03 September 2005

Krisis Jilbab di Negara-Negara Barat
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..." (An Nuur: 31)


Jilbab merupakan salah satu masalah yang sering diperbincangkan di berbagai penjuru dunia. Akhir-akhir ini, di negara-negara Eropa, masalah ini sedang hangat diperbinncangkan. Perilaku kasar yang sering ditimpakan kepada para muslimah berjilbab di Barat, menimbulkan pertanyaan dalam benak kita, bagaimana mungkin Barat bisa mengklaim diri sebagai pusat demokrasi dan kebebasan? Beberapa waktu yang lalu, kontroversi mengenai izin penggunaan kerudung di tempat kerja oleh seorang warga imigran Jerman bernama Fereshte Lurdin telah berkepanjangan sehingga sampai ke pengadilan negara ini. Kepala sebuah sekolah di Jerman telah menghalangi Lurdin untuk mengajar di sekolah itu, dengan mengatakan bahwa kerudung dan pakaian Lurdin telah bertentangan dengan undang-undang pendidikan di negara itu.

Meskipun Dewan Tinggi UUD Jerman telah memberi izin kepada Fereshte Lurdin untuk mengajar dengan memakai pakaian Islami di sekolah negara bagian Boden Wertmburg, tetapi keputusan ini tidak menyelesaikan masalah para guru yang berjilbab negara-negara bagian lainnya. Dewan Tinggi UUD Federal Jerman menyebutkan bahwa masalah boleh atau tidaknya pemakaian jilbab bergantung kepada peraturan di setiap negara bagian.

Anti jilbab tidak saja terjadi di Jerman, melainkan juga di negara-negara lain, seperti Perancis, Amerika, Inggeris dan Turki. Masalah ini menjadi kontroversi di media massa, sekolah, tempat kerja, dan khususnya di antara para politikus. Sebagian dari pemerintahan negara-negara Barat menganggap jilbab sebagai simbol politik. Tetapi, apakah sesungguhnya jilbab itu memang sebuah simbol politik? Para cendikiawan Islam menjelaskan tentang falsafah jilbab, yaitu kaum perempuan dengan menutup tubuhnya ketika di tengah kaum lelaki yang bukan muhrimnya, akan terhindar dari tatapan kaum lelaki. Dengan demikian, kaum perempuan akan aman dari gangguan dan sebaliknya, kaum lelaki juga akan terbebas dari pameran tubuh perempuan yang bukan muhrimnya. Dengan kata lain, Islam ingin mengontrol dan membatasi pelampiasan nafsu dalam lingkungan keluarga dan dalam kerangka perkawinan yang legal. Pakaian yang benar, menyebabkan wanita dan lelaki terhindar dari daya tarik seksual serta mewujudkan lingkungan yang sehat untuk bekerja dan beraktivitas. Dari pandangan ini, ajaran jilbab dalam Islam berfungsi untuk menghindari kebobrokan moral dan meningkatkan kemampuan yang hakiki dari perempuan dan lelaki.

Sebaliknya, hubungan tanpa batas antara perempuan dan lelaki akan mengancam keselamatan masyarakat. Akibatnya, kaum muda tidak lagi menginginkan untuk membentuk keluarga yang sehat. Hubungan tanpa batas serta kebobrokan moral akan berkembang luas. Penyakit-penyakit akibat seks bebas akan menyebar. Tatanan sosial pun akan rusak karena banyak bayi-bayi lahir tanpa ayah yang jelas. Masa depan mereka akan suram. Demikianlah seterusnya, masalah-masalah akan terus bermunculan silih berganti akibat ketiadaan jilbab ini. Karena mulianya fungsi jilbab Islam yang meninggikan derajat perempuan ini, Ludmila Eviva, seorang penyair dan orientalis terkenal Rusia, menganggap bahwa sikap anti jilbab merupakan langkah bodoh terhadap perempuan. Ia berkata, "Jilbab merupakan sarana untuk melindungi perempuan dalam berhadapan dengan para pengejar nafsu yang ingin menjadikan perempuan sebagai barang konsumsi. Pakaian Islam ini dihiasi dengan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Oleh karena itu, pakaian ini amatlah baik bagi perempuan."

Eviva menyebutkan, anggapan bahwa jilbab bertentangan dengan kehidupan sosial perempuan adalah pemikiran yang salah. Ia berkata, "Pakaian yang sesuai tidak akan menghalangi aktivitas dan pekerjaan wanita dalam masyarakat. Sebagaimana yang kita lihat, kaum perempuan Iran yang berjilbab mampu membesarkan anak-anak yang sehat, bekerja di berbagai bidang, bahkan aktif di politik. Mereka tidak saja memelihara kemuliaan diri sendiri, melainkan menjaga kemuliaan masyarakatnya. Dengan berjilbab, mereka hadir dalam semua lapangan sosial dan politik dengan sukses."
Realitas menunjukkan bahwa umat Islam yang tinggal sebagai warga minoritas di negara-negara Barat berhadapan dengan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Pelarangan berjilbab merupakan salah satu contoh nyata dari masalah ini. Barbara John yang merupakan penasehat pemerintah Jerman selama 23 tahun dalam urusan imigran asing berkata, "Masalah pelanggaran hak di Jerman menyebabkan muslimah kurang sekali mendapat pekerjaan dan terpaksa berhenti dari sekolah. Pelarangan mengenakan kerudung merupakan sebuah diskriminasi dan penetapan batas dalam urusan ini merupakan satu kesalahan. Pelarangan kerudung telah mengancam kebebasan wanita dan hal ini hanya akan memperumit masalah."

Salah seorang pakar Islam yang tinggal di Jerman bernama Yauuz Ovzgur, dalam pandangannya mengenai masalah ini, berkata, "Dalam sebuah masyarakat yang menerima homosexual secara resmi atas alasan kebebasan, mengapa justru menghalangi orang-orang yang beriman dan ingin mengamalkan keimanan mereka itu? Pejabat legislatif Jerman harus melakukan perubahan mendasar untuk menghalangi terjadinya perilaku diskriminatif ini." Pada bulan Oktober 1989, ketika tiga anak perempuan muslim Perancis dikeluarkan dari sekolah, Laila Sabbar, seorang penulis perempuan Aljazair, mengemukakan satu pertanyaan mudah, "Mengapa orang-orang yang berkuasa tidak bisa menerima beberapa anak perempuan yang mengenakan kerudung karena kepercayaan bahwa hal itu diwajibkan dalam ajaran agama mereka? Bukankah kerudung tersebut sama saja dengan syal atau selendang yang dipakai oleh anak-anak perempuan lain?"

Agaknya, yang dikhawatirkan oleh para penguasa negara-negara Barat mengenai jilbab ialah pengaruhnya terhadap kaum perempuan di negara-negara ini. Berdasarkan kepada berbagai data statistik, terdapat 3 hingga 5 juta umat Islam yang tinggal di Jerman dan ada lebih dari 70 masjid di ibu kota negara ini yang setiap harinya mengumandangkan gema tauhid. Para politikus Barat khawatir, kaum perempuan Barat akan tertarik kepada Islam karena budaya agama ini yang bersih, mulia, dan menentramkan jiwa. Budaya Islam ini, salah satunya ditampilkan secara sempurna oleh jilbab, pakaian yang memancarkan kemuliaan kaum perempuan muslim. Para politisi barat khawatir, kaum perempuan mereka yang telah menyaksikan dan merasakan dampak buruk dari kebobrokan moral dan hubungan seksual tanpa batas di Barat, akan cenderung untuk menerima Islam.

sumber: http://www.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/perempuan/jilbab_barat.htm


No comments: