala haramkan baginya api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah : "Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi siapa yang mengatakan: Laa Ilaaha Illallah semata- mata karena mencari ridho-Nya” (Muttafaq Alaih)."

Dan banyak lagi hadits-hadits yang lain yang menyatakan bahwa Allah mengharamkan orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dari api neraka. Akan tetapi ada syarat yang dijelaskan oleh hadits- hadits tersebut.

Banyak orang yang mengucapkannya, namun disaat kematian dia dikhawatirkan terkena fitnah sehingga dia terhalang dari kalimat tersebut karena dosa-dosa yang selama ini selalu dilakukannya dan dianggapnya remeh. Banyak juga orang yang mengucapkannya dengan dasar ikut-ikutan atau rutinitas semata, sementara keimanan tidak meresap kedalam hatinya. Orang-orang yang disebutkan di atas yang sering mendapatkan fitnah saat kematiannya dan saat di kubur sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits “Saya mendengarkan manusia mengatakannya, maka saya mengatakannya” (H.R. Ahmad dan Abu Daud).

Dengan demikian maka tidak ada kontradiksi antara hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan ucapan Laa Ilaaha Illallah, karena jika seseorang mengucapkannya dengan ikhlas dan penuh keyakinan maka dia tidak mungkin berbuat dosa terus menerus, lantaran kesempurnaan keikhlasan dan keyakinan menuntutnya untuk menjadikan Allah sebagai sesuatu yang lebih dicintainya dari segala sesuatu, maka tidak ada lagi dalam hatinya keinginan terhadap apa yang diharamkan Allah ta’ala dan membenci apa yang Allah perintahkan. Hal seperti itu yang membuatnya diharamkan dari api neraka meskipun dia melakukan dosa sebelumnya, karena keimanan, taubat, keikhlasan, kecintaan dan keyakinannya membuat dosa yang ada padanya terhapus bagaikan malam yang menghapus siang.

Rukun Laa Ilaaha Illallah

Syahadat memiliki dua rukun :
  1. Peniadaan (Nafy) dalam kalimat: “Laa Ilaaha”.
  2. Penetapan (Itsbat) dalam kalimat: “Illallah”. Maka “Laa Ilaaha” berarti meniadakan segala tuhan selain Allah, dan “Illallah” berarti menetapkan bahwa sifat ketuhanan hanya milik Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Syarat-syarat Laa Ilaaha Illallah

Para ulama menyatakan bahwa ada tujuh syarat bagi kalimat Laa Ilaaha Illallah. Kalimat tersebut tidak sah selama ketujuh syarat tersebut tidak terhimpun dengan sempurna dalam diri seseorang, serta mengamalkan segala apa yang terdapat didalamnya serta tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengannya. Tujuan utama kalimat tauhid bukan sekedar menghitung lafaz-lafaz dan menghafalnya, sebab betapa banyak orang yang hafal kalimatnya akan tetapi ia bagaikan anak panah yang melesat (keluar dari Islam) sehingga anda lihat dia banyak melakukan perbuatan yang menyimpang.

Berikut ini syarat-syaratnya:
  1. Berilmu (العلم)
  2. Yang dimaksud adalah memiliki ilmu terhadap makna kalimat (Laa Ilaaha Illallah) baik dalam hal nafy maupun itsbat dan segala amal yang dituntut darinya. Jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah ta’ala adalah semata-mata yang disembah dan bahwa penyembahan kepada selain-Nya adalah bathil, kemudian dia mengamalkan sesuai dengan ilmunya tersebut.

    Lawan dari ilmu adalah bodoh, karena dia tidak mengetahui wajibnya mengesakan Allah dalam ibadah, bahkan dia meyakini bolehnya beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada-Nya, Allah ta’ala berfirman:

    فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
    “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah”(QS. Muhammad:19)

    مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
    “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengetahui(nya)” ( QS. Az Zukhruf :86)

    Maksudnya adalah orang-orang yang bersaksi dan hati mereka mengetahui apa yang diucapkan lisan mereka.

