13 September 2007

Refleksi Ramadhan


Sudah sering kita lihat, banyak orang berceramah kemana-mana, apalagi bulan-bulan puasa seperti saat ini. Ramai-ramai menjadi pendakwah atau penulis moral. Apakah ia pejabat, tokoh politik atau tokoh masyarakat begitu rajin mengunjungi rumah-rumah ibadah, melakukan safari Ramadhan ke setiap masjid dan desa-desa. Mereka memberi contoh tentang kebaikan, bersikap hidup qanaah, atau menganjurkan supaya banyak bersedaqah.

Apalagi di musim suksesi pilkada, kegiatan safari Ramadhan bukan saja dari masjid ke masjid atau dari kampung ke kampung, melainkan merambat ke warung-warung kopi. Makanya menjadi penting bagi kita untuk menakar diri, apakah kita melaksanakan ibadah itu masih sebatas retorik atau benar-benar menjadi sekolah untuk meningkatkan kualitas iman? Sebab banyak bukti, ketika bulan Ramadhan begitu gencarnya seseorang memidatokan tentang iman dan taqwa, namun seusai Ramadhan, moral itu ia kurung dalam masjid, disimpan dalam lapisan kitab-kitab yang tahun depan tepat bulan Ramadhan kembali dibuka.

Betapa banyak orang shalat, berpuasa setiap bulan Ramadhan, namun seusai berpuasa kelakuannya tak juga berubah, korupsi tidak hilang-hilang, kezaliman terus merajalela, amoral seperti jadi dogma. Itu artinya, target ibadah puasa untuk meraih titel taqwa belum dimiliki. Ingatlah, bahwa sesungguhnya kita ingin menipu Allah Swt, tapi sebenarnya kita tertipu dan terpedaya akibat kemunafikan sendiri. Maka, tunggulah azab Allah Swt itu sangat pedih.

Sejauh mana optimalisasi usaha yang dilakukan, sangat tergantung pada kesadaran masing-masing. Sebagaimana salah satu firman Allah, “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Short post here
Extended post here

Sebelum tirai Ramadhan ditutup, kita perlu mengevaluasi apakah amalan puasa kita sudah menuju kepada nilai taqwa atau belum. Misalnya, kalau kita begitu gencar pidato, bahwa ibadah puasa itu diwajibkan bagi orang beriman, yaitu menahan nafsu (makan dan minum dan sahwat) sehingga ia akan meraih titel muttaqin. Apakah itu sudah tercermin pada diri kita––misal kalau selama ini kita serakah maka tidak diulangi lagi, tidak menilep hak-hak orang lain, dan kita bisa memiliki kepedulian antarsesama, sehingga kita peduli kepada mereka kaum dhuafa yang sepanjang hidupnya sering puasa.

Sebagai orang beriman, perlu menakar-nakar apakah pesan puasa seperti hidup qanaah sudah diterapkan dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Sebagai pemimpin, misal, yang menyeru rakyat supaya bersabar dan hidup sederhana, sudah sinkronkah dengan perilakunya. Dengan kata lain, kita tidak hanya pandai memberikan contoh-contoh, tapi juga dalam keseharian harus dapat dijadikan contoh.

Menghitung amalan sangatlah penting untuk mengingatkan, memperbaiki apa yang salah, menambah apa yang kurang, dan meningkatkan apa yang sudah baik. Sebab Allah Swt akan menilai kesudahan kita atau ending dari perbuatan hambanya–– apakah mengakhiri Ramadhan dalam keadaan taqwa dan penuh ketaatan kepada-Nya atau justru sebaliknya. Urgensi memperbaiki amalan di saat-saat akhir terangkum dalam doa husnul khatimah yang disebutkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkarnya, “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baiknya umurku pada ujungnya dan sebaik-baik amalku pada ujung akhirnya, dan sebaik-baik hariku adalah pada saat aku menemui-Mu”.

Dalam kondisi negeri kita, khususnya Aceh saat ini, adalah tepat untuk menyadari kesalahan dan kelalaian kita. Bagi yang dhuafa agar jangan putus asa dari rahmat Allah. Sebagaimana salah satu firman Allah Swt yang maknanya “jika seseorang ditimpakan suatu musibah apakah itu berupa sakit, miskin dan kehilangan orang yang dicintai, sesungguhnya dia (Allah) ingin menguji sejauhmana orang itu bersabar”. Begitu juga bagi mereka yang kaya apalagi raya, supaya mensyukuri rahmat itu dengan melakukan kebajikan. Bukan sekedar ceramah, bahwa saya seorang dermawan, yang jujur sambil melingkarkan sal ke leher supaya dianggap orang taat. Atau memfasih-fasihkan bacaan agar dinilai alim, tetapi bagaimana mengubah kelakuan agar menjadi manusia yang rendah hati.

Mengoreksi amalan dalam bulan suci ini agar kita menyadari bahwa kemurkaan Allah Swt sangatlah pedih bila kita ingkar dan munafik atas segala rahmat-Nya. Karenanya dekatkan diri kepada Allah Swt. Para ulama menunjukkan beberapa langkah, pertama, tetapkan satu masa khusus untuk merenung apa yang telah kita lakukan sebelum ini. Lalu bandingkanlah dengan beberapa obyek minimum yang telah kita tetapkan sebelum Ramadhan. Fase-fase terakhir bulan Ramadhan menjadi sangat menentukan, apalagi adanya malam istimewa Lailatul Qadar yang kebaikan dilakukan pada malam tersebut sama seperti melakukan kebaikan selama 1000 bulan. Langkah kedua, adalah memastikan kehidupan kita sebagai seorang muslim selepas bulan Ramadhan ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Menelaah dan menakar kualitas iman akan terlihat melalui refleksi Ramadhan, mana yang berkualitas mana yang tidak. Ibarat mengangikan padi: padi yang tidak berisi akan terbang jauh sedang yang berisi akan tertinggal. Memang untuk menakar iman tidaklah mudah dan standarnya sering berfluktuasi. Itu juga menjadi rahasia kenapa puasa hanya diwajibkan bagi mereka yang beriman. Bukankah kita sering mengaku paling beriman, tapi dalam keseharian kita cenderung tidak mencerminkan orang beriman itu. Sesungguhnya, bulan Ramadhan menjadi salah satu diklat paling efektif mengaktualisasi iman tersebut. Tentu ini berat ketika persoalan lain menghadang kita. Namun paling tidak, seusai Ramadhan akan tumbuhnya penghayatan dan pemaknaan keagamaan tidak sekadar jargon atau trend.

Selama ini kita memperhartikan semangat keagamaan (Islam) hanya berkutat dalam tataran simbolik. Penghayatan dan pemaknaan keagamaan semacam itu dapat kita lihat dengan kasat mata dalam keseharian, manipulasi simbol-simbol keagamaan, dan telah dipertontonkan dengan sukses oleh para elit politik dan birokrasi kita: memajang gelar haji di depan nama, berpeci haji atau simbol keagamaan lain, menjadi pengkhotbah hampir di setiap mimbar, dan sebagainya. Para elit politik dan birokrat kita pun terlihat sangat khusyuk menjalankan ritus-ritus keagamaan. Berkali-kali melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan ritus keagamaan lainnya. Ritus-ritus keagamaan yang dijalani itu dimaknai dapat menghapuskan dosa-dosa. Setelah itu, praktik kebiasaan (korupsi) dilakoni kembali. Jadi, lakon yang kita peragakan dengan bahasa sederhana dapat dikatakan: 11 bulan berbuat dosa, lalu jalani ritus keagamaan (berpuasa, misalnya), maka dosa-dosa selama 11 bulan akan sirna. Kembali ke “kesucian” lagi.

Sungguh, Islam adalah yang melarang kemungkaran, dan Islam selalu mengajak pemeluknya kepada amar ma‘ruf nahi munkar (dekati kebaikan, jauhi ketidakbaikan). Demikian selalu didengungkan di setiap telinga muslim. Islam mengajarkan setiap orang untuk memperkaya diri sendiri melalui jalan yang halal karena dengan menjadi kaya, seorang muslim akan mampu menciptakan lapangan kerja untuk orang lain dan membantu menghidupi sekian banyak jiwa. “Barangsiapa memberikan makanan berbuka kepada seseorang yang berbuka puasa, adalah demikian itu merupakan ampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka dan orang yang memberi makanan itu memperoleh pahala seperti diperoleh oleh orang yang berpuasa (yang diberikan makanan itu) tanpa sedikit pun berkurang.” Demikian salah satu hadis Rasul Saw. Karenanya, menelaah kembali amalan sebagai aplikasi keimanan jauh lebih urgen, mumpung masih ada kesempatan untuk memperbaiki dan menyadarinya sebelum tirai Ramadhan ditutup.


05 September 2007

Perbedaan Pendapat Umat Islam

Benarkah Perbedaan Pendapat Pada Umat Muslim Adalah Rahmat ?

Berkata sebagian kaum Muslimin :
"Biarkanlah keragaman pendapat yang ada di tubuh kaum Muslimin tentang agama mereka tumbuh subur dan berkembang, asalkan setiap perselisihan dibawa ke tempat yang sejuk."

Alasan mereka didasarkan pada sebuah hadits yang selalu mereka ulang-ulang dalam setiap kesempatan, yaitu hadits: "Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat"

Benarkah ungkapan ini? Benarkah Rasulullah pernah mengucapkan hadits tersebut? Apa kata Muhadditsin (Ahli Hadits) tentang hadits tersebut?.

Syaikh Al-Albani rahimahulah berkata: "Hadits tersebut tidak ada asalnya". [Adh-Dha'ifah :II / 76-85] . Imam As-Subki berkata: "Hadits ini tidak dikenal oleh ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha'if (lemah), maupun maudhu (palsu)." Syaikh Ali-hasan Al-Halaby Al-Atsari berkata: "ini adalah hadits bathil dan kebohongan." [Ushul Al-Bida']

Dan dari sisi makna hadits ini disalahkan oleh para ulama. Al-'Alamah Ibnu Hazm berkata dalam Al-Ahkam Fii Ushuli Ahkam (5/64) setelah menjelaskan bahwa ini bukan hadits: "Dan ini adalah perkataan yang paling rusak, sebab jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzhab. Ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzhab."

Bagaimanakah Daya Rusak Hadits Palsu Tersebut Terhadap Islam ?

1. Mengekalkan perpecahan dalam Islam

Tidak ragu lagi bahwa hadits tersebut adalah tikaman para pembawanya bagi persatuan Islam yang haqiqi. Ketika para pembawa panji-panji sunnah menyeru umat kepada persatuan Aqidah dan Manhaj (jalan/metode) yang shahih. Tiba-tiba muncul orang-orang yang mengaku mengajak kepada persatuan Islam dengan berkata: "Biarkanlah kaum muslimin dengan keyakinannya masing-masing, biarkanlah kaum muslimin dengan metodenya masing-masing dalam berjalan
menuju Allah , janganlah memaksakan perselisihan yang ada harus seragam dengan keyakinan dan pola pikir orang-orang arab padang pasir 15 abad yang lalu. Karena Rasulullah bersabda: "perselisihan pendapat pada umatku adalah rahmat."

Alangkah berbahayanya ungkapan tersebut dan banyak lagi perkataan yang semisalnya yang mengakibatkan kaum muslimin abadi di dalam aqidah dan manhaj yang berbeda. Padahal ayat-ayat dalam Al-Qur'an melarang berselisih pendapat dalam urusan agama dan menyuruh bersatu. Seperti Firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 46 yang artinya; "Jangan kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu."

Surat Ar-Rum ayat 31-32: "Jangan kamu seperti orang-orang yang musyrik, yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolong-golongan. Dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka."

Surat Hud ayat: 118-119: "Mereka terus-menerus berselisih kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Tuhanmu."

Dan kita diperintah Allah untuk bersatu dalam Aqidah dan manhaj diatas Aqidah dan Manhajnya Rasulullah dan para sahabatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-An'am ayat: 153 yang artinya: "Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa."

Dan kita diperintahkan Allah untuk merujuk bersama kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah ketika terjadi perselisihan, bukannya membiarkan perselisihan aqidah dan hal-hal yang pokok dalam agama meradang di tengah ummat dengan dalih sepotong hadist palsu. Firman-Nya dalan surat An-Nisa' ayat 59 yang artinya : "Jika kamu berselisih pendapat maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya."
Short post here

Extended post here
2. Kaum muslimin tidak lagi menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sandaran kebenaran dan hakim.

Syaikh Al-Albani berkata: "Diantara dampak buruk hadits ini adalah banyak kaum muslimin yang mengakui terjadinya perselisihan sengit yang terjadi diantara 4 madzab dan tidak pernah sama sekali berupaya untuk mengembalikannya kepada Al-Qu'an dan Al-Hadits." [Adh-Dha'ifah: I/76]

Allah berfirman menceritakan Nabi-Nya Muhammad ketika mengadu kepada-Nya: "Berkatalah rasul: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur'an ini suatu yang tidak diacuhkan." [QS. Al-Furqan:30].

Sungguh hal itu terulang kembali di zaman ini dikarenakan hadist palsu yang menggerogoti ummat.

3. Umat islam tidak lagi menjadi umat terbaik yang jaya di atas umat yang lainnya.

Ini dikarenakan hadits palsu tersebut menjadi dinding bagi seorang muslim untuk beramar ma'ruf nahi mungkar, seorang muslim tidak lagi menegur saudaranya yang berbuat salah dalam syirik, kekufuran, dan bid'ah serta maksiat disebabkan meyakini hadits palsu tersebut. Karena mereka menganggap semua itu sebagai suatu perbedaan yang hakikatnya adalah rahmat, sehingga tidak perlu untuk ber-nahi munkar. Akibatnya, predikat ummat terbaik tidak lagi disandang oleh umat Islam, karena telah meninggalkan syaratnya yakni Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-'Imran ayat: 110 yang artinya: "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ."

4. Ancaman dan kecaman yang keras dari Nabi, karena berkata dengan mengatasnamakan Rasulullah secara dusta.

Rasulullah bersabda : "Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia siapkan tempat duduknya dari api neraka" [Riwayat Bukhari-Muslim].

Hendaklah takut orang-orang yang mengada-adakan perkataan dusta atas nama Rasulullah , demikian pula orang-orang yang menyebarkan dan mendongengkan kisah-kisah palsu dan lemah yang hanya muncul dari prasangka belaka yang padahal prasangka itu adalah seburuk-buruk perkataan.

5. Meninggalkan perintah Allah

Ini adalah efek lanjutan dari hadist palsu tesebut, karena ketika seseorang mentolelir perselisihan aqidah, halal dan haram, serta segala sesuatu yang telah tegas digariskan oleh dua wahyu, maka di saat yang sama ia telah meninggalkan perintah Allah untuk menuntaskan setiap perselisihan kepada Al-Qur'an, dan As-Sunnah. Sebagaimana Allah berfiman :
"Jika kamu berselisih pendapat maka kembali-kanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya" [An-Nisa:59]

6. Melemahkan kekuatan kaum Muslimin serta membuka jalan bagi orang-orang kafir untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Syaikh Ali Hasan dalam kitabnya "ushul bida" mengisyaratkan dampak buruk hadist tersebut yang dapat melemahkan kaum muslimin dan menjatuhkan kewibawaannya, karena jelas-jelas hadist palsu tersebut menebarkan benih-benih perpecahan di tubuh kaum Muslimin, sedangkan Allah berfirman : "Jangan kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang
kewibawaan kamu." [Al-Anfal: 46]

Ibnu mas'ud meriwayatkan : "Rasulullah membuat satu garis dengan tangannya lalu bersabda "ini jalan Allah yang lurus", lalu beliau membuat garis-garis dikanan kirinya, kemudian bersabda, "ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satupun dari jalan-jalan ini kecuali didalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya." Selanjutnya beliau membaca firman Allah , "dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia janganah mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa (Qs. Al-an'am153)". (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa'i).

Maraji':
- Ushul bida' [Syaikh Ali Hasan Ali Abdul hamid]
- Sifatush shalaty An-Naby [Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani] dan
sumber-sumber lainnya

Sumber : kebunhikmah