Rabu (27/7/2005) lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengumumkan temuan awalnya, bahwa dalam kasus penyerbuan Kampus Mubarak milik Ahmadiyah telah terjadi indikasi pelanggaran HAM. Seperti kita ketahui, belakangan ini, para pembela Ahmadiyah bendasarkan dirinya pada konsepsi HAM, bahwa setiap orang bebas memeluk agama apa saja dan menyebarkan agamanya.
Masalah HAM sudah lama menjadi perdebatan panjang di kalangan Muslim. Seyogyanya, kaum Muslim Indonesia juga mempunyai kesepakatan tentang hal ini. Apakah semua pasal dalam Piagam Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Right) itu dapat diterima oleh umat Islam.
Bagi yang mengimani Piagam ini, maka dia akan meletakkannya di atas Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Benar dan salah, diukur dengan ukuran Kitab Suci HAM ini.
Dengan kata lain, mereka menjadikan teks HAM lebih tinggi kedudukannya dari teks Kitab Suci umat Islam.
Pasal 18 Universal Declaration of Human Right menyatakan, “Setiap orang mempunyai hak untuk berpikir, berperasaan, dan beragama; hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktikkannya, menyembahnya, dan mengamalkannya.”
Sesuai dengan konsep ini, maka orang mau memeluk dan mengamalkan agama jenis agama apa saja harus dihormati dan diberi kebebasan. Tidak pandang apakah mereka sembahyang dengan telanjang atau berendam di kolam, saat tengah malam.
Bagaimana jika agama itu melecehkan agama lain? Apakah itu harus dibiarkan. Dan negara tidak boleh melarangnya?
Sebut saja misalnya, salah satu Kitab aliran Kebatinan di Indonesia, yang bernama “Darmogandul”, dalam salah satu bait Pangkur-nya menyatakan: “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Ada lagi ungkapan dalam Kitab itu: “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”
“Semua makanan dicela, umpamanya: masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing, panggang babi atau rusa, kodok dan tikus goreng.”
“Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar, bistik gembluk (babi hutan), semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih.”
“Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam.
"Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”
“Kalau bersetubuh dengan manusia tetapi tidak dengan pengesahan hakim, tindakannya dinamakan makruh. Tetapi kalau partnernya seekor anjing, tentu perkataan najis itu tidak ada lagi. Sebab kemanakah untuk mengesahkan perkawinan dengan anjing?”
Prof. Rasjidi, yang menerjemahkan naskah Darmogandul itu dari bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia, membuat ringkasan ajaran aliran ini.
Diantaranya:
(-) Menurut Darmogandul, yang penting dalam Islam bukan sembahyang, tetapi syahadat “sarengat”. “Sarengat” artinya: hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual itu penting sekali, sehingga empat kiblat juga berarti hubungan seksual.
(-) Darmogandul menafsirkan kata-kata pada ayat kedua dalam surat al-Baqarah sebagai berikut: “Zalikal” artinya “jika tidur, kemaluan bangkit”; “kitabu la” artinya “kemaluan-kemaluan laki-laki masuk secara tergesa-gesa ke dalam kemaluan perempuan”; “raiba fihi hudan” artinya “perempuan telanjang”; “lil muttaqin” artinya “kemaluan laki-laki berasa dalam kemaluan
perempuan”. (Dikutip dari buku “Perkembangan Kebatinan di Indonesia, karya Hamka, Bulan Bintang, 1971, hal. 22-23).
Begitulah ajaran salah satu aliran Kebatinan yang juga mengaku sebagai satu agama.
Sesuai konsep HAM tersebut, maka aliran seperti ini juga harus diberi kebebasan dan tidak boleh dilarang apalagi dihentikan penyebarannya secara paksa.
Siapa yang memaksa untuk menghentikan ajaran agama semacam ini, apalagi dengan menggunakan kekerasan, maka mereka akan dicap sebagai pelanggar HAM, dan dapat diproses ke pengadilan.
Pasal HAM tentang kebebasan beragama inilah, yang menurut tokoh Muhammadiyah, Prof. Dr. Hamka, harus ditolak oleh umat Islam. Secara khusus tentang masalah ini, Hamka menulis: “Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah “Islam statistik”.
"Saya seorang Islam yang sadar. Dan Islam saya pelajari dari sumbernya, yaitu Al-Quran dan Al- Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam tetapi syariatnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.”
Terhadap orang yang menerima konsep dalam HAM itu sebagai hal yang universal, Hamka mengingatkan, bahwa orang itu telah turut dengan sengaja menghancurkan ayat-ayat Allah dalam Al-Quran.
