28 March 2006

Fi Zilal Al Quran


Oleh : Ustadz Nabiel Fuad Almusawa



Usahamulia.net. “Dan barangsiapa berpaling dari adz-Dzikr-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yg sempit dan Kami akan menghimpunnya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha, 20:124)

Sikap Rasulullah SAW dan Para Sahabatnya Terhadap Al-Quran

Di dalam kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an Ustadz Dr. Manna Khalil al-Qaththan menggambarkan sikap Nabi Muhammad SAW dan kecintaan beliau kepada Al-Qur’an sebagai berikut: Adalah Rasulullah SAW itu sangat mencintai wahyu, beliau senantiasa menunggu-nunggu datangnya ayat-ayat Allah SWT dg penuh kerinduan. Sehingga jika turun suatu ayat, maka tidak terasa bibirnya yang mulia itu segera bergerak-gerak menirukan ucapan Jibril as sebelum wahyu itu selesai dibacakan. Sehingga Allah SWT menurunkan ayat yang menjamin Nabi SAW akan hafal seluruh al-Qur’an dan memerintahkan beliau SAW agar sabar mendengarkan dulu sampai ayat tersebut selesai dibacakan baru kemudian mengikutinya (QS al-Qiyamah, 17-18).

Hal ini begitu membekas dan mempengaruhi para sahabat ra dan para salafus shalih, sehingga mereka mencurahkan perhatian yang sangat besar terhadap ayat-ayat al-Qur’an, dan menjadikannya perintah harian dari Rabb-nya, sebagaimana perkataan salah seorang sahabat mulia Ibnu Mas’ud ra :

“Demi DZAT yang tidak ada Ilah kecuali Dia, tidak ada satupun surah al-Qur’an yang turun kecuali aku mengetahui dimana surah itu turun, di musim panas atau di musim dingin, dan tidaklah satu ayatpun dari Kitabullah yang diturunkan kecuali aku mengetahui tentang apa ayat itu turun dan kapan ayat itu turun.”

Perhatian para sahabat dan salafus shalih yang luarbiasa besar ini kepada al-Qur’an bukanlah disebabkan karena pada waktu itu tidak ada peradaban lain yang maju dan modern (karena pada waktu itu dunia telah dikuasai oleh dua super power dengan segala khazanah peradabannya, yaitu Byzantium di Barat dan Kisra di Timur), tetapi focusing tersebut sengaja dilakukan oleh Rasulullah SAW agar membersihkan jiwa, pola pikir dan kehidupan para sahabat ra, karena proses kebangkitan sebuah generasi akan sangat tergantung pada apa yang menjadi dasar kebangkitan tersebut. Demikian pentingnya pembersihan mindframe ini sehingga beliau menegur Umar ra, ketika ia membaca al-Qur’an dan Taurat secara berganti-ganti untuk memperbandingkan, kata beliau SAW pada sahabatnya itu :

“Buanglah itu! Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya, seandainya Musa as masih hidup sekarang, maka tidak halal baginya kecuali harus mengikutiku, akulah penghulu para nabi dan akulah penutup para nabi.”

Sehingga sikap generasi sahabat Rasulullah SAW terhadap al-Qur’an adalah :

1. Membaca dg benar, mengimani ayat2nya dan mentadabburkannya. Firman Allah SWT : "Apakah mereka tidak mentadabburkan al-Qur’an? Ataukah dalam hati mereka ada kunci?" (QS Muhammad : 24).

2. Mencurahkan perhatian yg besar untuk membaca dan mempelajari kandungan al-Qur’an, yang sangat jauh berbeda dengan generasi kaum muslimin saat ini yang demikian jauh dari petunjuk Pemilik dan Penciptanya, yang jangankan memahaminya, membacanyapun seolah tak ada waktu. Maha Benar Allah dengan firman-Nya : “Pada hari dimana berkatalah Rasul : Wahai Rabb-ku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini sebagai sesuatu yang ditinggalkan. Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi, musuh-musuh dari orang-orang yang berdosa, dan cukuplah Rabb-mu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS al-Furqan : 30-31).

Berkata al-hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya : Yang dimaksud meninggalkan al-Qur’an dalam ayat ini yaitu mencakup : Mengutamakan hal-hal lain daripada al-Qur’an, tidak beriman pada ayat-ayatnya, tidak mentadabburkannya, tidak memahami apa yang ia baca, tidak mengamalkan ayat-ayat yang dibaca, disibukkan oleh syair-syair, pendapat-pendapat dan lagu-lagu. (Tafsir Ibnu Katsir, juz III hal 317)

3. Menjadikan al-Qur’an sebagai standar kehidupan dan sumber pengambilan hukum dalam tiap aspek kehidupan mereka. Dalam salah satu hadits disebutkan:

Dari Harts al-A’war ia berkata : Aku lewat di mesjid dan melihat orang-orang sedang asyik bercerita-cerita, maka aku kabarkan pada Ali ra : Wahai Amirul Mu’minin, tidakkah anda mengetahui orang-orang sedang asyik bercerita? Maka beliau menjawab : Apakah mereka melakukannya? Maka jawabku : Benar! Maka kata beliau : Adapun aku pernah dinasihati oleh kekasihku SAW : Sesungguhnya kelak akan datang bencana. Maka kataku : Bagaimana jalan keluarnya wahai Rasul Allah? Maka jawab beliau SAW : Kitabullah! Karena di dalamnya terdapat kabar tentang ummat-ummat sebelum kalian, dan berita-berita tentang apa yang akan terjadi setelah kalian, dan hukum-hukum bagi apa yang terjadi di masa kalian, ia adalah jalan yang lurus dan tidak ada kebengkokan, tidaklah para penguasa yang meninggalkannya akan dihinakan Allah, dan tidaklah orang yang mencari petunjuk selainnya akan disesatkan Allah, dia adalah tali Allah yang sangat kokoh, cahaya-Nya yang terang benderang, peringatan-Nya yang paling bijaksana, jalan-Nya yang paling lurus. Dengannya tidak akan pernah puas hati orang yang merenungkannya, dan tidak akan bosan lidah yang membacanya, dan tidak akan lelah orang yang membahasnya. Tidak akan kenyang ulama mempelajarinya, tak akan puas muttaqin menikmatinya. Ia tak akan bisa dipatahkan oleh banyaknya penentangnya, tak akan putus keajaibannya, tak akan henti-henit jin yang mendengarkannya berkata : Sungguh kami telah mendengar al-Qur’an yang menakjubkan... Barangsiapa yang mempelajari ilmunya akan terdahulu, barangsiapa yang berbicara dengannya akan benar, barangsiapa berhukum dengannya akan adil, barangsiapa yang beramal dengan membacanya akan dicukupkan pahalanya, dan barangsiapa yang berdakwah kejalannya akan diberi hidayah ke jalan yang lurus. Amalkan ini wahai A’war.. (HR ad-Darami dan teks ini darinya, juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia berkata hadits gharib)

Keadaan Ummat Terdahulu (Orang-orang Kafir) terhadap Kitab-kitab Mereka

Marilah kita bercermin pada profil ummat-ummat terdahulu terhadap kitab-kitab mereka dan marilah kita bandingkan dengan keadaan kita masing-masing, agar kita tidak tersesat sebagaimana mereka dahulu telah tersesat dari jalan Allah SWT. Adapun keadaan mereka ada seperti berikut:

1. Ummi (bodoh tidak dapat membaca dan memahaminya)

“Dan diantara mereka ada orang-orang yang ummi, tidak mengetahui isi Taurat, kecuali cerita-cerita dari orang-orang lain saja dan mereka hanya menduga-duga saja.” (QS. al-Baqarah : 78)

2. Beriman secara parsial

“Apakah kalian beriman pada sebagian Taurat dan ingkar kepada sebagian yang lain.” (QS al-Baqarah : 85)

3. Berusaha untuk berpaling dari al-Qur’an kepada selainnya

“Dan sesungguhnya mereka hampir-hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat selain al-Qur’an secara bohong terhadap Kami, dan kalau sudah demikian tentulah mereka mengambilmu sebagai sahabat setia ...” (QS al-Isra : 73)

4. Sengaja menghindar dari pengaruh al-Qur’an

“Dan orang-orang kafir berkata : Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkannya.” (QS Fushshilat : 26)

5. Cinta dunia dan takut mati

“Sekali-kali janganlah begitu! Sebenarnya kalian (hai manusia) mencintai kehidupan dunia dan lari dari akhirat.” (QS al-Qiyamah : 20-21)

Referensi:Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, Syaikh Manna' Khalil al-Qaththan

sumber:usahamulia.net

27 March 2006

Ikhtilat

Ikhtilat



Bolehkah kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita bila tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah?

Bercampur baurnya antara pria dan wanita terbagi menjadi tiga:

Pertama, bercampur baurnya antara wanita dan pria yang merupakan muhrimnya, ini tidak diragukan lagi akan kebolehannya.

Kedua, bercampur baurnya kaum wanita dengan pria asing untuk tujuan yang merusak, maka tidak diragukan lagi akan pengharamannya.

Ketiga, bercampur baurnya antara wanita dan pria asing di lembaga-lembaga pendidikan, perkantoran, rumah sakit, acara-acara pesta dan yang semisal yang sering diduga tidak akan mengakibatkan terjadinya perbuatan zina antara satu dengan yang lainnya. Dan untuk menjelaskan hal ini, maka kami akan menjawabnya secara umum dan secara terperinci.

Adapun secara umum, bahwa Allah Ta'ala telah menciptakan kecenderungan dan dorongan kepada wanita dalam diri laki-laki, dan wanitapun diberikan kecenderungan kepada laki-laki dengan kelemahan dan kelembutan yang dimilikinya, maka bila percampurbauran terjadi akan lahirlah pengaruh-pengaruh yang dapat memunculkan akibat-akibat yang buruk karena hawa nafsu selalu mendorong untuk berbuat kejahatan, nafsu sering kali menjadi buta dan tuli sedang setan selalu menyuruh untuk berbuat keji dan mungkar.

Adapun secara terperinci, maka syari'at ini dibangun diatas tujuan dan sarananya. Dan sarana yang dapat menyampaikan pada tujuan memiliki hukum yang sama dengan tujuan. Maka wanita adalah pusat pemenuhan keinginan pria, dan syariat telah menutup pintu-pintu yang dapat mengakibatkan keterkaitan antara individu kedua jenis tersebut, dan hal ini menjadi jelas dengan dalil-dalil yang akan kami sebutkan berikut ini dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Adapun dalil dari Al-Qur'an yaitu:

pertama, Allah berfirman, yang artinya :

"Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal dirumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata, 'marilah kesini.' Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang dzalim tiada akan beruntung." (QS Yusuf : 23).

Ayat ini menunjukkan bahwa ketika terjadi ikhtilat antara istri penguasa mesir dengan Yusuf as. Nampaklah apa yang selama ini dia sembunyikan dan ia pun meminta yusuf untuk menyetujuinya, namun Allahpun merahmatinya dan menjaganya dari hal itu, sebagaimana dalam firman Allah, yang artinya :

"maka Tuhannya memperkenankan do'a Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS Yusuf :34).

Demikianlah yang terjadi bila kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita, maka setiap jenis akan memilih dari jenis lain yang ia inginkan, dengan menyerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan keinginannya.

Kedua, Allah telah memerintahkan kaum pria untuk menundukkan pandangan demikian pula kaum wanita. Allah berfirman, yang artinya:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yng beriman, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan, dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An Nur 30-31).

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman baik pria maupun wanita untuk menundukkan pandangan mereka. Dan perintah menunjukkan kewajiban, kemudian Allah menjelaskan bahwa hal ini lebih menyucikan dan membersihkan hati. Telah diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Ali ra. bahwasanya Nabi saw., berkata kepadanya:

"Wahai Ali ! janganlah engkau mengikuti satu pandangan dengan pandangan lain karena engkau hanyalah memiliki yang pertama dan tidak untuk yang selanjutnya."

Al-Hakim mengatakan, "(Hadits ini) shahih berdasarkan syarat Muslim namun (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya". Dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish, dan terdapat beberapa hadits yang semakna.

Dan tidaklah Allah memerintahkan untuk menundukkan pandangan kecuali karena memandang yang haram dilihat. Abu Hurairah ra, meriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwa beliau berkata :

"Zina kedua mata adalah memandang, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah bicara, zina tangan adalah memegang, dan zina kaki adalah melangkah."(Muttafaq 'alaih dengan lafadz Muslim).

Digolongkan zina karena tidak lain karena ia menikmati memandang kecantikan wanita yang akan menyebabkan masuknya ke dalam hati orang yang memandangnya, sehingga ia tergantung dengannya lalu berusaha berbuat kekejian dengannya. Dan jika syariat melarang memandang dikarenakan dapat menyebabkan fitnah dan sebab tersebut ada pada ikhtilat, maka tentu saja ikhtilat pun terlarang karena ia adalah sarana terjadinya hal-hal yang tidak terpuji berupa memandang dan berusaha melakukan yang lebih dari itu.

Ketiga, dalil-dalil terdahulu yang menunjukkan bahwa wanita adalah aurat dan ia wajib menutupi seluruh badannya karena menyingkapnya akan mengundang pandangan untuk melihatnya yang akan menyebabkan ketergantungan hati padanya lalu pengerahan usaha untuk mendapatkannya. Demikian pula dengan ikhtilat.

Keempat, Allah berfirman, yang artinya :

"Dia mengetahui mata yang berkhianat dan apa yang tersembunyi dalam dada." (QS Ghafir : 19).

Ibnu Abbas dan ulama lainnya menafsirkan ayat ini, (bahwa yang dimaksud) adalah seorang pria yang masuk ke rumah orang lain, sementara di antara mereka ada seorang wanita cantik lewat di hadapannya. Maka jika mereka lalai ia pun akan memperhatikan wanita tersebut, maka jika mereka mengetahuinya maka ia pun akan menundukkan pandangannya -demikian seterusnya- hingga terbetik dalam hatinya seandainya ia bisa melihat kemaluannya dan dapat berzina dengannya.

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta'ala menggambarkan bahwa mata yang selalu mencuri pandang dan melihat hal-hal yang diharamkan baginya sebagai pengkhianat. Lalu bagaimana pula dengan ikhtilat.

Kelima dan Keenam, bahwasanya Allah memerintahkan mereka untuk diam di rumah. Allah berfirman, yang artinya :

"Dan tinggalah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah mereka berhias (dengan cara) berhias seperti golongan jahiliyyah pertama." (QS AL-Ahzab : 23).

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah memerintahkan istri-istri Nabi saw yang suci, telah disucikan dan thayyibat untuk tetap tinggal di rumah. Dan perintah ini juga mencakup wanita selain mereka dari kalangan wanita kaum muslimin-berdasarkan kaidah ushul yang menyatakan bahwa suatu perintah itu ditujukan kepada seluruh (bersifat umum) kecuali bila terdapat dalil yang mengkhususkannya - dan tidak ada satupun dalil yang mengkhususkan (ayat diatas) ; maka mereka (para wanita) diperintahkan untuk tetap di rumah kecuali secara darurat harus keluar.

Lalu bagaimana mungkin ikhtilat dibolehkan setelah melihat penjelasan diatas, ditambah lagi dijaman ini semakin sering terjadi kejahatan terhadapa wanita, mereka juga telah menghilangkan "jilbab" rasa malu mereka, bertabarruj dan memperlihatkan aurat mereka dihadapan pria asing ditambah lagi semakin berkurangnya kepedulian dari orang-orang yang bertanggung jawab terhadap mereka, baik suami mereka atau yang lainnya.

