23 November 2004
1. Menutup aurat secara sempurna hukumnya adalah wajib. Sedangkan aurat muslimah yang wajib ditutup adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Dalam kondisi sekarang dimana tidak ada lagi larangan menutup aurat /memakai jilbab di kantor-kantor atau kampus maka tidak ada darurat untuk membuka aurat.
2. Wanita bekerja hukumnya boleh dengan catatan memperhatikan dan menjaga batas-batas atau adab Islam, yaitu tidak ikhtilath (berbaur antara lelaki dan perempuan), tidak membuka aurat, tidak kholwah (berdua dengan lelaki) dan terhindar dari fitnah.
3. Dalam kondisi normal, yang seharusnya tampil didepan umum yang terdiri dari kaum lelaki dan kaum wanita adalah orang laki-laki. Dalam kondisi tertentu, yakni adanya kebutuhan obyektif baik dalam sekala umum atau dalam ruang lingkup khusus dan tidak ada yang dapat melakukannya selain wanita yang bersangkutan , ia boleh tampil didepan umum untuk menyampaikan da'wah atau memberikan pelajaran dengan memperhatian ketentuan-ketentuan Islam, yaitu :
· Mengenakan Pakaian yang Menutup Aurat
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-oarang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”(QS Al Ahzaab 27 ).
· Tidak Tabarruj atau Memamerkan Perhiasan dan Kecantikan
Artinya:” Janganlah memamerkan perhiasan seperti orang jahiliyah yang pertama” (QS Al Ahzaab33 )
· Tidak Melunakkan , Memerdukan atau Mendesahkan Suara
"Janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melunakkan dan memerdukan suara atau sikap yang sejenis) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS Al Ahzaab32 ).
· Menjaga Pandangan.
"Katakanlah pada orang-orang laki-laki beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya,dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya ........"(QS An Nuur30 -31)
· Aman dari Fitnah .
Hal ini sudah merupakan ijma' ulama.
Lebaran kali ini kembali aku menyusuri jalanan ke kampung halamanku. Terasa sepi. Yah pagi kemaren 13 November 2004 aku terhempas dalam sesaknya kereta Purwojaya jurusan Cilacap bersama seorang teman. Cowok tapi hehehe... Sesaknya penumpang mudik tetap tak mengubah sunyinya hati ini. Hambar... Tarbiyah Ramadhan kemaren sepertinya hanya berlalu begitu saja dalam diri ini. Entah mengapa? Walau mungkin sepertinya meningkat tetapi tetap saja hati ini merasa...ahh...aku sendiri bingung.
Pas saat adzan maghrib berkumandang aku telah berada di wilayah Purworejo, segera kubatalkan puasaku. Ada perasaan sedikit senang dalam hati, aku akan berjumap dengan keluarga tercintaku bapak, mamak, mbah putri de el el. Adikku ngga pulang lebaran ini mungkin dia sedang dapat tugas jaga di tempat kerjanya.
Shalat 'Id aku bertemu dengan teman-teman kampungku semuanya sekarang sudah berubah setidaknya sudah lebih baik ngga seperti sebelum-sebelumnya. Mereka sebagian sudah berkeluarga bahkan yang umurnya di bawahku... aku jadi kadang malu sendiri hihihi...
Namun it's ok, doesn't really matter for me. Mungkin memang belum saatnya bagiku atau mungkin memang aku yang belum "benar-benar siap" entahlah...
Lima hari disana belum cukup membuat hatiku tenang kembali aku tetap dalam kesunyian hati ngga tau nigh........ Please some body help me!!!
10 November 2004
Banyak wanita di jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah
Ukhti Muslimah….
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu.
Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan: “Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda : “Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).
Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434)
Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan ber-tashbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Ucapan tashbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita”. (HR. Al Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)
Demikian pula dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras. Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula.
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/491).
Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya.
Suara wanita di radio dan telepon
Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung?”
Asy Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita.”
Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.
Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah berlezat-lezat (menikmati) suara tersebut atau terus-menerus berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya.
Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al Mar‘ah Al Muslimah, 1/433-434).
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al Mar`ah, 1/435)
Laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya
Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini?
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab: ”Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang pinangannya (khitbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata mereka- sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: “Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ?
(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin oleh Ummu Ishaq Al Atsariyah dan Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim).
09 November 2004
Setelah kita mengetahui bahwa pendapat yang kuat dalam masalah hadits dhaif adalah tidak boleh dipakai sekalipun dalam fadlailul a'mal dan seandainya diperbolehkan harus dipenuhi syarat-syarat tersebut. Maka pada pembahasan terakhir ini kita akan menukil beberapa hadits lemah yang diucapkan para khatib dan diamalkan di bulan Ramadhan dari kitab Sifat Shaum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadlan karya Syaikh Salim Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hal. 109-113. Beliau berdua menyebutkan beberapa hadits beserta penilaiannya.
”… Seandainya hamba-hamba itu mengetahui apa yang ada di bulan Ramadlan niscaya umatku berangan-angan agar Ramadlan setahun penuh. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadlan dari ujung tahun ke tahun berikutnya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1886, Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudlu'at 2/188-189, Abu Ya'la dalam Musnadnya sebagaimana di dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah (qaf 46/alif-ba/naskah manuskrip) dari jalan Jarir bin Ayub Al-Bajali dari Sya'bi dari Nafi' bin Bardah dari Abu Mas'ud Al-Ghifari).
Hadits ini maudlu', cacatnya pada Jarir bin Ayyub. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Lisanul Mizan (2/101) dan berkata: "Dia terkenal dengan kelemahannya." Kemudian Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Nu'aim tentang dia: "Dia pemalsu hadits," sedang dari Bukhari: "Dia meriwayatkan hadits mungkar" dan dari Nasai: "Dia matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)!! Ibnul Jauzi menghukumi dia sering memalsukan hadits.
”Wahai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada bulan itu sebagai kewajiban dan shalat malam sebagai sunnah. Barangsiapa bertaqarub di dalamnya dengan satu kebaikan, maka dia seperti menunaikan suatu kewajiban pada bulan lain... Ramadlan adalah bulan awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya adalah kemerdekaan dari api neraka..." Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1887, Al-Muhamili dalam Amalinya no. 293, Al-Ashbahani dalam At-Targhib (qaf/178, ba'/naskah manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid bin Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.
Sanad hadits ini lemah, karena kelemahan Ali bin Zaid. Ibnu Sa'ad berkata: "Dia (Ali bin Zaid) lemah, tidak dapat dijadikan hujah." Ahmad bin Hanbal berkata: "Dia tidak kuat." Ibnu Ma'in berkata: "Dia dlaif." Ibnu Abi Haitsamah berkata: "Dia dlaif dalam segala hal." Ibnu Khuzaimah berkata: "Aku tidak berhujah dengannya karena hapalannya jelek." Demikian dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323). Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits tersebut, dengan ucapan: "Jika hadits ini shahih." Ibnu Hajar berkata dalam Al-Athraf: "Tidak diperselisihkan tentang Ali bin Zaid bin Jad'an, dia adalah dlaif. Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya (Abu Hatim) di dalam I'lalul Hadits 1/249): "Hadits ini mungkar."
“Puasalah kalian, niscaya kalian sehat.”
Ini adalah potongan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam Al-Kamil 7/2521 dari jalan Nahsyal bin Said dari Ad-Dlahhak dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma. Nahsyal adalah matruk, dia berdusta dan Ad-Dlahhak tidak mendengar langsung dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma. Diriwayatkan pula oleh At-Thabrani dalam Al-Ausath (1/qaf – 69/alif – Majma'ul Bahrain). Demikian pula Ibnu Bukhait dalam Juz'unya sebagaimana dalam Syarhul Ihya' 7/401 dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abu Shalih dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu.
