11 January 2005



Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Seorang nenek yang merasa iba melihat kehidupannya membantunya dengan membuatkan sebuah pondok kecil dan memberinya makan, sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang.

Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan seorang wanita cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada wanita itu, ''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan sekarang'?''

Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu keluar dari pondoknya.

Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek menjadi marah. ''Percuma saya memberi makan orang itu selama 20 tahun,'' serunya. ''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu, tidak bersedia untuk membantumu ke luar dari kesalahanmu. Ia tidak perlu menyerah pada nafsu, namun sekurang-kurangnya setelah sekian lama beribadah seharusnya ia memiliki rasa kasih pada sesama.''

Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada kesenjangan yang cukup besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang luhur. Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang.

Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan disini. Anda pasti sudah sering mendengar cerita mengenai guru mengaji yang suka memperkosa muridnya. Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di PHK dari kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang berjilbab rapih ternyata suka berselingkuh. Kawan yang lain sangat rajin ikut pengajian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang lain. Adapula kawan yang berkali-kali menunaikan haji dan umrah tetapi terus melakukan korupsi di kantornya.

Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira persoalan utamanya adalah pada kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya membaca) Alquran. Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama justru pada budi pekerti yang mulia.

Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum (outside-in), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen (inside-out). Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of thinking).

Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia. Kita tidak beribadah karena surga dan neraka tetapi karena kita lapar secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan yang jahat.

Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya bersekolah di London dulu. Kali ini berkaitan dengan polisi. Berbeda dengan di Indonesia, bertemu dengan polisi disana akan membuat perasaan kita aman dan tenteram. Bahkan masyarakat Inggris memanggil polisi dengan panggilan kesayangan: Bobby.

Suatu ketika dompet saya yang berisi surat-surat penting dan sejumlah uang hilang. Kemungkinan tertinggal di dalam taksi. Ini tentu membuat saya agak panik, apalagi hal itu terjadi pada hari-hari pertama saya tinggal di London. Tapi setelah memblokir kartu kredit dan sebagainya, sayapun perlahan-lahan melupakan kejadian tersebut. Yang menarik, beberapa hari kemudian, keluarga saya di Jakarta menerima surat dari kepolisian London yang menyatakan bahwa saya dapat mengambil dompet tersebut di kantor kepolisian setempat.

Ketika datang kesana, saya dilayani dengan ramah. Polisi memberikan dompet yang ternyata isinya masih lengkap. Ia juga memberikan kuitansi resmi berisi biaya yang harus saya bayar sekitar 2,5 pound. Saking gembiranya, saya memberikan selembar uang 5 pound sambil mengatakan, ''Ambil saja kembalinya.'' Anehnya, si polisi hanya tersenyum dan memberikan uang kembalinya kepada saya seraya mengatakan bahwa itu bukan haknya. Sebelum saya pergi, ia bahkan meminta saya untuk mengecek dompet itu baik-baik seraya mengatakan bahwa kalau ada barang yang hilang ia bersedia membantu saya untuk menemukannya.

Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi luhur. Karena itu orang yang ''beragama'' seharusnya juga menjadi orang yang baik. Itu semua ditunjukkan dengan integritas dan kejujuran yang tinggi serta kemauan untuk menolong dan melayani sesama manusia.

Kepemimpinan
Oleh: Arvan Pradiansyah, direktur pengelola Institute for Leadership & Life Management (ILM) & penulis buku Life is Beautiful
e-mail: kepemimpinan_probis@yahoo.com

faksimile: 021-7983623

1 comment:

Anonymous said...

saya setuju dengan kalimat kalimat yang diceritakan setelah cerita tentang khayalan yang sebelumnya diceritakan terlebih dahulu sebagai pembuka.
sepertinya di sini ada hal yang kurang enak, seolah orang yang taat beribadah itu tidak punya budi pekerti yang baik. tentu saja maksudnya tidak seperti itu tapi ada penggambaran ke arah seperti itu.ini berbahaya dan bisa merubah opini pubik. seperti yang terlihat sekarang, ada orang yang kurang berfikir orang mengambil keputusan untuk tidak beribadah karena melihat perilaku orang yang taat beibadah tapi berprilaku salah. lebih baik berprilaku baik walaupun tidak pernah beribadah. logika rusak yang sedang digembar gemborkan oleh orang-orang yang menghendaki kerusakan dan kehancuran.sayangnya secara tidak
sadar kita menjadi bagian dari publikasi mereka.
orang yang solat saja bisa terjerumus apalagi yang tidak solat?orang taat beribadah saja bisa berbuat kesalahan, apalagi orang yang tidak beribadah.
kalau orang yang diceritakan dalam cerita khayalan itu memang berniat untuk benar beribadah tentu saja ia akan mencontoh rosulullah.ia akan beribadah dan bekerja menghidupi dirinya. dan kalau nenek itu benar berniat baik maka untuk apa menguji dengan perbuatan yang tidak baik seperti itu? nenek khayalan tersebut perlu dipertanyakan apa maksud sebenarnya? kemudian apa ada wanita beriman yang mau disuruh memeluk orang yang bukan muhrimnya? apakah nenek khayalan tersebut memerintahkan keburukan untuk menguji kebaikan seseorang? sebenarnya siapkah yang patut dinilai tidak baik dalam cerita khayalan ini??kalau nenek itu tidak iseng meminta wanita malang untuk berbuat dosa untuk dirinya maka laki-laki itu tidak akan mengusir wanita malang tadi, kalau
laki-laki ini benar berniat mendedikasikan hidupnya untuk ibadah maka dia akan melakukan
banyak perbuatan baik dan membantu banyak orang bukan hanya duduk diam dan beribadah saja.
semoga ini menjadi pelajaran bagi kita bersama. cerita khayalan seperti ini semoga bisa kita
sikapi dengan cara yang lebih bijak. wass