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah menyebutkan:

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh muslim, At-Tirmidzi dan selainnya dengan sanad mereka dari Abu Hurairah ra. Rosulullah saw bersabda, yang artinya :

"Sebaik-baik shaf kaum pria adalah shaf yang pertama dan yang paing buruk adalah yang paling akhir, dan sebaik-baik shaf kaum wanita adalah yang paling akhir, sedang yang paling buruk adalah shaf yang pertama."

Hadist ini menunjukkan bahwasanya Rosulullah saw mensyari'atkan kepada kaum wanita bila mereka mendatangi masjid, maka hendaknya mereka terpisah dari jama'ah laki-laki, lalu beliau menggambarkan bahwa shaf pertama mereka dengan sifat keburukan dan shaf terakhir mereka dengan sifat kebaikan.

Hal ini tidak lain karena jauhnya wanita-wanita di shaf terakhir dri kaum pria yang menghalangi mereka bercampur. Dan beliau mencela shaf pertama kaum wanita karena hal yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Beliau juga mensifati akhir shaf kaum pria dengan keburukan jika terdapat kaum wanita yang juga mengerjakan sholat bersama mereka, dikarenakan mereka tidak sholat di depan, tidak lagi dekat dengan imam dan justru lebih dekat kepada kaum wanita yang dapat mengganggu konsentrasinya dan bisa jadi merusak ibadah serta mengganggu niat dan kekhusyu'annya, maka apabila syariat menduga terjadinya hal tersebut dalam ibadah di mana tidak terjadi ikhtilat tentu lebih memungkinkan sehingga pelarangan ikhtilat lebih utama.

Kedua, Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Zainab istri Abdullah bin Mas'ud ra, bahwasanya Rosulullah saw bersabda, yang artinya :

"bila salah seorang dari kalian mendatangi masjid maka janganlah ia memakai wangi-wangian."

Dan Abu Daud meriwayatkan dalam Sunannya Imam Ahmad dan Syafi'i meriwayatkan dalam musnad mereka dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rosulullah saw, bersabda, yang artinya :

"Janganlah kalian melarang hamba-hamba (wanita) Allah dari mesjid-mesjid Allah , namun hendaknya mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian."

Ibnu Daqiq Al-Ied berkata, "Hadits ini menunjukkan pengharaman memakai wangi-wangian bagi wanita yang ingin pergi ke mesjid, karena dapat menggerakkan syahwat kaum pria, dan bisa jadi menggerakkan syahwat kaum wanita juga. "Ia berkata, "Dan dapat dikiaskan dengan hal-hal yang semakin, seperti pakaian yang bagus, perhiasan yang nampak gemerlapnya, dan penampilan yang mewah."

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, "Demikian pula ikhtilat dengan kaum pria."

Ketiga, diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid dari Rosulullah saw. Bahwa beliau bersabda, yang artinya :

"Tidaklah aku meninggalkan fitnah setelahku yang lebih berbahaya bagi kaum pria melebihi kaum wanita."

Hadits ini menggambarkan wanita sebagai fitnah; lalu bagaimana mungkin sumber fitnah tersebut dikumpulkan dengan yang dapat fitnah itu ? ini jelas tidak boleh.

Keempat, dari Abu Sa'id Al-Khudri ra, dari Rosulullah saw bahwa beliau bersabda, yang artinya

"Sesungguhnya dunia adalah sesuatu yang manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan kalian beramal, berhati-hatilah terhadap dunia, berhati-hatilah dengan wanita karena sesungguhnya awal mula fitnah Bani Israil adalah pada wanita" diriwayatkan muslim.

Hadist ini menunjukkan bahwa Rosulullah saw memerintahkan untuk berhati-hati terhadap wanita; yang menunjukkan bahwa hal ini adalah sesuatu yang wajib. Lalu bagaimana kewajiban ini dapat dilakukan bila terjadi ikhtilat? Jelas ini tidak boleh.

Kelima dan keenam, diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam A-Mu'jam Al-Kabir , dari Ma'qil bin Yasar ra. bahwasanya Rosulullah saw bersabda, yang artinya :

"Sungguh bila kepala salah seorang ditusuk dengan besi yang panas itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya."

Al-Haitami berkata dalam Majma' Az-Zawaid, "Perawinya adalah perawi kitab Ash- Shahih." Al-Mundziri berkata dalam Ath-Tanhib wa Ath-Tharkib, perawinya siqah (dapat dipercaya).

Ath-Thabrani juga meriwayatkan dari Haris Abu Umamah ra. dari Rosulullah saw, beliau bersabda: "Sungguh jika seorang pria disentuh oleh seekor babi yang berlumur tanah dan lumpur itu lebih baik baginya dari pada bila pundaknya disentuh oleh pundak wanita yang tidak halal baginya."

Hadist-hadist ini menunjukkan bahwa Nabi saw melarang seorang pria menyentuh seorang wanita baik dengan penghalang atau tidak Bila ia bukan muhrim baginya karena akan mengakibatkan pengaruh yang buruk. Demikian pula ikhtilat, ia dilarang karena itu.

Maka barangsiapa memperhatikan apa yang dikandung dalil-dalil tersebut, jelaslah baginya bahwa pernyataan yang menyatakan bahwa ikhtilat tidak akan menyebabkan terjadinya fitnah tidak lain hanyalah pandangan yang keliru. Bahkan sebenarnya ia dapat menyebarkan fitnah oleh karena itu syari'at melarangnya untuk mencegah terjadinya kerusakan.

Dan tentu saja tidak termasuk dalam larangan tersebut hal-hal yang bersifat daruratan dibutuhkan serta terjadi pada tempat-tempat ibadah seperti di Masjidil Haram dan Masjidil Nabawi.

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kaum muslimin yang belum sadar serta menambah petunjuk kepada yang telah mendapatkan petunjuk.

Wallahua'lam bishawab. Semoga ada ibrah yang bisa kita ambil manfaatnya shingga kita semakin taqarrub pada Dzat Yang Maha Suci. Amiin

25 March 2006

Mu'tazilah & Akidah Kaum Sophist

Mu'tazilah dan Akidah Kaum Sophist
Counter Liberalisme Oleh : Redaksi 25 Jul 2005 - 2:15 am
Muchib Aman Aly *



Akhir-akhir ini, lahir golongan orang peragu dalam "berdakwah". Mereka memilih jenis "keyakinan" baru yang tak boleh mengganggap "agamanya benar'. Inilah kaum sophist. Pada tahun 100H/718M telah muncul aliran baru dalam teologi islam yang disebut aliran Mu'tazilah yang dibidani oleh Washil bin Atho' murid Hasan al-Bashri.

Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil aqliyah dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Selain nama Mu'tazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahlut-Tauhid, kelompok Ahlul 'adil, dan lain-lain.

Sementara pihak modern yang berseberangan dengan mereka menyebut golongan ini dengan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat. Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murji'ah berkenaan soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut aliran Khawarij, mereka tidak dapat dikatakan sebagai mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.

Sementara itu kaum Murji'ah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi dua pendapat yang kontroversial ini, Washil bin Atho' yang ketika itu menjadi murid Hasan al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi diantara keduanya.

Oleh karena diakhirat nanti tidak ada tempat diantara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan kedalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Demikianlah pendapat Washil bin Atho', yang kemudian menjadi salah satu doktrin Mu'tazilah, yakni Al-manzilah baina al-manzilataini (posisi diatara dua posisi).

Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya dikalangan mesyarakat awam kerena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu'tazilah yang bersifat rasional dan filosofis itu. Alasan lain adalah kaum Mu'tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah SAW. dan para shahabatnya.

Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan intelektual, pada masa pemerintahan khlalifah al-Ma'mun, penguasa Abbasiah periode 198-218 H./813-833 M. kedudukan Mu'tazilah menjadi semakin kokoh setelah al- Ma'mun menyatakannya sebagai madzhab resmi negara. Hal ini desebabkan karena al-Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Dalam fase kejayaannya itu, Mu'tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memakasakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalqu al-Qur'an.

Mu'tazilah berpendapat bahwa al-Qur'an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur'an itu makhuk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al Qur an itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik. Khalifah Al-Ma'mun menginstruksikan supaya dilaksanakan pengujian (Fit and and Proper Test) terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka akan paham ini.

Menurut al-Ma'mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa al-Qur 'an adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting didalam pemerintahan, terutama dalam jabatan Qadli. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya para aparat pemerintahan yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemeritahan yang disiksa, diantaranya adalah Imam Hambali. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu'tazilah, seperti al-Khuzza'i dan al Buwaythi.

Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil berkuasa pada masa 232-247 H./846-861 M. menggantikan al-Wasiq, Khalifah pada masa 228-232 H./843-846 M. Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu'tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakil membatalkan mazhab Mu'tazilah sebagi mazhab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asy'ariyah.

Selama berabad-abad kemudian Mu'tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlussunnah wal Jama'ah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini adalah buku-buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan-perguruan Islam.Sebaliknya, pengetahuan tentang paham-paham mereka hanya didapati pada buku-buku lawannya, seperti buku-buku yang ditulis oleh pemuka asy'ariyah. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu'tazilah ditemukan kembali dan dipelajari diberbagai perguruan Islam, seperti di Al-Azhar.

Neo mu'tazilah

Seiring dengan semakin gencarnya para pemikir Barat (orientalisme) mempelajari Islam dan kemudian menyuguhkannya pada para pemikir-pemikir Islam modern seperti Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammad Arkoun, faham Mu'tazilah kini muncul dengan wajah barunya, bahkan kini sudah merambah ke tokoh-tokoh Muslim Indonesia.

Mereka, kemudian melempar isu-isu yang nakal yang dapat merusak keimanan setiap muslim, betapa tidak, beberapa dari mereka bahkan secara terang-terangan sudah mempertanyakan ke-otentikan al-Qur'an dan menganggap semua agama benar (pluralisme agama). Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu salah satu tokoh Islam Liberal Ulil Abshar secara tegas menyatakan bahwa kaum liberalis adalah penerus aliran Mu'tazilah, bahkan kalau melihat pemikiran-pemikirannya mereka justru melebihi aliran Mu'tazilah, banyak pemikir liberal mencoba merelatifkan nilai-nilai ajaran Islam dengan menyamakannya seperti budaya lain.

Hal ini dilakukan dangan merelatifkan nilai kenabian Muhammad SAW., dengan memandang beliau sama saja dengan reformis-reformis lainnya, Muhammad SAW itu adalah manusia biasa tak lebih dan tak kurang, kata Hamid Basya'ib, aktifis Islam Liberal. Demikian juga dengan al-Qur'an, mereka mengatakan al-Qur'an adalah produk budaya, karena ia terbentuk dalam sebuah realitas budaya dan mnggunakan bahasa budaya ketika itu . Al-Qur'an itu, kata Arkoun, persis seperti Bible, ia merupakan kumpulan kata-kata Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa manusia (bandingkan dengan ide al-Qur'an adalah makhluq yang diusung oleh Mu'tazilah).

Teologi inklusif

Dalam buku 'Teologi inklusif Cak Nur' ditulis, "Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah World view Al qur'an, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam, yakni sikap pasrah diri kehadirat tuhan. (QS 29:46). Selanjutnya dikatakan : "Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur".

Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi "muslim" itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya bagi penganut kitab suci baik Yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun diantara kita, baik sebagai orang Islam, Kristen, Yahudi, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat kebaikan, maka akan mendapat pahala di sisi Tuhan (QS.2:62, 5:69).

"Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologi bagi umat beragama, apapun "agama"-nya, untuk menerima pahala (surga) dari tuhan. "Bayangkan betapa inklusifnya pemikiran teologi Cak Nur ini", kutip Sukidi, anak Muhammadiyah yang juga penganut Islam Liberal.

Seorang aktivis Muhammadiyah menulis untuk sebuah media massa Indonesia:

"Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama, baik Hinduisme, Budhisme, Yahudi, Kristen, Islam maupun lainnya adalah benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada dimana-mana dan ditemukan pada semua agama.

Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralisme Gandhi seperti pohon yang memiliki banyak cabang tapi berasal dari satu akar. Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu mari kita memproklamirkan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, dan karena itu mustahil pula kita melawan dan menghindar. Sebagai muslim kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum tuhan", katanya. (Jawa Pos 11 Januari 2004) .

Teologi inklusif didasari oleh sikap relatifisme ('Indiyyah) yang menganut faham tidak ada kebenaran mutlak. Sumber pemikiran ini apabila diurut akan berujung pada aliran Sufasta'iyyah (kaum sophist). Dalam aqidah annasafi dinyatakan "haqaaiq al-ashya'' tsabitatun wal' ilm bihaa mutahaqqiqun, khilafan li al-shufastaiyyah" (Semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan kita akan dia adalah yang sebenarnya kecuali menurut kaum sufasta'iyyah) .

Gagasan 'kaum peragu' (sophist), sebagaimana ditulis dalam buku Al-'Aqaid an-Nasafiyyah itu jelas sudah ditolak oleh Islam (khilafan li al-shufastaiyyah). Sangat jelas, akidah kita (Islam), sangat bertentangan dengan para kaum sophist ini. Jika seorang Muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain adalah salah, maka kita bertanya, untuk apa ada konsep teologi Islam?

Jika seorang tidak yakin dengan kebenaran yang dibawanya --karena semua kebenaran dianggapnya relatif-- maka untuk apa ia berdakwah atau berada dalam organisasi dakwah? Untuk apa ia menyeru orang lain mengikuti kebenaran dan menjauhi kemungkaran, sedangkan ia sendiri tidak meyakini apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah.

Pada akhirnya, golongan "ragu-ragu" akan "berdakwah" mengajak orang untuk bersikap "ragu-ragu" juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis "keyakinan" baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar. Itulah kaum sophist. Upaya dekonstruksi dan reduksi makna Islam terus berjalan, dan ironisnya jika itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh cendikiawan muslim, ormas Islam yang bukan hanya dianggap mempunyai otoritas dalam keilmuan Islam, tetapi juga dihormati di lembaga-lembaga keagamaan, dan yang lebih ironis lagi, tidak banyak kalangan ulama dan cendikiawan bahkan kalangan pesantren yang menganggap hal ini sebagai masalah serius bagi perkembangan masa depan umat atau dakwah Islam.

Penutup

Suatu kali, saya berdiskusi dengan Masdar Mas'udi salah satu tokoh Islam Liberal, dia berkata, " OK saat ini ide-ide kami tidak diterima oleh pesantren tapi tunggu sepuluh atau dua puluh tahun lagi saya yakin justru pesantrenlah yang menjadi corong ide liberal". Karena itu, inilah saat yang tepat bagi pesantren untuk senantiasa berada pada garis terdepan mempertahankan Aqidah Ahlus-sunnah Wal jamaah, sebagaimana telah dilakukan oleh para imam-imam terdahulu ketika merespon munculnya beberapa faham yang menyimpang. Khazanah Islam, yang kini masih tersimpan dengan baik di berbagai perpustakaan dan lembaga-lembaga pendidikan, kini saatnya kita buka kembali. Saatnya, kita bangun dari tidur yang panjang ini untuk menghadapi kaum sophist berbaju liberalime.


* Penulis adalah anggota Rabithatul Ma’ahid Islamiyah (RMI), Cabang Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. (Hidayatullah)

Program JIL

Program Jaringan Islam Liberal



Ada beberapa kegiatan pokok Jaringan Islam Liberal yang sudah dilakukan saat ini:

Sindikasi Penulis Islam Liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya “otonomi daerah”, maka peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah.