Kata Hamka: “Dengan demikian, Islamnya diragukan. Bagi umat Islam sendiri, kalau mereka biarkan penghancuran Islam yang diselundupkan di dalam bungkusan “Hak-hak Asasi
Manusia” ini lolos, berhentilah jadi Muslim, dan naikkanlah bendera putih, serahkanlah aqidah dan
keyakinan kepada golongan yang telah disinyalemen oleh ayat 217 Surat Al-Baqarah itu, bahwa mereka akan selalu memerangi kamu, kalau mereka sanggup, selama kamu belum juga murtad dari agama Islam.”
Dalam memandang masalah Ahmadiyah, seyogyanya yang harus diteliti pertama adalah ajaran dan status Ahmadiyah.
Dalam Munasnya ke-7 di Jakarta, MUI kembali menegaskan, bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang sesat dan menyesatkan, dan mendesak pemerintah agar menindak tegas paham tersebut.
Seperti ditegaskan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, masalah Ahmadiyah akan selesai, jika Ahmadiyah mengakui, bahwa mereka adalah kelompok atau aliran di luar Islam.
Selama mereka mengaku Islam, maka mereka akan terus menjadi masalah dan duri dalam daging umat Islam. Sebab, memang ada prinsip-prinsip aqidah yang berbeda antara Ahmadiyah dengan Islam.
Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dalam siaran pers-nya tanggal 27 Juli 2005, menjelaskan tentang perbedaan prinsip antara rukun iman Ahmadiyah dengan Islam. Meskipun mereka mengaku rukun imannya sama dengan rukun iman umat Islam, tetapi ada perbedaan prinsip dalam masalah kenabian dan kitab suci.
Selain beriman terhadap kenabian Muhammad saw, mereka juga mewajibkan manusia beriman kepada kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Yang tidak beriman kepada Ghulam Ahmad dikatakan sebagai sesat.
Untuk meyakinkan dan menakut-nakuti orang yang tidak percaya kepadanya, Ghulam Ahmad mengaku menerima wahyu-wahyu yang mengutuk orang-orang yang mengingkarinya.
Misalnya, pengakuannya, : “Dan dari sejumlah ilham-ilham itu, ada diantaranya yang didalamnya sejumlah ulama yang menentangku dinamakan Yahudi dan Nasrani.” (Mirza Ghulam Ahmad, Hamamat al-Bushra, hal. 19).
Dan katanya, “Maka barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima Imam yang ijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian jahiliyah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan.” (Mirza Ghulam Ahmad, Mawahib al-Rahman, hal. 38).
Ghulam Ahmad juga mengaku, “dan termasuk diantara tanda-tanda (kebenaran dakwahku) yang nampak dalam zaman ini ialah matinya orang-orang yang menentangku dan menyakitiku serta memusuhiku habis-habisan.”
Cendekiawan Muslim Pakistan, Dr. Moh. Iqbal pernah ditanya oleh Jawaharlal Nehru mengapa kaum Muslimin bersikap keras untuk memisahkan Ahmadiyah dari Islam?
Iqbal menjawab: “Ahmadiyah berkeinginan untuk membentuk dari umat nabi Arabi (Muhammad saw) satu ummat yang baru bagi nabi Hindi.”
Balitbang Depag RI, tahun 1995 menerbitkan hasil penelitiannya tentang Ahmadiyah, yang antara lain menyimpulkan: “Mirza Ghulam Ahmad mengaku telah menerima wahyu, dengan dengan wahyu itu dia diangkat sebagai Nabi, rasul, Almasih Mau’ud dan Imam Mahdi.
Ajaran dan faham yang dikembangkan oleh pengikut jemaat Ahmadiyah Indonesia khususnya terdapat penyimpangan dari ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan al-Hadits yang menjadi keyakinan umat Islam umumnya, antara lain tentang kenabian dan kerasulan Mirza Ghulam Ahmad sesudah Rasulullah saw.”
Rasyid Ridha, dalam Tafsir Almanar, Juz II, menyatakan: “Mereka (Ahmadiyah) itu ada dua golongan. Segolongan menyatakan (Mirza Ghulam Ahmad) al-Qadiyani adalah pembaharu dan bukannya nabi. Mereka ini ialah ahli bid’ah.
Segolongan lagi menyatakan bahwa ia adalah seorang (nabi) yang diberi wahyu oleh Allah. Mereka ini adalah orang-orang kafir, murtad.”
Didandingkan dengan Darmogandul, segi perusakan Ahmadiyah terhadap Islam tentulah lebih besar, meskipun bahasa yang digunakan lebih halus.
Karena itu, mestinya para pembela Ahmadiyah mengkaji kembali konsepnya tentang HAM, sebelum melakukan pembelaannya yang membabi buta terhadap semua agama atau aliran
yang merusak agama Islam.
Kaum Muslim juga punya hak untuk melindungi keyakinannya agar tidak dirusak.
Ibarat menanam sebuah pohon, maka sulit diterima akal sehat, jika petani membiarkan saja benalu parasit yang menempel dipohonnya. Wallahu a’lam. (Jakarta, 29 Juli 2005).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment