Asal Usul Gagasan Pluralisme Agama
Oleh: M. Ainul Yaqin,
Sumber: sidogiri online
Beberapa waktu lalu Majelis Ulama Indonesia membuat ketetapan fatwa yang salah satunya mengharamkan paham pluralisme agama. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dipahami makna sebenarnya pluralisme agama tersebut. Hal ini penting karena banyak orang yang latah menggunakan istilah tersebut tanpa memahami maknanya, bahkan ikut-ikutan lantang mengkritik fatwa MUI. Akibat kelatahan dan ketidaktelitian itu pula banyak orang yang rancu menempatkan antara istilah pluralisme agama dengan toleransi beragama.
Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Satu contoh kerancuan antara lain terdapat dalam artikel Aan Najib Mustafa dalam majalah Aula No. 11 tahun XXV, Nopember 2003 yang berjudul Problematika Murtad dan Kebebasan Beragama dalam Islam. Dalam artikel tersebut disebutkan “Konsep murtad dalam Islam menyiratkan paradoks. Akankah Islam yang bervisi pluralis, yakni memberikan ruang bagi kebebasan beragama secara luas kepada umat Islam, menghukum mati Muslim yang berpindah agama. Paradoks ini perlu dibongkar secara luas untuk menjaga semangat pluralisme dalam Islam. Hal ini disebabkan pluralisme membutuhkan kebebasan memilih dalam beragama bagi setiap orang dan menolak kebenaran tunggal hanya dalam agama tertentu saja, misalnya Islam”.
Tampak dalam tulisan tersebut adanya kerancuan antara pengertian pluralisme dan toleransi. Istilah pluralisme yang secara sederhana diartikan sebagai paham yang menolak klaim kebenaran dari suatu agama tertentu dipahami secara rancu dengan istilah toleransi beragama yang berarti pengakuan adanya keragaman agama (pluralitas agama) dan menghormati adanya keragaman itu. Tapi aneh sekali dalam artikel tersebut disitir surat al-Baqoroh ayat 256 dan surat al-Ma’uun ayat 7 untuk menjustifikasi adanya konsep pluralisme agama dalam Islam. Padahal dalam ayat tersebut secara jelas terdapat pengingkaran terhadap gagasan pluralisme agama. Surat al-Baqoroh ayat 256 menyebutkan “Laa ikraaha fi ad-diin” yang artinya tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama (Islam). Dapat diartikan sebagai sebuah pengakuan terhadap adanya pluralitas agama. Dengan kata lain Islam mengakui eksistensi agama lain. Tetapi, tidak berarti membenarkan terhadap ajaran agama lain karena dalam ayat tersebut dilanjutkan dengan “qod tabayyana ar-rusydu mina al-ghay”.....dan seterusnya (Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Maka barangsiapa yang mengingkari kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
Jelas sekali dalam ayat ini menunjukkan adanya klaim kebenaran yaitu Islam, selain Islam salah dan dianggap sebagai beriman kepada Thaghut, dengan demikian sangat berbeda secara diametral dengan konsep pluralisme agama yang intinya menolak klaim kebenaran dari suatu agama tertentu termasuk Islam. Prof. Dr. Muh Zuhri staf pengajar Universitas Muhammadiyah Solo (UMS) dalam sebuah makalahnya yang disampaikan dalam seminar nasional bertajuk Pemikiran Islam Muhammadiyah Respon Terhadap Fenomena Liberalisme Islam pada 1-2 Maret 2004 lalu di kampus UMS, melakukan sesuatu yang tak kalah rancunya dalam memahami pluralisme agama. Ia menuliskan sebagai berikut: “Inti pluralisme adalah sebuah paham yang toleran terhadap pihak lain yang tampil beda. Di sini merasa harmonis berdampingan, bertetangga, berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda menjadi penting. Malahan, bekerjasama dan saling menolong untuk tampil bersama merupakan wujud pluralisme yang ideal.” Dalam kesimpulan makalah tersebut ia juga menuliskan: “Pluralitas adalah fitrah yang tidak dapat dihindari.”
Di sini terlihat adanya kerancuan dalam memahami dua istilah yang sebenarnya sangat berbeda secara konsepsual ini. Untuk memahami lebih lengkap pengertian pluralisme agama patut kiranya memperhatikan uraian John Hick dalam Encyclopedia of Religions yang terjemahannya sebagai berikut: “Secara filosofis terminologi pluralisme agama merujuk pada suatu teori hubungan antara agama-agama dengan segala perbedaan dan pertentangan klaim-klaim mereka. Teori ini menyatakan bahwa agama-agama besar di dunia mengandung konsep-konsep, persepsi-persepsi varian dari dan merupakan respon terhadap Yang Asal yaitu realita ketuhanan yang misterius. Pluralisme eksplisit menerima posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklisivisme; yaitu suatu pandangan bahwa agama-agama besar mewujudkan persepsi dan konsepsi yang berbeda-beda tentang, dan secara bersama memiliki respon yang berbeda terhadap The Real (Yang Ada) atau The Ultimate, dan bahwa di dalam masing-masing agama itu sendiri secara terpisah merupakan trasnsformasi eksistensi manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan realitas sedang terjadi. Dengan demikian tradisi agama-agama besar dianggap sebagai tempat alternatif menuju zat Yang Wujud di mana manusia dapat menemukan keselamatan, pembebasan, dan pemenuhan”.
Beberapa penjelasan lain tentang pengertian pluralisme agama memberikan pengertian kurang lebih sama dengan yang disebutkan oleh John Hick antara lain Jonh Cobb Jr menyebutkan bahwa agama-agama (yang berbeda) kendati berbicara secara berbeda tetapi hakekatnya adalah sama benarnya. Seyyed Hossein Nasr menyebutkan bahwa setiap agama sebenarnya mengekspresikan adanya The One in many (Zat Tunggal yang dipersepsikan dalam banyak). Demikian Juga Raimundo Panikkar menyebutkan bahwa setiap agama mengkespresikan suatu bagian yang penting dari kebenaran. Berdasarkan beberapa pengertian di atas jelaslah bahwa pluralisme agama adalah suatu paham yang menganggap bahwa agama-agama yang ada tidak lebih sebagai persepsi manusia terhadap zat Tuhan karena itu kaum pluralis menolak adanya klaim kebenaran yang dilakukan oleh agama tertentu. Analog dengan beberapa orang buta mempersepsikan gajah, demikian halnya ajaran agama dalam pandangan kaum pluralis mempersepsikan Tuhan.
Seorang penganut teologi pluralis dan dosen di Paramadina mengatakan bahwa suatu saat umat Islam akan meninggalkan klaim bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan jalan keselamatan. Jelas pula bahwa istilah pluralisme agama adalah sebuah istilah yang sudah baku dan mapan yang merupakan produk pandangan hidup (worldview) Barat. Ide pluralisme agama apabila diadopsi oleh Islam jelas akan berbenturan dengan berbagai konsep dalam Islam yang selama ini telah baku antara lain konsepsi kafir, konsepsi tentang murtad, yang pada gilirannya membawa implikasi pada pemahaman ajaran Islam yang lain seperti pernikahan beda agama, bahkan konsep tentang fiqih. Tidak heran bila para pengikut teologi inklusif pluralis selalu berusaha melakukan rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi terhadap konsep-konsep dalam Islam yang sudah mapan. Konsep tentang kafir misalnya tidak lagi diartikan sebagai sebutan untuk orang yang tidak memeluk Islam. Jalaluddin Rahmat dalam sebuah wawancara dengan jaringan Islam liberal (dimuat dalam situs JIL 17 September 2003) mengatakan bahwa istilah kafir merupakan Label Moral, bukan Akidah. Dalam wawancara tersebut secara lengkap ia mengatakan: istilah kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Al Quran dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi --bukan mendekonstruksi.
Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Al Quran selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Al Quran, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja. Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Al Quran. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Al Quran disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ” (bersyukur ataupun tidak bersyukur); “la in syakartum la?azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd” (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya.
Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui. Demikian juga konsep tentang murtad yang secara mapan dipahami sebagai keluar dari Islam diartikan sebagai berbalik menjadi pendukung para penindas kaum muslimin (lihat tulisan Aan Najib Mustafa dalam majalah Aula edisi Nopember 2003 hal 59). Tentang fiqih, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer dalam sambutan pembukaan debat Buku Fiqih Lintas Agama di UIN Syarif hidayatullah 15 Januari 2004 mengatakan: “Tentang Aqidah, mungkin kita juga berbeda, meskipun sama-sama memeluk Islam. Ada istilah akidah atau teologinya eksklusifisme berbeda dengan yang aqidah dan teologinya pluralisme. Kalau teologinya pluralis maka fiqihnya juga pluralis, Jadi teologi pluralis membutuhkan fiqih pluralis (fiqih lintas agama)”.
Munculnya gagasan pluralisme agama tidak lepas dari adanya gerakan liberalisasi di dunia Barat yang bermula dari liberalisasi sosial politik yang pada akhirnya merambah bidang lain seperti ekonomi, budaya dan tak terkecuali agama. Agama yang sejak pasca reformasi gereja abad ke-15 dengan gerakan sekularisme telah diredusir dan diminimalisir peranannya sedemikian rupa, sehingga hanya boleh beroperasi pada tataran yang paling privat dari kehidupan manusia, ternyata dianggap tidak cukup kondusif bagi terciptanya tatanan dunia yang harmonis, demokratis, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan HAM. Agama dituduh dan diposisikan sebagai sumber konflik umat manusia. Berangkat dari asumsi agama sebagai sumber konflik memunculkan dua kutub ekstrim.
Pertama kelompok yang menolak agama. Dalam pandangan kelompok ini karena agama sebagai sumber konflik sehingga harus dipinggirkan. Agama dianggap tidak mempunyai peran penting dalam membangun peradaban sehingga harus disinggkirkan dari dunia dan dunia perlu dibebaskan dari agama. “if there is no religion too” sepenggal dari syair lagu Imagine karya John Lenon. Karl Mark misalnya menyebutkan bahwa agama adalah candu. Karena agamalah orang rela ditindas dan menjadi penindas.
Gagasan ini selain absurd dan tidak sesuai dengan realitas juga banyak ditentang oleh para pemikir Barat sendiri antara lain Arnold Toynbee yang berdasarkan hasil penelitiannya menemukan bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran sebagai kristalisasi kepompong yang merupakan cikal bakal tumbuhnya suatu peradaban. Sebagai gantinya kelompok yang tidak setuju memunculkan kutub ekstrim kedua, yaitu upaya penyamaan semua agama. Gagasan ini muncul karena adanya anggapan bahwa perbedaan konsep agama adalah pangkal dari konflik umat manusia. Berangkat dari sini dilakukan upaya penyamaan antara agama-agama. Gagasan seperti inilah yang akhirnya populer dengan pluralisme agama. Di samping berangkat dari anggapan di atas, gagasan pluralisme agama juga dipicu oleh gerakan liberalisme. Gerakan liberalisme Barat yang awalnya merupakan liberalisasi bidang sosial dan politik yaitu menuntut adanya persamaan dan kesetaraan di bidang hukum dan kedudukannya sebagai warga masyarakat dan negara akhirnya diberlakukan juga pada agama, sehingga agama pun harus diposisikan sederajat, tidak boleh ada agama yang merasa kedudukannya lebih tinggi dan agama harus diposisikan sama benarnya dan sama relatifnya.
Sebenarnya munculnya gagasan liberalisme politik yang kemudian melahirkan pula liberalisme dan pluralisme agama tidak lepas dari konsisi yang terjadi di Eropa saat itu dimana dominasi Gereja dan kaum bangsawan begitu kuat. Di samping itu, juga merupakan respon terhadap realitas sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan madzhab yang ternyata rawan konflik. Hal ini nampak sekali kendatipun gagasan pluralisme agama telah digulirkan tetapi konflik internal antar sekte dalam masyarakat Kristen Eropa begitu kuat. Beberapa sekte mendapat perlakuan yang diskriminatif oleh gereja antara lain dialami oleh sekte Mormon karena dianggap heterodox dan perlakuan diskriminatif ini baru berakhir abad ke-19 ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Demikian juga doktrin gereja yang menyatakan bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan masih dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga dilangsungkan Konsiliasi Vatikan II (1962-1965) yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen. Bahkan jauh sebelum itu, sikap intoleran orang-orang Gereja Kristen terhadap agama lain begitu kuat antara lain ditunjukkan dengan adanya kebijakan inkuisisi terhadap segala bentuk yang dianggap menyimpang dari ajaran gereja Kristen termasuk dalam hal ini berbagai sekte dan agama lain. Hal ini antara lain dirasakan oleh penganut Yahudi. Penindasan dan pengusiran terhadap penganut Yahudi kelak dipopulerkan dengan istilah anti-Semitism yang secara terbuka mulai diperkenalkan oleh Wilhelm Marr tahun 1879.