Talk-show di Kantor Berita Radio 68H. Talk-show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melaui jaringan Radio namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh).

Penerbitan Buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul Wajah Liberal Islam di Indonesia.

Penerbitan Buku Saku. Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan Buku saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menajdi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari perspektif Islam Liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syari’at Islam, jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat” (amr ma’ruf, nahy munkar), dll.

Website Islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal (islamliberal@yahoogroups.com) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show radio, dll.) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL.

Iklan Layanan Masyarakat. Untuk menyebarkan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Advertisement) dengan tema-tema seputar pluralisme, penghargaan atas perbedaan, dan dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah diproduksi adalah iklan berjudul "Islam Warna-Warni".

Diskusi Keislaman. Melalui kerjasama dengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah universitas, seperti Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dll.


sumber: Dari berbagai sumber mass media.

23 March 2006

22 March 2006

Islamic Software From World of Islam



The Noble Quran Version 3.0





The Hadith Software Version 1.0





Quran Viewer 2.8

Many useful features, including Qur'anic Commentary Transliteration and Glossary of over 500 Islamic terms!






Shahi Bukhari


Requires : The Hadith Software Version 1.0




Hadith-Qudsi - version 1.1

Easy Viewing of The Forty Sacred Hadith.





Shahi Muslim



Requires : The Hadith Software Version 1.0




Stories of the Prophets 1.5

Based on a fantastic scholary text, teaches us about the lives of the beloved Prophets.





Maliks Muwatta


Requires : The Hadith Software Version 1.0




Islamic Calendar Softwareversion 1.3

A perpetual Islamic Calendar program that can run as a Taskbar Icon on your Desktop.






Fiqh-us-Sunnah



Requires : The Hadith Software Version 1.0




WinLaw

Fiqh software for Windows, contains the book Fiqh-us-Sunnah which can be browsed or searched.





Shamaa-il Tirmidhi



Requires : The Hadith Software Version 1.0




WinSeera

Seera Software containing 4 Books of
Seera, all of which can be browsed or searched.





Abu Dawud



Requires : The Hadith Software Version 1.0




Stories of the Prophets 1.5

Based on a fantastic scholary text,teaches us about the lives of the beloved Prophets.





WinHadith

Hadith Software containing 5 Books of
Hadith, all of which can be browsed or searched.


17 March 2006

Pluralisme Agama


Asal Usul Gagasan Pluralisme Agama

Oleh: M. Ainul Yaqin,
Sumber: sidogiri online

Beberapa waktu lalu Majelis Ulama Indonesia membuat ketetapan fatwa yang salah satunya mengharamkan paham pluralisme agama. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dipahami makna sebenarnya pluralisme agama tersebut. Hal ini penting karena banyak orang yang latah menggunakan istilah tersebut tanpa memahami maknanya, bahkan ikut-ikutan lantang mengkritik fatwa MUI. Akibat kelatahan dan ketidaktelitian itu pula banyak orang yang rancu menempatkan antara istilah pluralisme agama dengan toleransi beragama.


Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Satu contoh kerancuan antara lain terdapat dalam artikel Aan Najib Mustafa dalam majalah Aula No. 11 tahun XXV, Nopember 2003 yang berjudul Problematika Murtad dan Kebebasan Beragama dalam Islam. Dalam artikel tersebut disebutkan “Konsep murtad dalam Islam menyiratkan paradoks. Akankah Islam yang bervisi pluralis, yakni memberikan ruang bagi kebebasan beragama secara luas kepada umat Islam, menghukum mati Muslim yang berpindah agama. Paradoks ini perlu dibongkar secara luas untuk menjaga semangat pluralisme dalam Islam. Hal ini disebabkan pluralisme membutuhkan kebebasan memilih dalam beragama bagi setiap orang dan menolak kebenaran tunggal hanya dalam agama tertentu saja, misalnya Islam”.


Tampak dalam tulisan tersebut adanya kerancuan antara pengertian pluralisme dan toleransi. Istilah pluralisme yang secara sederhana diartikan sebagai paham yang menolak klaim kebenaran dari suatu agama tertentu dipahami secara rancu dengan istilah toleransi beragama yang berarti pengakuan adanya keragaman agama (pluralitas agama) dan menghormati adanya keragaman itu. Tapi aneh sekali dalam artikel tersebut disitir surat al-Baqoroh ayat 256 dan surat al-Ma’uun ayat 7 untuk menjustifikasi adanya konsep pluralisme agama dalam Islam. Padahal dalam ayat tersebut secara jelas terdapat pengingkaran terhadap gagasan pluralisme agama. Surat al-Baqoroh ayat 256 menyebutkan “Laa ikraaha fi ad-diin” yang artinya tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama (Islam). Dapat diartikan sebagai sebuah pengakuan terhadap adanya pluralitas agama. Dengan kata lain Islam mengakui eksistensi agama lain. Tetapi, tidak berarti membenarkan terhadap ajaran agama lain karena dalam ayat tersebut dilanjutkan dengan “qod tabayyana ar-rusydu mina al-ghay”.....dan seterusnya (Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Maka barangsiapa yang mengingkari kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).


Jelas sekali dalam ayat ini menunjukkan adanya klaim kebenaran yaitu Islam, selain Islam salah dan dianggap sebagai beriman kepada Thaghut, dengan demikian sangat berbeda secara diametral dengan konsep pluralisme agama yang intinya menolak klaim kebenaran dari suatu agama tertentu termasuk Islam. Prof. Dr. Muh Zuhri staf pengajar Universitas Muhammadiyah Solo (UMS) dalam sebuah makalahnya yang disampaikan dalam seminar nasional bertajuk Pemikiran Islam Muhammadiyah Respon Terhadap Fenomena Liberalisme Islam pada 1-2 Maret 2004 lalu di kampus UMS, melakukan sesuatu yang tak kalah rancunya dalam memahami pluralisme agama. Ia menuliskan sebagai berikut: “Inti pluralisme adalah sebuah paham yang toleran terhadap pihak lain yang tampil beda. Di sini merasa harmonis berdampingan, bertetangga, berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda menjadi penting. Malahan, bekerjasama dan saling menolong untuk tampil bersama merupakan wujud pluralisme yang ideal.” Dalam kesimpulan makalah tersebut ia juga menuliskan: “Pluralitas adalah fitrah yang tidak dapat dihindari.”


Di sini terlihat adanya kerancuan dalam memahami dua istilah yang sebenarnya sangat berbeda secara konsepsual ini. Untuk memahami lebih lengkap pengertian pluralisme agama patut kiranya memperhatikan uraian John Hick dalam Encyclopedia of Religions yang terjemahannya sebagai berikut: “Secara filosofis terminologi pluralisme agama merujuk pada suatu teori hubungan antara agama-agama dengan segala perbedaan dan pertentangan klaim-klaim mereka. Teori ini menyatakan bahwa agama-agama besar di dunia mengandung konsep-konsep, persepsi-persepsi varian dari dan merupakan respon terhadap Yang Asal yaitu realita ketuhanan yang misterius. Pluralisme eksplisit menerima posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklisivisme; yaitu suatu pandangan bahwa agama-agama besar mewujudkan persepsi dan konsepsi yang berbeda-beda tentang, dan secara bersama memiliki respon yang berbeda terhadap The Real (Yang Ada) atau The Ultimate, dan bahwa di dalam masing-masing agama itu sendiri secara terpisah merupakan trasnsformasi eksistensi manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan realitas sedang terjadi. Dengan demikian tradisi agama-agama besar dianggap sebagai tempat alternatif menuju zat Yang Wujud di mana manusia dapat menemukan keselamatan, pembebasan, dan pemenuhan”.


Beberapa penjelasan lain tentang pengertian pluralisme agama memberikan pengertian kurang lebih sama dengan yang disebutkan oleh John Hick antara lain Jonh Cobb Jr menyebutkan bahwa agama-agama (yang berbeda) kendati berbicara secara berbeda tetapi hakekatnya adalah sama benarnya. Seyyed Hossein Nasr menyebutkan bahwa setiap agama sebenarnya mengekspresikan adanya The One in many (Zat Tunggal yang dipersepsikan dalam banyak). Demikian Juga Raimundo Panikkar menyebutkan bahwa setiap agama mengkespresikan suatu bagian yang penting dari kebenaran. Berdasarkan beberapa pengertian di atas jelaslah bahwa pluralisme agama adalah suatu paham yang menganggap bahwa agama-agama yang ada tidak lebih sebagai persepsi manusia terhadap zat Tuhan karena itu kaum pluralis menolak adanya klaim kebenaran yang dilakukan oleh agama tertentu. Analog dengan beberapa orang buta mempersepsikan gajah, demikian halnya ajaran agama dalam pandangan kaum pluralis mempersepsikan Tuhan.


Seorang penganut teologi pluralis dan dosen di Paramadina mengatakan bahwa suatu saat umat Islam akan meninggalkan klaim bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan jalan keselamatan. Jelas pula bahwa istilah pluralisme agama adalah sebuah istilah yang sudah baku dan mapan yang merupakan produk pandangan hidup (worldview) Barat. Ide pluralisme agama apabila diadopsi oleh Islam jelas akan berbenturan dengan berbagai konsep dalam Islam yang selama ini telah baku antara lain konsepsi kafir, konsepsi tentang murtad, yang pada gilirannya membawa implikasi pada pemahaman ajaran Islam yang lain seperti pernikahan beda agama, bahkan konsep tentang fiqih. Tidak heran bila para pengikut teologi inklusif pluralis selalu berusaha melakukan rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi terhadap konsep-konsep dalam Islam yang sudah mapan. Konsep tentang kafir misalnya tidak lagi diartikan sebagai sebutan untuk orang yang tidak memeluk Islam. Jalaluddin Rahmat dalam sebuah wawancara dengan jaringan Islam liberal (dimuat dalam situs JIL 17 September 2003) mengatakan bahwa istilah kafir merupakan Label Moral, bukan Akidah. Dalam wawancara tersebut secara lengkap ia mengatakan: istilah kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Al Quran dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi --bukan mendekonstruksi.


Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Al Quran selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Al Quran, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja. Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Al Quran. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Al Quran disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ” (bersyukur ataupun tidak bersyukur); “la in syakartum la?azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd” (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya.


Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui. Demikian juga konsep tentang murtad yang secara mapan dipahami sebagai keluar dari Islam diartikan sebagai berbalik menjadi pendukung para penindas kaum muslimin (lihat tulisan Aan Najib Mustafa dalam majalah Aula edisi Nopember 2003 hal 59). Tentang fiqih, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer dalam sambutan pembukaan debat Buku Fiqih Lintas Agama di UIN Syarif hidayatullah 15 Januari 2004 mengatakan: “Tentang Aqidah, mungkin kita juga berbeda, meskipun sama-sama memeluk Islam. Ada istilah akidah atau teologinya eksklusifisme berbeda dengan yang aqidah dan teologinya pluralisme. Kalau teologinya pluralis maka fiqihnya juga pluralis, Jadi teologi pluralis membutuhkan fiqih pluralis (fiqih lintas agama)”.


Munculnya gagasan pluralisme agama tidak lepas dari adanya gerakan liberalisasi di dunia Barat yang bermula dari liberalisasi sosial politik yang pada akhirnya merambah bidang lain seperti ekonomi, budaya dan tak terkecuali agama. Agama yang sejak pasca reformasi gereja abad ke-15 dengan gerakan sekularisme telah diredusir dan diminimalisir peranannya sedemikian rupa, sehingga hanya boleh beroperasi pada tataran yang paling privat dari kehidupan manusia, ternyata dianggap tidak cukup kondusif bagi terciptanya tatanan dunia yang harmonis, demokratis, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan HAM. Agama dituduh dan diposisikan sebagai sumber konflik umat manusia. Berangkat dari asumsi agama sebagai sumber konflik memunculkan dua kutub ekstrim.


Pertama kelompok yang menolak agama. Dalam pandangan kelompok ini karena agama sebagai sumber konflik sehingga harus dipinggirkan. Agama dianggap tidak mempunyai peran penting dalam membangun peradaban sehingga harus disinggkirkan dari dunia dan dunia perlu dibebaskan dari agama. “if there is no religion too” sepenggal dari syair lagu Imagine karya John Lenon. Karl Mark misalnya menyebutkan bahwa agama adalah candu. Karena agamalah orang rela ditindas dan menjadi penindas.


Gagasan ini selain absurd dan tidak sesuai dengan realitas juga banyak ditentang oleh para pemikir Barat sendiri antara lain Arnold Toynbee yang berdasarkan hasil penelitiannya menemukan bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran sebagai kristalisasi kepompong yang merupakan cikal bakal tumbuhnya suatu peradaban. Sebagai gantinya kelompok yang tidak setuju memunculkan kutub ekstrim kedua, yaitu upaya penyamaan semua agama. Gagasan ini muncul karena adanya anggapan bahwa perbedaan konsep agama adalah pangkal dari konflik umat manusia. Berangkat dari sini dilakukan upaya penyamaan antara agama-agama. Gagasan seperti inilah yang akhirnya populer dengan pluralisme agama. Di samping berangkat dari anggapan di atas, gagasan pluralisme agama juga dipicu oleh gerakan liberalisme. Gerakan liberalisme Barat yang awalnya merupakan liberalisasi bidang sosial dan politik yaitu menuntut adanya persamaan dan kesetaraan di bidang hukum dan kedudukannya sebagai warga masyarakat dan negara akhirnya diberlakukan juga pada agama, sehingga agama pun harus diposisikan sederajat, tidak boleh ada agama yang merasa kedudukannya lebih tinggi dan agama harus diposisikan sama benarnya dan sama relatifnya.


Sebenarnya munculnya gagasan liberalisme politik yang kemudian melahirkan pula liberalisme dan pluralisme agama tidak lepas dari konsisi yang terjadi di Eropa saat itu dimana dominasi Gereja dan kaum bangsawan begitu kuat. Di samping itu, juga merupakan respon terhadap realitas sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan madzhab yang ternyata rawan konflik. Hal ini nampak sekali kendatipun gagasan pluralisme agama telah digulirkan tetapi konflik internal antar sekte dalam masyarakat Kristen Eropa begitu kuat. Beberapa sekte mendapat perlakuan yang diskriminatif oleh gereja antara lain dialami oleh sekte Mormon karena dianggap heterodox dan perlakuan diskriminatif ini baru berakhir abad ke-19 ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Demikian juga doktrin gereja yang menyatakan bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan masih dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga dilangsungkan Konsiliasi Vatikan II (1962-1965) yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen. Bahkan jauh sebelum itu, sikap intoleran orang-orang Gereja Kristen terhadap agama lain begitu kuat antara lain ditunjukkan dengan adanya kebijakan inkuisisi terhadap segala bentuk yang dianggap menyimpang dari ajaran gereja Kristen termasuk dalam hal ini berbagai sekte dan agama lain. Hal ini antara lain dirasakan oleh penganut Yahudi. Penindasan dan pengusiran terhadap penganut Yahudi kelak dipopulerkan dengan istilah anti-Semitism yang secara terbuka mulai diperkenalkan oleh Wilhelm Marr tahun 1879.


Ide pluralisme agama semakin mengkristal dan mantap dalam wacana filsafat dan teologi Barat dimulai pada awal abad ke-20. Sebelum ini Friedrich Schleirmacher seorang teolog Protestan liberal telah melontarkan gagasan liberalisasi agama yang memberi kebebasan para pemeluk agama. Selanjutnya seorang teolog Kristen Jerman yang bernama Ernst Troelsch (1865-1923) mengungkap perlunya bersikap pluralis di tengah berkembangnya konflik internal Kristen maupun antar agama. Dalam makalahnya yang disampaikan dalam sebuah kuliahnya di Oxford University tahun 1923 yang berjudul The Place of Christianity among The World (Kedudukan Agama Kristen di antara Agama-agama di Dunia) mengatakan bahwa umat Kristen tidak berhak mengklaim bahwa agamanya adalah paling benar sendiri. Semua agama termasuk Kristen selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Senada dengan Ernst Troelsch, William E. Hocking dalam bukunya re-Thinking Mission dan Living Religion and a World Faith secara yakin bahkan memprediksi munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global. Menyusul Arnold Toynbee (1989-1975) dalam bukunya An Historian’s Approach to Religion (1965) dan Cristianity and World religions (1957) juga menyampaikan gagasan yang hampir sama dengan Ernst Troelsch.


Karya-karya tersebut menurut Anis Malik Thoha (peneliti Insists) mencerminkan fase tersendiri dalam perkembangan gagasan pluralisme agama yaitu fase fermentasi dan pembentukan wacana. Fase berikutnya adalah fase pengayaan. Pada fase ini tampil seorang teolog dan sejarawan agama dari Kanada, Wilfred Camtwell Smith dalam bukunya Towards A World Theology (1981). Ia mengemukakan gagasan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama di dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis.


Gagasan pluralisme agama mencapai fase matang secara konseptual terjadi pada akhir abad ke-20. Beberapa tulisan yang memperlihatkan gagasan pluralisme agama secara lebih matang dan baku antara lain tulisan Gifford Lecture An Interpretation of Religions: Human Respons to the Transcendent (Interpretasi Agama-agama: Respon manusia terhadap Tuhan). Kemudian John Hick (lahir 1922) dalam beberapa bukunya telah berhasil merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer saat ini sehingga gagasan inipun melekat dengan namanya.


Dalam lingkungan Islam gagasan pluralisme agama merupakan hal baru yang tidak mempunyai akar ideologis atau teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul di lingkungan Islam lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh adanya penetrasi dari peradaban Barat modern. Hal ini diperkuat bahwa munculnya gagasan tersebut baru terjadi sesudah perang dunia kedua yaitu ketika mulai terbuka kesempatan bagai generasi muda Muslim untuk memperoleh pendidikan di universitas-universitas Barat. Di Indonesia misalnya, ide pluralisme agama sebelum dipopulerkan oleh Jaringan Islam Liberal dan generasi kedua dari aktivis Paramadina (Zainul Kamal, Sukidi, dkk) secara substansial telah lebih dahulu diperkenalkan oleh Dr. Nurcholish Madjid yang notabene adalah alumni Chicago University. Ide Cak Nur yang oleh Sukidi (salah satu kader Cak Nur di Paramadina) dipopulerkan dengan istilah teologi inklusif isinya kurang lebih sama dengan gagasan pluralisme agama.


Dalam orasi kotroversialnya yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992 dengan judul “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Di Indonesia”, Cak Nur menjelaskan panjang lebar tentang krisis kemanusiaan yang sedang melanda dunia yang dalam pandangannya disebabkan oleh adanya radikalisasi dalam pemahaman agama terutama Islam. Pemahaman yang membawa radikalisasi menurutnya karena adanya klaim bahwa hanya agama inilah (Islam) yang benar dan yang lain adalah salah dan kafir. Untuk itulah Cak Nur berpendapat perlunya mendefinisikan kembali makna Islam, kafir dan ahli kitab. Islam dalam pandangan Cak Nur bukanlah sebagai mana yang sering dipahami kebanyakan yaitu proper name (nama diri) untuk suatu agama tertentu yang diistilahkannya sebagai organized religion, tetapi Islam adalah sikap ketundukan dan penyerahan kepada Tuhan. Sikap ini bukanlah dominasi ajaran Islam, tetapi juga merupakan intisari dari ajaran agama lain termasuk Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, dan agama yang lainnya. Karena itulah pada esensinya semua penganut agama-agama dengan sendirinya dapat disebut muslim karena pada esensinya mereka juga melakukan penyerahan diri kepada Tuhan.


Para pengikut Cak Nur antara lain Sukidi dalam bukunya yang berjudul Teologi Inklusif Cak Nur mencoba mencari justifikasi atasi gagasan Cak Nur dengan menyitir surat al-Baqarah ayat 62 dan al-Ma’idah ayat 69. Tetapi, apabila dilacak justifikasi dengan menggunakan kedua ayat tersebut melibatkan penafsiran baru yang dipaksakan yang bertolak belakang dengan mainstream penafsiran dari para mufassir yang mu’tabar. Gagasan pluralisme agama kembali populer di Indonesia semenjak keluar tulisan Ulil Abshar Abdalla dalam harian Kompas (18/11/2002) yang bertajuk Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Dalam artikel tersebut ia menuliskan: “Kebenaran Tuhan lebih besar dari Qur’an, Hadits dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah. Oleh karena itu, Islam lebih tepat disebut sebagai sebuah proses yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah lembaga agama yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat inna ad-diina ‘inda Allahi al-Islam (Q.S. Ali Imran: 19) lebih tepat diterjemahkan dengan “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada yang Maha Benar)”.


Selanjutnya ia juga menuliskan: “Semua agama dengan demikian adalah benar dengan variasi, tingkat dan kadar kedalamannya yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu”. Jelas sekali saudara Ulil melakukan langkah lebih berani dengan mengesampingkan Al Qur’an dan Al Hadits sendiri yang merupakan sumber yurisprudensi tertinggi dalam Islam. Gagasan Nurcholish Madjid tentang rekonstruksi makna Islam bila diteliti bukanlah sebuah gagasan yang secara utuh orisinal. Wilfred Camtwell Smith seorang yang terlibat dalam mata rantai penggagas pluralisme agama telah melakukan hal yang sama sejak tahun 1960an. Smith merasa gelisah melihat fenomena dimana para penganut agama menganggap diri mereka sebagai kebenaran tunggal. Dalam pandangannya agama bukanlah sebagai kekuatan penyatu manusia, akan tetapi sebaliknya sebagai pemecah persaudaraan kemanusiaan.


Oleh sebab itu, menurutnya sudah sepantasnya dilakukan studi kritis terhadap perkataan agama, dan tidak seharusnya menerima terminologi-terminologi agama tanpa mempertanyakan historisitas terbentuknya istilah itu. Dalam bukunya The History of Muslim Religion has yet to be written (1981) Smith seolah-olah menemukan adanya perkembangan dalam pemaknaan kata Islam. Dia selanjutnya memaknai Islam dalam tiga makna. Pertama, Islam sebagai komitmen individu muslim untuk menyerahkan diri kepada Tuhan. Kedua, Islam sebagai ide platonic yang transenden. Dan ketiga, Islam sebagai sistem yang terinstitusikan dalam sejarah. Menurutnya apabila kata Islam disebutkan, maka yang dimaksudkan adalah makna yang pertama. Namun Islam sebagai nama sebuah agama hanya dikonotasikan oleh makna kedua dan ketiga (lihat The History hal 47).


Di arena lain wacana pluralisme agama menyusup ke dalam wacana pemikiran Islam juga melalui karya-karya pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon dan Frithjof Schuon. Rene Guenon adalah seorang berkebangsaan Perancis. Ia telah mempelajari kebudayaan timur khususnya Islam dan Hindu sejak usia delapan belas tahun. Pada tahun 1912 ia masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Wahid Yahya. Ia meninggal di Mesir tahun 1951 dan meninggal di sana dengan meninggalkan beberapa karya dalam bahasa Perancis. Sedangkan Frithjof Schuon adalah keturunan Jerman, lahir di Swizerland tahun 1907, lalu menjadi warga negara Perancis. Ia kemudian memeluk Islam dan berganti nama Isa Nuruddin Ahmad. Pada tahun 1932 ia mengunjungi Aljazair dan Maroko. Tahun 1938 ke Kairo dan bertemu dengan Rene Guenon yang kemudian menjadi salah satu gurunya.


Baik Rene Guenon maupun Frithjof Schuon keduanya meninggalkan karya-karya yang memuat ide persekutuan agama yang merupakan turunan dari gagasan pluralisme agama. Schuon dalam bukunya The Transcendent Unity of Religions menyampaikan bahwa semua agama adalah sama dalam esensinya dan berbeda hanya dalam bentuknya. Esensinya sama karena berasal dari sumber yang sama yang Absolut, dan bentuknya berbeda karena adanya perbedaan dalam memanifestasikan yang Absolut. Pernyataan Schuon ini mengingatkan pada pernyataan Abdul Munir Mulkhan wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mengatakan bahwa surga Tuhan yang satu mempunyai banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. (Lihat karyanya Ajaran dan jalan Kematian Syeikh Siti Jenar) Pemikiran Schuon semakin populer setelah sampai di tangan seorang muridnya Seyyed Hossein Nasr.


Gagasan Nasr yang paling penting adalah al-hikmah al khalidah (kebenaran abadi). Dalam bukunya Ideals and Realities of Islam ia menuliskan bahwa meyakini dan melaksanakan suatu agama secara keseluruhan dan sungguh-sungguh berarti juga memeluk seluruh agama, karena semua berporos kepada satu poros yaitu kebenaran hakiki yang abadi. Selanjutnya baik Schuon maupun Nasr mengklaim bahwa gagasannya tetang kesatuan transendental agama-agama diambil dari pemikiran seorang sufi kenamaan Ibnu Arabi. Tetapi menurut penelitian Samsuddin Arif dari INSISTS, sengaja atau tidak, Schuon dan Nasr telah berbuat tidak jujur dalam mengutip karya Ibnu Arabi. Schuon dan Nasr menyebut puisi Ibnu Arabi yang dimuat dalam bukunya Tarjuman al-Asywaq sebagai inspirator dari ajaran kesatuan transendental agama-agama. Puisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Hatiku telah menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput dan menjangan; biara bagi rahib, kuil anjungan berhala, ka’bah tempat orang thawaf; batu tulis Taurat; dan mushaf bagi al-Qur’an; Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa ku ikuti kemanapun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”


Sengaja atau tidak ada hal yang tidak diungkap oleh Schuon dan Nasr bahwa Ibnu Arabi telah menjelaskan sendiri semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri Dzakha’ir al-Alaq syarh Tarjuman al-Asywaq. Dalam kitab ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan agama cinta adalah agama Nabi Muhammad saw, merujuk pada firman Allah dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 31 yang artinya “Katakan (hai Muhammad) Jika Kamu benar-benar mencintai Allah ikutikah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Dengan nada yang sama Ibnu Arabi juga menguraikan tentang hal ini dalam kitab Futuhatnya.


Membangun Agama Baru?


Wacana pluraisme mempunyai dua corak pertama, memaksa setiap agama untuk mengakui bahwa agama lain adalah benar. Konsekwensi dari hal ini menuntut setiap agama melakukan perubahan konsep tentang berbagai ajaran yang dipandang bertentangan. Kedua, gagasan pluralisme seolah-olah hendak membentuk agama baru yang universal yang merupakan payung dari agama-agama.


Fenomena kedua ini dapat dicermati dari tulisan Robert N. Bellah yang berjudul Civil Religion in America. Dalam pengamatan Bellah di Amerika berkembang agama civil yaitu agama yang tidak berpihak pada ajaran agama tradisional manapun. Agama ini hanya mengenal God tetapi tidak mengenal Allah atauYesus (apalagi Sang Yang Widhi pen.). Agama civil ini bisa mencakup semua agama karena istilah-istilah yang digunakan bersifat umum. Menurut Bellah penggunaan sebutan God lebih universal tanpa memandang ras dan agama resmi yang dianutnya. Bellah juga beralasan bahwa para Presiden Amerika tidak seorangpun yang tidak menyebut nama God dalam pidato resmi kenegaraan, tetapi tak satupun dari dari mereka yang menyebut Yesus Kristus.


Mengacu pada kesimpulan Bellah, hal yang sama dilakukan oleh para penganut teologi inklusif pluralis di Indonesia. Mereka lebih senang menggunakan sebutan Tuhan ketimbang menyebut langsung Allah sekalipun mereka muslim. Penggunaan sebutan Tuhan terasa lebih universal ketimbang menyebut Allah. Cak Nur konon ketika menikahkan anaknya membukanya dengan menyebut atas nama Tuhan tidak menggunakan langsung kata Bismillah sebagai lazimnya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ustadz Syamsi Ali seorang guru agama di New York kepada Media Dakwah (lihat Buku Nikah Beda Agama Menurut Islam dan Seputar Pernikahan Putri Cak Nur, terbitan Media Wacana).


Penutup Gagasan Pluralisme agama yang akhir-akhir ini dipopulerkan di lingkungan umat Islam Indonesia adalah murni produk peradaban Barat yang bersumber dari pandangan hidup mereka tentang kehidupan (worldview). Layaknya sebuah produk asing, apabila dipaksakan untuk diadopsi dapat dipastikan akan membawa pada benturan-benturan dan kerancuan konseptual. Bahkan tidak mustahil akan mencerabut ajaran orisinal dari Islam sendiri. Selain itu, apa yang diinginkan oleh pengikut teologi pluralis bahwa dengan gagasan pluralisme agama dapat meredam konflik antar agama-agama adalah suatu gagasan yang absurd dan tidak realistis. Bahkan tidak mustahil gagasan ini dapat melahirkan konflik baru yang lebih dahsyat. Hal ini dapat dicermati dari reaksi terhadap gagasan tersebut yang ternyata tidak hanya datang dari lingkungan Islam.


Di lingkungan Kristen, gagasan pluralisme agama juga memperoleh penolakan. Pdt. Stevri Indra Lumintang, M.Th.dari YPPI misalnya menyebutnya sebagai teologi abu-abu. (lihat bukunya Teologi Abu-Abu /Pluralisme Iman terbitan Departemen Literatur YPPII, Malang). Mengenai hubungan antar agama, Islam telah memberikan aturan sendiri yang sudah mapan dan baku tanpa harus mengadopsi gagasan pluralisme agama. Islam yang menjunjung tinggi keadilan sudah tentu tidak serta merta merampas hak-hak non muslim. Tetapi mengingat mereka secara aqidah berbeda sudah tentu ada ketentuan-ketentuan yang mengharuskan berbeda, misalnya tentang pernikahan, perwalian, hak waris dan sebagainya. Adil dalam pandangan Islam bukan sama rata, tetapi adil adalah menempatkan sesuatu sesuai porsinya dan merupakan lawan dari dzalim yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Asumsi para penganut teologi pluralis bahwa agama khususnya Islam sebagai biang konflik juga patut dibaca secara kritis.


Benarkan Islam pemicu konflik? Bila dicermati, berbagai konflik yang selama ini disinyalir sebagai konflik agama ternyata lebih banyak dipicu oleh persoalan lain di luar agama. Konflik Palestina misalnya terjadi karena adanya perlakuan pilih kasih yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya yang cenderung menganakemaskan Israel. Beberapa konflik di Indonesia seperti konflik Ambon, Poso, dan Sampit lebih dipicu karena persoalan sosial politik, bukan agama. Bahkan terorisme pun muncul merupakan reaksi dari adanya arogansi negara-negara Barat terutama Amerika Serikat. Akhirnya, patut dikatakan bahwa gagasan pluralisme agama adalah gagasan yang tidak diperlukan dan sangat absurd untuk diadobsi ke dalam alam pemikiran Islam. Wallahu a’lam.