  3. Yakin (اليقين)
    Yaitu seseorang mengucapkan syahadat dengan penuh keyakinan sehingga hatinya tenang, tanpa ada sedikitpun pengaruh keraguan yang disebarkan oleh syetan-syetan jin dan manusia, bahkan dia mengucapkannya dengan penuh keyakinan atas kandungan yang ada didalamnya. Siapa yang mengucapkannya maka ia wajib meyakininya didalam hati dan mempercayai kebenaran apa yang diucapkannya, yaitu: adanya hak ketuhanan yang dimiliki Allah ta’ala dan tidak adanya sifat ketuhanan segala sesuatu selain-Nya. Juga berkeyakinan bahwa ibadah dan penghambaan tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Jika dia ragu terhadap syahadatnya atau tidak mengakui bathilnya sifat ketuhanan selain Allah ta’ala, misalnya dengan mengucapkan: “Saya meyakini akan ketuhanan Allah ta’ala akan tetapi saya ragu akan bathilnya ketuhanan selain-Nya”, maka syahadatnya batal dan tidak bermanfaat baginya. Allah ta’ala berfirman:

    إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
    "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.(49:15)

  4. Menerima (القبول)
    Maksudnya adalah menerima semua ajaran yang terdapat dalam kalimat tersebut dalam hati dan lisannya. Dia membenarkan dan beriman kepada semua berita dan apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada sedikitpun yang ditolaknya dan tidak berani memberikan penafsiran yang keliru atau perubahan atas nash-nash yang ada, Allah ta’ala melarang hal tersebut. sebagaimana Dia berfirman:

    قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا
    “Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”(2: 136)

    Lawan dari menerima adalah menolak. Ada sebagian orang yang mengetahui makna syahadatain dan yakin akan kandungan yang ada didalamnya akan tetapi dia menolaknya karena kesombongannya dan kedengkiannya. Allah ta’ala berfirman:

    فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُون
    “Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah” (6: 33)

    Termasuk dikatakan menolak, jika seseorang menentang atau membenci sebagian hukum-hukum Syari’at atau hudud (hukum pidana Islam). Allah ta’ala berfirman:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
    “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”(2: 208).

  5. Tunduk (الانقياد)
    Yang dimaksud adalah tunduk atas apa yang diajarkan dalam kalimat Tauhid, yaitu dengan menyerahkan dan merendahkan diri serta tidak membantah hukum-hukum Allah. Allah ta’ala berfirman:

    ُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لا تُنْصَرُون
    Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).(39:54)

    Termasuk juga tunduk terhadap apa yang dibawa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dengan diiringi sikap ridha dan mengamalkannya tanpa bantahan serta tidak menambah atau mengurangi. Jika seseorang telah mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dan yakin serta menerimanya, akan tetapi dia tidak tunduk dan menyerahkan diri dalam melaksanakan kandungannya maka semua itu tidak berguna. Termasuk dikatakan tidak tunduk juga adalah tidak menjadikan syariat Allah sebagai sumber hukum dan menggantinya dengan undang-undang buatan manusia.

  • Jujur (الصدق)
    Maksudnya jujur dengan keimanannya dan aqidahnya, selama itu terwujud maka dia dikatakan orang yang membenarkan terhadap kitab Allah ta’ala dan sunnah Nabi-Nya. Lawan dari jujur adalah dusta, jika seorang hamba berdusta dalam keimanannya, maka dia tidak dianggap beriman bahkan dia dikatakan munafik walaupun dia mengucapkan syahadat dengan lisannya, maka syahadat tersebut tidak dapat menyelamatkannya. Termasuk yang menggugurkan sahnya syahadat adalah mendustakan apa yang dibawa Rasulullah atau mendustakan sebagian yang dibawa oleh beliau, karena Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk ta’at kepada beliau dan membenarkannya, dan mengaitkan ketaatan kepada beliau dengan ketaatan kepada-Nya.

  • Ikhlas (الاخلا ص)
    Maksudnya adalah mensucikan setiap amal perbuatan dengan niat yang murni dari kotoran-kotoran syirik, yang demikian itu terwujud dan tampak dalam perkataan dan perbuatan yang semata-mata karena Allah ta’ala dan karena mencari ridha-Nya. Tidak ada didalamnya kotoran riya’ dan sum`ah (ingin dikenal), atau tujuan duniawi dan pribadi, atau juga melakukan sesuatu karena kecintaannya terhadap seseorang atau golongannya atau partainya dimana dia menyerahkan diri kepadanya tanpa petunjuk Allah ta’ala. Allah berfirman:

    أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِص
    Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)(39: 3)

    وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
    Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus(98: 5)

    Lawan dari ikhlas adalah Syirik dan riya’, yaitu mencari keridhaan selain kepada Allah ta’ala. Jika seseorang telah kehilangan dasar keikhlasannya, maka syahadatnya tidak berguna. Allah ta’ala berfirman:

    يَوْمَ يَرَوْنَ الْمَلائِكَةَ لا بُشْرَى يَوْمَئِذٍ لِلْمُجْرِمِينَ وَيَقُولُونَ حِجْرًا مَحْجُور
    Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan(25: 23)

    Maka dengan demikian, semua amalnya tidak ada manfaat baginya, karena dia telah kehilangan landasannya. Allah ta’ala berfirman:

    إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمً
    “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (4:48)

  • Cinta (ألمحبة)
    Yaitu mencintai kalimat yang agung ini serta semua ajaran dan konsekwensi yang terkandung didalamnya, maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mendahulukan kecintaan kepada keduanya atas semua kecintaan kepada yang lain, serta melakukan semua syarat-syarat dan konsekwensinya. Cinta terhadap Allah adalah rasa cinta yang diiringi dengan rasa pengangungan dan rasa takut serta pengharapan.

    Termasuk cinta kepada Allah adalah mendahulukan apa yang Allah cintai atas apa yang dicintai oleh hawa nafsu dan segala tuntutannya, termasuk juga konsekwensi mencintai kalimat tauhid adalah membenci apa yang Allah benci, maka dirinya membenci orang-orang kafir serta memusuhi mereka. Dia juga membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.

    Termasuk tanda cinta adalah tunduk terhadap syariat Allah dan mengikuti ajaran nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam setiap urusan. Allah ta’ala berfirman:

    قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
    “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (3: 31)

    Lawan dari cinta adalah benci. Yaitu membenci kalimat ini dan semua ajaran yang terkandung didalamnya atau mencinta sesuatu yang disembah selain Allah bersama kecintaannya terhadap Allah. Allah ta’ala berfirman:

    ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
    “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala)amalan mereka” (47: 9)

    Termasuk yang menghilangkan cinta dengan kalimat tauhid adalah: membenci Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan mencintai musuh-musuh Allah serta membenci wali-wali Allah dari golongan orang beriman.




  • Melihat Aqidah

    TAUHID DAN MAKNA SYAHADATAIN


    Tauhid adalah mengesakan Allah semata dalam beribadah dan tidak menyekutukan-Nya. Dan hal ini merupakan ajaran semua Rasul alaihimusshalatuwassalam. Bahkan tauhid merupakan pokok yang dibangun diatasnya semua ajaran, maka jika pokok ini tidak ada, amal perbuatan menjadi tidak bermanfaat dan gugur, karena tidak sah sebuah ibadah tanpa tauhid.

    Macam-macam Tauhid

    Tauhid terbagi tiga bagian: Tauhid Rububiyah, Tauhid Asma’ wa Sifat dan Tauhid Uluhiyah.

    1. Tauhid Rububiyah:
    Yaitu menyatakan bahwa tidak ada Tuhan Penguasa seluruh alam kecuali Allah yang menciptakan dan memberi mereka rizki. Tauhid ini juga telah diikrarkan oleh orang-orang musyrik pada masa dahulu. Mereka menyatakan bahwa Allah semata yang Maha Pencipta, Penguasa, Pengatur, Yang Menghidupkan,Yang Mematikan, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah ta’ala berfirman:

    وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

    Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (29:61)

    Akan tetapi pernyataan dan persaksian mereka tidak membuat mereka masuk Islam dan tidak membebaskan mereka dari api neraka serta tidak melindungi harta dan darah mereka dari misi jihad islam, karena mereka tidak mewujudkan tauhid Rububiyah, bahkan sebaliknya mereka berbuat syirik kepada Allah dalam beribadah kepada-Nya dengan memalingkan ibadah mereka kepada selain Allah.

    2. Tauhid Asma’ wa Sifat.
    Yaitu beriman bahwa Allah ta’ala memiliki zat yang tidak serupa dengan berbagai zat yang ada, serta memiliki sifat yang tidak serupa dengan berbagai sifat yang ada. Dan bahwa nama-nama-Nya menyatakan dengan jelas akan sifat-Nya yang sempurna secara mutlak sebagaimana firman Allah ta’ala:

    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ...

    "...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat." (42:11)

    Begitu juga halnya (beriman kepada Asma’ dan Sifat Allah) berarti menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam Kitab-Nya, atau apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dengan penetapan yang layak sesuai kebesaran-Nya tanpa ada penyerupaan dengan sesuatupun, tidak juga memisalkannya dan meniadakannya, tidak merubahnya, tidak menafsirkannya dengan penafsiran yang lain dan tidak menanyakan bagaimana hal-Nya. Kita tidak boleh berusaha baik dengan hati kita, perkiraan kita, lisan kita untuk bertanya-tanya tentang bagaimana sifat-sifat-Nya dan juga tidak boleh menyamakan-Nya dengan sifat- sifat makhluk .

    3. Tauhid Uluhiyah.
    Tauhid Uluhiyah adalah tauhid ibadah, yaitu mengesakan Allah dalam seluruh amalan ibadah yang Allah perintahkan, seperti: berdoa, khouf (takut), raja’ (harap), tawakkal, raghbah (berkeinginan), rahbah (takut), Khusyu’, Khasyah (takut disertai pengagungan), taubat, minta pertolongan, menyembelih, nazar dan ibadah yang lainnya yang diperintahkan-Nya. Dalilnya firman Allah ta’ala:

    وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

    Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (72:18)

    Manusia tidak boleh memalingkan sedikitpun ibadahnya kepada selain Allah ta’ala, tidak kepada malaikat, kepada para Nabi dan tidak juga kepada para wali yang shaleh dan tidak kepada siapapun makhluk yang ada. Karena ibadah tidak sah kecuali dilakukan dengan ikhlas untuk Allah, maka siapa yang memalingkannya kepada selain Allah dia telah berbuat syirik yang besar dan semua amalnya gugur.

    Kesimpulannya adalah seseorang harus berlepas diri dari penghambaan (ibadah) kepada selain Allah, menghadapkan hati sepenuhnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Tidak cukup dalam tauhid sekedar pengakuan dan ucapan syahadat saja jika tidak menghindar dari ajaran orang-orang musyrik serta apa yang mereka lakukan seperti berdoa kepada selain Allah misalnya kepada orang yang telah mati dan semacamnya, atau minta syafaat kepada mereka (orang-orang mati) agar Allah menghilangkan kesusahannya dan menyingkirkannya, dan meminta pertolongan kepada mereka atau yang lainnya yang merupakan perbuatan syirik.

    Wujud nyata Tauhid adalah memahaminya dan berusaha untuk mengetahui hakikatnya serta melaksanakan kewajibannya, baik dari sisi ilmu maupun amalan, hakikatnya adalah mengarahkan ruhani dan hati kepada Allah baik dalam hal mencintai, takut (khauf), taubat, tawakkal, berdoa, ikhlas, mengagungkan-Nya, membesarkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Kesimpulannya tidak ada dalam hati seorang hamba sesuatupun selain Allah, dan tidak ada keinginan terhadap apa yang Allah tidak inginkan dari perbuatan-perbuatan syirik, bid’ah, maksiat yang besar maupun kecil, dan tidak ada kebencian terhadap apa yang Allah perintahkan. Itulah hakikat tauhid dan hakikat Laa Ilaaha Illallah.

    Makna Laa Ilaaha Illallah.

    Maknanya adalah, tidak ada yang disembah di langit dan di bumi dengan haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sesuatu yang disembah dengan bathil banyak jumlahnya, tapi yang disembah dengan haq hanya Allah saja. Allah ta’ala berfirman:

    ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

    (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (22:62)

    Kalimat Laa Ilaaha Illallah bukan berarti : “Tidak ada pencipta selain Allah” sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang, karena sesungguhnya orang-orang kafir Quraisy yang diutus kepada mereka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengakui bahwa Sang Pencipta dan Pengatur alam ini adalah Allah ta’ala, akan tetapi mereka mengingkari penghambaan (ibadah) seluruhnya milik Allah semata, tanpa menyekutukan- Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:


    وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الأرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ

    Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.(38:5)

    Dipahami dari ayat ini bahwa semua ibadah yang ditujukan kepada selain Allah adalah batal. Artinya bahwa ibadah semata-mata untuk Allah. Akan tetapi mereka (kafir Quraisy) tidak menghendaki demikian, oleh karenanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerangi mereka hingga bersaksi bahwa tidak ada ilah yang disembah selain Allah serta menunaikan hak- hak-Nya yaitu mengesa-kannya dalam beribadah kepada-Nya semata.

    Dengan pemahaman ini maka keliru apa yang diyakini oleh para penyembah kuburan pada masa ini dan orang-orang semacam mereka yang menyatakan bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah persaksian bahwa Allah ada atau bahwa Dia adalah Khaliq sang Pencipta yang mampu untuk menciptakan dan yang semacamnya dan bahwa yang berkeyakinan seperti itu berarti dia telah mewujudkan Tauhid yang sempurna meskipun dia melakukan berbagai hal seperti beribadah kepada selain Allah, berdoa kepada orang mati atau beribadah kepada orang mati dengan melakukan nazar atau thawaf dikuburannya dan mengambil berkah dengan tanah kuburannya.

    Orang-orang kafir Quraisy telah mengetahui sebelumnya bahwa Laa ilaaha Illallah mengandung konsekwensi yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dan hanya mengesakan Allah dalam ibadah. Seandainya mereka mengucapkan kalimat tersebut dan tetap menyembah berhala, maka sesungguhnya hal itu merupakan perbuatan yang bertolak belakang dan mereka memang telah memulainya dari sesuatu yang bertentangan. Sedangkan para penyembah kuburan zaman sekarang tidak memulainya dari sesuatu yang bertentangan, mereka mengatakan Laa ilaaha Illallah, kemudian mereka membatalkannya dengan doa terhadap orang mati yang terdiri dari para wali, orang- orang sholeh serta beribadah di kuburan mereka dengan berbagai macam ibadah. Celakalah mereka sebagaimana celakanya Abu Lahab dan Abu Jahal walaupun keduanya mengetahui Laa Ilaaha Illallah.

    Banyak sekali hadits yang menerangkan bahwa makna Laa Ilaaha Illallah adalah berlepas diri dari semua ibadah terhadap selain Allah baik dengan meminta syafaat ataupun pertolongan, serta mengesakan Allah dalam beribadah, itulah petunjuk dan agama yang haq yang karenanya Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab- Nya. Adapun orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah tanpa memahami maknanya dan mengamalkan kandungannya, atau pengakuan seseorang bahwa dia termasuk orang bertauhid sedangkan dia tidak mengetahui tauhid itu sendiri bahkan justu beribadah dengan ikhlas kepada selain Allah dalam bentuk doa, takut , menyembelih, nazar, minta pertolongan, tawakkal serta yang lainnya dari berbagai bentuk ibadah maka semua itu adalah hal yang bertentangan dengan tauhid bahkan selama seseorang melakukan yang seperti itu dia berada dalam keadaan musyrik !!

    Ibnu Rajab berkata: "Sesungguhnya hati yang memahami Laa Ilaaha Illallah dan membenarkannya serta ikhlas akan tertanam kuat sikap penghambaan kepada Allah semata dengan penuh penghormatan, rasa takut, cinta, pengharapan, pengagungan dan tawakkal yang semua itu memenuhi ruang hatinya dan disingkirkannya penghambaan terhadap selain-Nya dari para makhluk." Jika semua itu terwujud maka tidak akan ada lagi rasa cinta, keinginan dan permintaan selain apa yang dikehendaki Allah serta apa yang dicintai-Nya dan dituntut-Nya. Demikian juga akan tersingkir dari hati semua keinginan nafsu syahwat dan bisikan-bisikan syaitan, maka siapa yang mencintai sesuatu atau menta’atinya atau mencintai dan membenci karenanya maka dia itu adalah tuhannya, dan siapa yang mencintai dan membenci semata-mata karena Allah, ta’at dan memusuhi karena Allah, maka Allah adalah tuhannya yang hakiki. Siapa yang mencintai karena hawa nafsunya dan membenci juga karenanya, atau ta’at dan memusuhi karena hawa nafsunya, maka hawa nafsu baginya adalah tuhannya, sebagaimana firman Allah ta’ala:

    أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا

    Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?(25:43)