Ide pluralisme agama semakin mengkristal dan mantap dalam wacana filsafat dan teologi Barat dimulai pada awal abad ke-20. Sebelum ini Friedrich Schleirmacher seorang teolog Protestan liberal telah melontarkan gagasan liberalisasi agama yang memberi kebebasan para pemeluk agama. Selanjutnya seorang teolog Kristen Jerman yang bernama Ernst Troelsch (1865-1923) mengungkap perlunya bersikap pluralis di tengah berkembangnya konflik internal Kristen maupun antar agama. Dalam makalahnya yang disampaikan dalam sebuah kuliahnya di Oxford University tahun 1923 yang berjudul The Place of Christianity among The World (Kedudukan Agama Kristen di antara Agama-agama di Dunia) mengatakan bahwa umat Kristen tidak berhak mengklaim bahwa agamanya adalah paling benar sendiri. Semua agama termasuk Kristen selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Senada dengan Ernst Troelsch, William E. Hocking dalam bukunya re-Thinking Mission dan Living Religion and a World Faith secara yakin bahkan memprediksi munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global. Menyusul Arnold Toynbee (1989-1975) dalam bukunya An Historian’s Approach to Religion (1965) dan Cristianity and World religions (1957) juga menyampaikan gagasan yang hampir sama dengan Ernst Troelsch.
Karya-karya tersebut menurut Anis Malik Thoha (peneliti Insists) mencerminkan fase tersendiri dalam perkembangan gagasan pluralisme agama yaitu fase fermentasi dan pembentukan wacana. Fase berikutnya adalah fase pengayaan. Pada fase ini tampil seorang teolog dan sejarawan agama dari Kanada, Wilfred Camtwell Smith dalam bukunya Towards A World Theology (1981). Ia mengemukakan gagasan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama di dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis.
Gagasan pluralisme agama mencapai fase matang secara konseptual terjadi pada akhir abad ke-20. Beberapa tulisan yang memperlihatkan gagasan pluralisme agama secara lebih matang dan baku antara lain tulisan Gifford Lecture An Interpretation of Religions: Human Respons to the Transcendent (Interpretasi Agama-agama: Respon manusia terhadap Tuhan). Kemudian John Hick (lahir 1922) dalam beberapa bukunya telah berhasil merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer saat ini sehingga gagasan inipun melekat dengan namanya.
Dalam lingkungan Islam gagasan pluralisme agama merupakan hal baru yang tidak mempunyai akar ideologis atau teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul di lingkungan Islam lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh adanya penetrasi dari peradaban Barat modern. Hal ini diperkuat bahwa munculnya gagasan tersebut baru terjadi sesudah perang dunia kedua yaitu ketika mulai terbuka kesempatan bagai generasi muda Muslim untuk memperoleh pendidikan di universitas-universitas Barat. Di Indonesia misalnya, ide pluralisme agama sebelum dipopulerkan oleh Jaringan Islam Liberal dan generasi kedua dari aktivis Paramadina (Zainul Kamal, Sukidi, dkk) secara substansial telah lebih dahulu diperkenalkan oleh Dr. Nurcholish Madjid yang notabene adalah alumni Chicago University. Ide Cak Nur yang oleh Sukidi (salah satu kader Cak Nur di Paramadina) dipopulerkan dengan istilah teologi inklusif isinya kurang lebih sama dengan gagasan pluralisme agama.