Sanad hadits ini lemah. Abu Bakar Al-Atsram berkata: "Aku mendengar Ahmad berkata: "Mereka (orang-orang Syam) meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Zuhair." Abu Hatim berkata: "Hapalan Zuhair jelek. Haditsnya ketika di Syam lebih munkar daripada haditsnya di Irak karena hapalannya jelek." Al Ajali berkata: "Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh penduduk Syam darinya tidak menakjubkan aku." Demikian dalam Tahdzibul Kamal 9/417.
Aku (Syaikh Ali) katakan bahwa Muhammad bin Sulaiman adalah penduduk Syam. Biografinya terdapat dalam Tarikh Dimasyk 15/qaf 386 – naskah manuskrip). Riwayatnya dari Zuhair –sebagaimana ditegaskan oleh para imam- adalah munkar. Di antaranya adalah hadits ini.
”Barangsiapa membatalkan (puasanya) satu hari dari bulan Ramadlan tanpa udzur dan sakit, maka tidak dapat diqadla` walaupun dia puasa sepanjang tahun.”
Hadits ini disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya (4/160 – Fathul Bari) secara mu'alaq tanpa sanad. Disebutkan sanad-sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1987, Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, Nasai dalam Al-Kubra, sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 10/373, Al-Baihaqi 4/228, Ibnu Hajar dalam Ta'liqut Ta'liq 3/170 dari jalan Abul Muthawwis dari ayahnya dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 4/161: "Hadits ini banyak diperselisihkan pada Habib bin Abi Tsabit. Sehingga hadits ini memiliki tiga 'ilat (cacat), yaitu: idltirab (sanadnya goncang), keadaan Abul Muthawis majhul (tidak dikenal), Abul Muthawwis mendengar dari ayahnya dari Abu Hurairah diragukan. Ibnu Khuzaimah setelah meriwayatkan hadits ini berkata dengan ucapan: "Aku tidak mengetahui siapa Ibnul Muthawis dan ayahnya." Sehingga hadits ini juga dlaif.
(Dinukil dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M rubrik Mabhats, penulis ustadz Azhari Asri (murid syaikh Yahya al Hajuri dan syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah). http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=30)
Sungguh, baiknya umat Islam hanyalah dapat diraih dengan cara kembali kepada ajaran Islam yang lurus itu sendiri. Baik dalam permasalahan aqidah, metode pengajaran maupun aturan kehidupan. Ajaran Islam seharusnya dipraktikkan dalam seluruh aspek kehidupan, kemasyarakatan, ekonomi maupun politik. Asas dari seluruh elemen masyarakat adalah sebuah keluarga muslim. Pembinaan (Tarbiyah) keluarga muslim berujud pendidikan Islam dan pelaksana utama dari pendidikan ini adalah seorang ibu muslimah. Tegaknya sebuah keluarga muslim memberikan andil yang sangat besar bagi terlaksananya dakwah islamiyah. Islam sendiri memberikan tanggung jawab yang begitu agung kepada keluarga baik dia seorang ayah maupun ibu untuk memberikan pendidikan, pengetahuan, dakwah dan bimbingan kepada anggota keluarga. Pembinaan yang demikian inilah yang akan menyelamatkan dan memberikan penjagaan kepada diri dan keluarga sebagaimana perintah Allah :
"Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka" (QS At Tahrim:6 )
Mengomentari hal ini Imam ali r.a. dan Ibnu Abbas menyatakan "berikan pendidikan, ajarilah dengan ketaatan kepada Allah, serta takutlah dari kemaksiatan. Didiklah anggota keluargamu dengan dzikir yang akan menyelamatkan dari api neraka" ( Ibnu Katheer & At tabari).
Berkaitan dengan tanggung jawab keluarga muslimah ini Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam menerangkan secara umum tanggung jawab seorang pemimpin. "Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian. Pemimpin di antara manusia dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dalam rumah tangga serta anak-anak suaminya dan dia akan ditanya tentang mereka. Budak/ pembantu adalah pemimpin dari harta tuannya dan dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang tentang kepemimpinannya" (HR Bukhari)
Tanggung jawab yang disinggung pada hadits di atas bersifat umum dan menyeluruh. Tanggung jawab seorang suami tidaklah hanya sebatas memenuhi kebutuhan materi saja , demikian halnya dengan seorang isteri. Ia tidaklah hanya bertanggung jawab terhadap kebersihan rumah, atau menyiapkan makanan semata. Akan tetapi keduanya dari kedudukan yang berbeda mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan keimanan keluarga termasuk di dalamnya tanggung jawab dakwah.
Al Quran dan al Hadits sumber pedoman kita menegaskan tanggung jawab kedua orang tua dalam aktivitas keluarga dan pengaruhnya terhadap anak. Seorang isteri memiliki tanggung jawab yan berbeda dengan dengan suami. Dan ia adalah pemimpin sebagaimana yang disinggung dalam hadits di atas. Secara nyata tanggung jawab seorang isteri terhadap rumah tangga dan anak-anak suaminya sangatlah luas. Panjangnya kebersamaan seorang ibu dengan anak secara otomatis memberikan warna tersendiri bagi perkembangan pendidikan fisik maupun mental dari sang anak.
Apabila kita timbang tanggung jawab seorang suami dengan seorang isteri maka akan kita dapatkan bahwa tanggung jawab seorang isteri sangatlah besar. Karena dialah yang melahirkan sang anak, menyusuinya, dan menemani serta mendidik anak dari jam ke jam, hari ke hari. Bahkan ketika seorang anak masih balita, kemudian menginjak remaja dan menjelang dewasa, di dalam rumah maupun di luar rumah sang ibu senantiasa mewarnai bentuk kehidupan sang anak. Hingga mungkin sang ayah telah tiada maka ibulah yang tetap mendampingi putranya untuk menyongsong masa depan. Inilah hikmah diperintahkannya wanita untuk berada di rumahnya.
"Dan hendaknya kalian tinggal di rumah-rumah kalian" ( QS Al Ahzab : 33)
04 November 2004
“Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
“ Aku berkata : Ya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda : jangan menjadi pemarah. Maka berkata seseorang : maka aku pikirkan apa yang beliau sabdakan, ternyata pada sifat pemarah itu terkumpul seluruh kejelekan.” (HR. Imam Ahmad)
“Jangan menjadi pemarah.” Ini mengandung dua kemungkinan maksud :
- Hadits ini mengandung perintah melakukan sebab-sebab yang menjadikan akhlak yang mulia seperti bersikap lembut, pemalu, tidak suka mengganggu, pemaaf, tidak mudah marah.
- Hadits ini mengandung larangan melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan, mengandung perintah agar sekuat tenaga menahan marah ketika timbul / berhadapan dengan penyebabnya sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari efek negatif sifat pemarah.
03 November 2004
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي عَنِ
النَّارِ، قَالَ : لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلىَ مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ : تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ، ثُمَّ قَالَ : أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ، ثُمَّ قَالَ : تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ.. –حَتَّى بَلَغَ- يَعْمَلُوْنَُ ثمَّ قَالَ : أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ وُعَمُوْدِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ فَقُلْتُ : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ . فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالِ : كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمَ بِهِ ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَهَلْ يَكُبَّ النَاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ –أَوْ قَالَ : عَلىَ مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ [رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Dari Mu’az bin Jabal radhiallahuanhu dia berkata : Saya berkata : Ya Rasulullah, beritahukan saya tentang perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga dan menjauhkan saya dari neraka, beliau bersabda: Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, dan perkara tersebut mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah ta’ala, : Beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya sedikitpun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji. Kemudian beliau (Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam) bersabda: Maukah engkau aku beritahukan tentang pintu-pintu syurga ?; Puasa adalah benteng, Sodaqoh akan mematikan (menghapus) kesalahan sebagaimana air mematikan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam (qiyamullail), kemudian beliau membacakan ayat (yang artinya) : “ Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya….”. Kemudian beliau bersabda: Maukah kalian aku beritahukan pokok dari segala perkara, tiangnya dan puncaknya ?, aku menjawab : Mau ya Nabi Allah. Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah Jihad. Kemudian beliau bersabda : Maukah kalian aku beritahukan sesuatu (yang jika kalian laksanakan) kalian dapat memiliki semua itu ?, saya berkata : Mau ya Rasulullah. Maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda: Jagalah ini (dari perkataan kotor/buruk). Saya berkata: Ya Nabi Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan ?, beliau bersabda: Ah kamu ini, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkel wajahnya di neraka –atau sabda beliau : diatas hidungnya- selain buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka .
(Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shaheh)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
- Perhatian shahabat yang sangat besar untuk mela-kukan amal yang dapat memasukkan mereka ke syurga.
- Amal perbuatan merupakan sebab masuk syurga jika Allah menerimanya dan hal ini tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam “Tidak masuk syurga setiap kalian dengan amalnya ”. Makna hadits tersebut adalah bahwa amal dengan sendirinya tidak berhak memasukkan seseorang ke syurga selama Allah belum menerimanya dengan karunia-Nya dan Rahmat-Nya.
- Mentauhidkan Allah dan menunaikan kewajibannya adalah sebab masuknya seseorang kedalam syurga.
- Shalat sunnah setelah shalat fardhu merupakan sebab kecintaan Allah ta’ala kepada hambanya.
- Bahaya lisan dan perbuatannya akan dibalas dan bahwa dia dan mencampakkan seseorang ke neraka karena ucapannya.
02 November 2004
CINTA
Mereka yang bermain dengannya, menyebutnya sebuah permainan,
Mereka yang tidak memilikinya, menyebutnya sebuah impian,
Mereka yang saling mencintai, menyebutnya takdir.
Kadang Tuhan yang mengetahui yang terbaik, akan memberi kita kesusahan untuk menguji.
Kadang Ia pun melukai hati, supaya hikmat-Nya bisa tertanam dalam.
Jika kita kehilangan cinta, maka pasti ada alasan di baliknya.
Alasan yang kadang sulit untuk dimengerti, namun kita tetap harus percaya bahwa ketika Ia mengambil sesuatu, Ia telah siap memberi yang lebih baik.
Mengapa menunggu?
Karena walaupun kita ingin mengambil satu keputusan, kita tidak ingin tergesa-gesa.
Karena walaupun kita ingin cepat-cepat, kita tidak ingin sembrono.
Jika ingin berlari, belajarlah berjalan duhulu.
Jika ingin berenang, belajarlah mengapung dahulu.
Jika ingin dicintai, belajarlah mencintai dahulu.
Pada akhirnya, lebih baik menunggu orang yang kita inginkan, ketimbang memilih apa yang ada.
Tetap lebih baik menunggu orang yang kita cintai, ketimbang memuaskan iri dengan apa yang ada.
Tetap lebih baik menunggu orang yang tepat. Karena hidup ini terlampau singkat untuk dilewatkan bersama pilihan yang salah, karena menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius.
Bunga tidak mekar dalam waktu semalam, kota Roma tidak dibangun dalam sehari.
Kehidupan dirajut dalam rahim selama sembilan bulan.
Cinta yang agung terus bertumbuh selama kehidupan.
Kebanyakan hal yang indah dalam hidup memerlukan waktu yang lama, dan penantian kita tidaklah sia-sia.
Walaupun menunggu membutuhkan banya hal, iman, keberanian, dan pengharapan penantian menjanjikan satu hal yang tidak dapat seorangpun bayangkan. Pada akhirnya, Tuhan dalam segala hikmat-Nya, meminta kita menunggu, karena alasan yang penting.
Hitam Putih
putih, hitam dan kembali putih
hitam, putih dan kembali hitam
ada hitam yang selamanya hitam
ada putih yang selamanya putih
tak akan bersatu hitam dan putih
karena hitam adalah hitam...
dan putih adalah putih...
namun....
bukan berarti hitam tidak dapat berubah putih
dan bukan berarti putih tidak dapat berubah hitam
karena hitam dan putih tergantung hati....
pernah putih, hitam dan kembali putih