Dalam orasi kotroversialnya yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992 dengan judul “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Di Indonesia”, Cak Nur menjelaskan panjang lebar tentang krisis kemanusiaan yang sedang melanda dunia yang dalam pandangannya disebabkan oleh adanya radikalisasi dalam pemahaman agama terutama Islam. Pemahaman yang membawa radikalisasi menurutnya karena adanya klaim bahwa hanya agama inilah (Islam) yang benar dan yang lain adalah salah dan kafir. Untuk itulah Cak Nur berpendapat perlunya mendefinisikan kembali makna Islam, kafir dan ahli kitab. Islam dalam pandangan Cak Nur bukanlah sebagai mana yang sering dipahami kebanyakan yaitu proper name (nama diri) untuk suatu agama tertentu yang diistilahkannya sebagai organized religion, tetapi Islam adalah sikap ketundukan dan penyerahan kepada Tuhan. Sikap ini bukanlah dominasi ajaran Islam, tetapi juga merupakan intisari dari ajaran agama lain termasuk Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, dan agama yang lainnya. Karena itulah pada esensinya semua penganut agama-agama dengan sendirinya dapat disebut muslim karena pada esensinya mereka juga melakukan penyerahan diri kepada Tuhan.
Para pengikut Cak Nur antara lain Sukidi dalam bukunya yang berjudul Teologi Inklusif Cak Nur mencoba mencari justifikasi atasi gagasan Cak Nur dengan menyitir surat al-Baqarah ayat 62 dan al-Ma’idah ayat 69. Tetapi, apabila dilacak justifikasi dengan menggunakan kedua ayat tersebut melibatkan penafsiran baru yang dipaksakan yang bertolak belakang dengan mainstream penafsiran dari para mufassir yang mu’tabar. Gagasan pluralisme agama kembali populer di Indonesia semenjak keluar tulisan Ulil Abshar Abdalla dalam harian Kompas (18/11/2002) yang bertajuk Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Dalam artikel tersebut ia menuliskan: “Kebenaran Tuhan lebih besar dari Qur’an, Hadits dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah. Oleh karena itu, Islam lebih tepat disebut sebagai sebuah proses yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah lembaga agama yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat inna ad-diina ‘inda Allahi al-Islam (Q.S. Ali Imran: 19) lebih tepat diterjemahkan dengan “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada yang Maha Benar)”.
Selanjutnya ia juga menuliskan: “Semua agama dengan demikian adalah benar dengan variasi, tingkat dan kadar kedalamannya yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu”. Jelas sekali saudara Ulil melakukan langkah lebih berani dengan mengesampingkan Al Qur’an dan Al Hadits sendiri yang merupakan sumber yurisprudensi tertinggi dalam Islam. Gagasan Nurcholish Madjid tentang rekonstruksi makna Islam bila diteliti bukanlah sebuah gagasan yang secara utuh orisinal. Wilfred Camtwell Smith seorang yang terlibat dalam mata rantai penggagas pluralisme agama telah melakukan hal yang sama sejak tahun 1960an. Smith merasa gelisah melihat fenomena dimana para penganut agama menganggap diri mereka sebagai kebenaran tunggal. Dalam pandangannya agama bukanlah sebagai kekuatan penyatu manusia, akan tetapi sebaliknya sebagai pemecah persaudaraan kemanusiaan.
Oleh sebab itu, menurutnya sudah sepantasnya dilakukan studi kritis terhadap perkataan agama, dan tidak seharusnya menerima terminologi-terminologi agama tanpa mempertanyakan historisitas terbentuknya istilah itu. Dalam bukunya The History of Muslim Religion has yet to be written (1981) Smith seolah-olah menemukan adanya perkembangan dalam pemaknaan kata Islam. Dia selanjutnya memaknai Islam dalam tiga makna. Pertama, Islam sebagai komitmen individu muslim untuk menyerahkan diri kepada Tuhan. Kedua, Islam sebagai ide platonic yang transenden. Dan ketiga, Islam sebagai sistem yang terinstitusikan dalam sejarah. Menurutnya apabila kata Islam disebutkan, maka yang dimaksudkan adalah makna yang pertama. Namun Islam sebagai nama sebuah agama hanya dikonotasikan oleh makna kedua dan ketiga (lihat The History hal 47).
Di arena lain wacana pluralisme agama menyusup ke dalam wacana pemikiran Islam juga melalui karya-karya pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon dan Frithjof Schuon. Rene Guenon adalah seorang berkebangsaan Perancis. Ia telah mempelajari kebudayaan timur khususnya Islam dan Hindu sejak usia delapan belas tahun. Pada tahun 1912 ia masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Wahid Yahya. Ia meninggal di Mesir tahun 1951 dan meninggal di sana dengan meninggalkan beberapa karya dalam bahasa Perancis. Sedangkan Frithjof Schuon adalah keturunan Jerman, lahir di Swizerland tahun 1907, lalu menjadi warga negara Perancis. Ia kemudian memeluk Islam dan berganti nama Isa Nuruddin Ahmad. Pada tahun 1932 ia mengunjungi Aljazair dan Maroko. Tahun 1938 ke Kairo dan bertemu dengan Rene Guenon yang kemudian menjadi salah satu gurunya.
Baik Rene Guenon maupun Frithjof Schuon keduanya meninggalkan karya-karya yang memuat ide persekutuan agama yang merupakan turunan dari gagasan pluralisme agama. Schuon dalam bukunya The Transcendent Unity of Religions menyampaikan bahwa semua agama adalah sama dalam esensinya dan berbeda hanya dalam bentuknya. Esensinya sama karena berasal dari sumber yang sama yang Absolut, dan bentuknya berbeda karena adanya perbedaan dalam memanifestasikan yang Absolut. Pernyataan Schuon ini mengingatkan pada pernyataan Abdul Munir Mulkhan wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mengatakan bahwa surga Tuhan yang satu mempunyai banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. (Lihat karyanya Ajaran dan jalan Kematian Syeikh Siti Jenar) Pemikiran Schuon semakin populer setelah sampai di tangan seorang muridnya Seyyed Hossein Nasr.
Gagasan Nasr yang paling penting adalah al-hikmah al khalidah (kebenaran abadi). Dalam bukunya Ideals and Realities of Islam ia menuliskan bahwa meyakini dan melaksanakan suatu agama secara keseluruhan dan sungguh-sungguh berarti juga memeluk seluruh agama, karena semua berporos kepada satu poros yaitu kebenaran hakiki yang abadi. Selanjutnya baik Schuon maupun Nasr mengklaim bahwa gagasannya tetang kesatuan transendental agama-agama diambil dari pemikiran seorang sufi kenamaan Ibnu Arabi. Tetapi menurut penelitian Samsuddin Arif dari INSISTS, sengaja atau tidak, Schuon dan Nasr telah berbuat tidak jujur dalam mengutip karya Ibnu Arabi. Schuon dan Nasr menyebut puisi Ibnu Arabi yang dimuat dalam bukunya Tarjuman al-Asywaq sebagai inspirator dari ajaran kesatuan transendental agama-agama. Puisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Hatiku telah menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput dan menjangan; biara bagi rahib, kuil anjungan berhala, ka’bah tempat orang thawaf; batu tulis Taurat; dan mushaf bagi al-Qur’an; Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa ku ikuti kemanapun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Sengaja atau tidak ada hal yang tidak diungkap oleh Schuon dan Nasr bahwa Ibnu Arabi telah menjelaskan sendiri semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri Dzakha’ir al-Alaq syarh Tarjuman al-Asywaq. Dalam kitab ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan agama cinta adalah agama Nabi Muhammad saw, merujuk pada firman Allah dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 31 yang artinya “Katakan (hai Muhammad) Jika Kamu benar-benar mencintai Allah ikutikah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Dengan nada yang sama Ibnu Arabi juga menguraikan tentang hal ini dalam kitab Futuhatnya.
Membangun Agama Baru?
Wacana pluraisme mempunyai dua corak pertama, memaksa setiap agama untuk mengakui bahwa agama lain adalah benar. Konsekwensi dari hal ini menuntut setiap agama melakukan perubahan konsep tentang berbagai ajaran yang dipandang bertentangan. Kedua, gagasan pluralisme seolah-olah hendak membentuk agama baru yang universal yang merupakan payung dari agama-agama.
Fenomena kedua ini dapat dicermati dari tulisan Robert N. Bellah yang berjudul Civil Religion in America. Dalam pengamatan Bellah di Amerika berkembang agama civil yaitu agama yang tidak berpihak pada ajaran agama tradisional manapun. Agama ini hanya mengenal God tetapi tidak mengenal Allah atauYesus (apalagi Sang Yang Widhi pen.). Agama civil ini bisa mencakup semua agama karena istilah-istilah yang digunakan bersifat umum. Menurut Bellah penggunaan sebutan God lebih universal tanpa memandang ras dan agama resmi yang dianutnya. Bellah juga beralasan bahwa para Presiden Amerika tidak seorangpun yang tidak menyebut nama God dalam pidato resmi kenegaraan, tetapi tak satupun dari dari mereka yang menyebut Yesus Kristus.
Mengacu pada kesimpulan Bellah, hal yang sama dilakukan oleh para penganut teologi inklusif pluralis di Indonesia. Mereka lebih senang menggunakan sebutan Tuhan ketimbang menyebut langsung Allah sekalipun mereka muslim. Penggunaan sebutan Tuhan terasa lebih universal ketimbang menyebut Allah. Cak Nur konon ketika menikahkan anaknya membukanya dengan menyebut atas nama Tuhan tidak menggunakan langsung kata Bismillah sebagai lazimnya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ustadz Syamsi Ali seorang guru agama di New York kepada Media Dakwah (lihat Buku Nikah Beda Agama Menurut Islam dan Seputar Pernikahan Putri Cak Nur, terbitan Media Wacana).
Penutup Gagasan Pluralisme agama yang akhir-akhir ini dipopulerkan di lingkungan umat Islam Indonesia adalah murni produk peradaban Barat yang bersumber dari pandangan hidup mereka tentang kehidupan (worldview). Layaknya sebuah produk asing, apabila dipaksakan untuk diadopsi dapat dipastikan akan membawa pada benturan-benturan dan kerancuan konseptual. Bahkan tidak mustahil akan mencerabut ajaran orisinal dari Islam sendiri. Selain itu, apa yang diinginkan oleh pengikut teologi pluralis bahwa dengan gagasan pluralisme agama dapat meredam konflik antar agama-agama adalah suatu gagasan yang absurd dan tidak realistis. Bahkan tidak mustahil gagasan ini dapat melahirkan konflik baru yang lebih dahsyat. Hal ini dapat dicermati dari reaksi terhadap gagasan tersebut yang ternyata tidak hanya datang dari lingkungan Islam.
Di lingkungan Kristen, gagasan pluralisme agama juga memperoleh penolakan. Pdt. Stevri Indra Lumintang, M.Th.dari YPPI misalnya menyebutnya sebagai teologi abu-abu. (lihat bukunya Teologi Abu-Abu /Pluralisme Iman terbitan Departemen Literatur YPPII, Malang). Mengenai hubungan antar agama, Islam telah memberikan aturan sendiri yang sudah mapan dan baku tanpa harus mengadopsi gagasan pluralisme agama. Islam yang menjunjung tinggi keadilan sudah tentu tidak serta merta merampas hak-hak non muslim. Tetapi mengingat mereka secara aqidah berbeda sudah tentu ada ketentuan-ketentuan yang mengharuskan berbeda, misalnya tentang pernikahan, perwalian, hak waris dan sebagainya. Adil dalam pandangan Islam bukan sama rata, tetapi adil adalah menempatkan sesuatu sesuai porsinya dan merupakan lawan dari dzalim yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Asumsi para penganut teologi pluralis bahwa agama khususnya Islam sebagai biang konflik juga patut dibaca secara kritis.
Benarkan Islam pemicu konflik? Bila dicermati, berbagai konflik yang selama ini disinyalir sebagai konflik agama ternyata lebih banyak dipicu oleh persoalan lain di luar agama. Konflik Palestina misalnya terjadi karena adanya perlakuan pilih kasih yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya yang cenderung menganakemaskan Israel. Beberapa konflik di Indonesia seperti konflik Ambon, Poso, dan Sampit lebih dipicu karena persoalan sosial politik, bukan agama. Bahkan terorisme pun muncul merupakan reaksi dari adanya arogansi negara-negara Barat terutama Amerika Serikat. Akhirnya, patut dikatakan bahwa gagasan pluralisme agama adalah gagasan yang tidak diperlukan dan sangat absurd untuk diadobsi ke dalam alam pemikiran Islam. Wallahu a’lam.