Ikhtilat
Bolehkah kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita bila tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah?
Bercampur baurnya antara pria dan wanita terbagi menjadi tiga:
Pertama, bercampur baurnya antara wanita dan pria yang merupakan muhrimnya, ini tidak diragukan lagi akan kebolehannya.
Kedua, bercampur baurnya kaum wanita dengan pria asing untuk tujuan yang merusak, maka tidak diragukan lagi akan pengharamannya.
Ketiga, bercampur baurnya antara wanita dan pria asing di lembaga-lembaga pendidikan, perkantoran, rumah sakit, acara-acara pesta dan yang semisal yang sering diduga tidak akan mengakibatkan terjadinya perbuatan zina antara satu dengan yang lainnya. Dan untuk menjelaskan hal ini, maka kami akan menjawabnya secara umum dan secara terperinci.
Adapun secara umum, bahwa Allah Ta'ala telah menciptakan kecenderungan dan dorongan kepada wanita dalam diri laki-laki, dan wanitapun diberikan kecenderungan kepada laki-laki dengan kelemahan dan kelembutan yang dimilikinya, maka bila percampurbauran terjadi akan lahirlah pengaruh-pengaruh yang dapat memunculkan akibat-akibat yang buruk karena hawa nafsu selalu mendorong untuk berbuat kejahatan, nafsu sering kali menjadi buta dan tuli sedang setan selalu menyuruh untuk berbuat keji dan mungkar.
Adapun secara terperinci, maka syari'at ini dibangun diatas tujuan dan sarananya. Dan sarana yang dapat menyampaikan pada tujuan memiliki hukum yang sama dengan tujuan. Maka wanita adalah pusat pemenuhan keinginan pria, dan syariat telah menutup pintu-pintu yang dapat mengakibatkan keterkaitan antara individu kedua jenis tersebut, dan hal ini menjadi jelas dengan dalil-dalil yang akan kami sebutkan berikut ini dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Adapun dalil dari Al-Qur'an yaitu:
pertama, Allah berfirman, yang artinya :
"Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal dirumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata, 'marilah kesini.' Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang dzalim tiada akan beruntung." (QS Yusuf : 23).
Ayat ini menunjukkan bahwa ketika terjadi ikhtilat antara istri penguasa mesir dengan Yusuf as. Nampaklah apa yang selama ini dia sembunyikan dan ia pun meminta yusuf untuk menyetujuinya, namun Allahpun merahmatinya dan menjaganya dari hal itu, sebagaimana dalam firman Allah, yang artinya :
"maka Tuhannya memperkenankan do'a Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS Yusuf :34).
Demikianlah yang terjadi bila kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita, maka setiap jenis akan memilih dari jenis lain yang ia inginkan, dengan menyerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan keinginannya.
Kedua, Allah telah memerintahkan kaum pria untuk menundukkan pandangan demikian pula kaum wanita. Allah berfirman, yang artinya:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yng beriman, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan, dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An Nur 30-31).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman baik pria maupun wanita untuk menundukkan pandangan mereka. Dan perintah menunjukkan kewajiban, kemudian Allah menjelaskan bahwa hal ini lebih menyucikan dan membersihkan hati. Telah diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Ali ra. bahwasanya Nabi saw., berkata kepadanya:
"Wahai Ali ! janganlah engkau mengikuti satu pandangan dengan pandangan lain karena engkau hanyalah memiliki yang pertama dan tidak untuk yang selanjutnya."
Al-Hakim mengatakan, "(Hadits ini) shahih berdasarkan syarat Muslim namun (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya". Dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish, dan terdapat beberapa hadits yang semakna.
Dan tidaklah Allah memerintahkan untuk menundukkan pandangan kecuali karena memandang yang haram dilihat. Abu Hurairah ra, meriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwa beliau berkata :
"Zina kedua mata adalah memandang, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah bicara, zina tangan adalah memegang, dan zina kaki adalah melangkah."(Muttafaq 'alaih dengan lafadz Muslim).
Digolongkan zina karena tidak lain karena ia menikmati memandang kecantikan wanita yang akan menyebabkan masuknya ke dalam hati orang yang memandangnya, sehingga ia tergantung dengannya lalu berusaha berbuat kekejian dengannya. Dan jika syariat melarang memandang dikarenakan dapat menyebabkan fitnah dan sebab tersebut ada pada ikhtilat, maka tentu saja ikhtilat pun terlarang karena ia adalah sarana terjadinya hal-hal yang tidak terpuji berupa memandang dan berusaha melakukan yang lebih dari itu.
Ketiga, dalil-dalil terdahulu yang menunjukkan bahwa wanita adalah aurat dan ia wajib menutupi seluruh badannya karena menyingkapnya akan mengundang pandangan untuk melihatnya yang akan menyebabkan ketergantungan hati padanya lalu pengerahan usaha untuk mendapatkannya. Demikian pula dengan ikhtilat.
Keempat, Allah berfirman, yang artinya :
"Dia mengetahui mata yang berkhianat dan apa yang tersembunyi dalam dada." (QS Ghafir : 19).
Ibnu Abbas dan ulama lainnya menafsirkan ayat ini, (bahwa yang dimaksud) adalah seorang pria yang masuk ke rumah orang lain, sementara di antara mereka ada seorang wanita cantik lewat di hadapannya. Maka jika mereka lalai ia pun akan memperhatikan wanita tersebut, maka jika mereka mengetahuinya maka ia pun akan menundukkan pandangannya -demikian seterusnya- hingga terbetik dalam hatinya seandainya ia bisa melihat kemaluannya dan dapat berzina dengannya.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta'ala menggambarkan bahwa mata yang selalu mencuri pandang dan melihat hal-hal yang diharamkan baginya sebagai pengkhianat. Lalu bagaimana pula dengan ikhtilat.
Kelima dan Keenam, bahwasanya Allah memerintahkan mereka untuk diam di rumah. Allah berfirman, yang artinya :
"Dan tinggalah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah mereka berhias (dengan cara) berhias seperti golongan jahiliyyah pertama." (QS AL-Ahzab : 23).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah memerintahkan istri-istri Nabi saw yang suci, telah disucikan dan thayyibat untuk tetap tinggal di rumah. Dan perintah ini juga mencakup wanita selain mereka dari kalangan wanita kaum muslimin-berdasarkan kaidah ushul yang menyatakan bahwa suatu perintah itu ditujukan kepada seluruh (bersifat umum) kecuali bila terdapat dalil yang mengkhususkannya - dan tidak ada satupun dalil yang mengkhususkan (ayat diatas) ; maka mereka (para wanita) diperintahkan untuk tetap di rumah kecuali secara darurat harus keluar.
Lalu bagaimana mungkin ikhtilat dibolehkan setelah melihat penjelasan diatas, ditambah lagi dijaman ini semakin sering terjadi kejahatan terhadapa wanita, mereka juga telah menghilangkan "jilbab" rasa malu mereka, bertabarruj dan memperlihatkan aurat mereka dihadapan pria asing ditambah lagi semakin berkurangnya kepedulian dari orang-orang yang bertanggung jawab terhadap mereka, baik suami mereka atau yang lainnya.
Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah menyebutkan:
Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh muslim, At-Tirmidzi dan selainnya dengan sanad mereka dari Abu Hurairah ra. Rosulullah saw bersabda, yang artinya :
"Sebaik-baik shaf kaum pria adalah shaf yang pertama dan yang paing buruk adalah yang paling akhir, dan sebaik-baik shaf kaum wanita adalah yang paling akhir, sedang yang paling buruk adalah shaf yang pertama."
Hadist ini menunjukkan bahwasanya Rosulullah saw mensyari'atkan kepada kaum wanita bila mereka mendatangi masjid, maka hendaknya mereka terpisah dari jama'ah laki-laki, lalu beliau menggambarkan bahwa shaf pertama mereka dengan sifat keburukan dan shaf terakhir mereka dengan sifat kebaikan.
Hal ini tidak lain karena jauhnya wanita-wanita di shaf terakhir dri kaum pria yang menghalangi mereka bercampur. Dan beliau mencela shaf pertama kaum wanita karena hal yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Beliau juga mensifati akhir shaf kaum pria dengan keburukan jika terdapat kaum wanita yang juga mengerjakan sholat bersama mereka, dikarenakan mereka tidak sholat di depan, tidak lagi dekat dengan imam dan justru lebih dekat kepada kaum wanita yang dapat mengganggu konsentrasinya dan bisa jadi merusak ibadah serta mengganggu niat dan kekhusyu'annya, maka apabila syariat menduga terjadinya hal tersebut dalam ibadah di mana tidak terjadi ikhtilat tentu lebih memungkinkan sehingga pelarangan ikhtilat lebih utama.
Kedua, Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Zainab istri Abdullah bin Mas'ud ra, bahwasanya Rosulullah saw bersabda, yang artinya :
"bila salah seorang dari kalian mendatangi masjid maka janganlah ia memakai wangi-wangian."
Dan Abu Daud meriwayatkan dalam Sunannya Imam Ahmad dan Syafi'i meriwayatkan dalam musnad mereka dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rosulullah saw, bersabda, yang artinya :
"Janganlah kalian melarang hamba-hamba (wanita) Allah dari mesjid-mesjid Allah , namun hendaknya mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian."
Ibnu Daqiq Al-Ied berkata, "Hadits ini menunjukkan pengharaman memakai wangi-wangian bagi wanita yang ingin pergi ke mesjid, karena dapat menggerakkan syahwat kaum pria, dan bisa jadi menggerakkan syahwat kaum wanita juga. "Ia berkata, "Dan dapat dikiaskan dengan hal-hal yang semakin, seperti pakaian yang bagus, perhiasan yang nampak gemerlapnya, dan penampilan yang mewah."
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, "Demikian pula ikhtilat dengan kaum pria."
Ketiga, diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid dari Rosulullah saw. Bahwa beliau bersabda, yang artinya :
"Tidaklah aku meninggalkan fitnah setelahku yang lebih berbahaya bagi kaum pria melebihi kaum wanita."
Hadits ini menggambarkan wanita sebagai fitnah; lalu bagaimana mungkin sumber fitnah tersebut dikumpulkan dengan yang dapat fitnah itu ? ini jelas tidak boleh.
Keempat, dari Abu Sa'id Al-Khudri ra, dari Rosulullah saw bahwa beliau bersabda, yang artinya
"Sesungguhnya dunia adalah sesuatu yang manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan kalian beramal, berhati-hatilah terhadap dunia, berhati-hatilah dengan wanita karena sesungguhnya awal mula fitnah Bani Israil adalah pada wanita" diriwayatkan muslim.
Hadist ini menunjukkan bahwa Rosulullah saw memerintahkan untuk berhati-hati terhadap wanita; yang menunjukkan bahwa hal ini adalah sesuatu yang wajib. Lalu bagaimana kewajiban ini dapat dilakukan bila terjadi ikhtilat? Jelas ini tidak boleh.
Kelima dan keenam, diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam A-Mu'jam Al-Kabir , dari Ma'qil bin Yasar ra. bahwasanya Rosulullah saw bersabda, yang artinya :
"Sungguh bila kepala salah seorang ditusuk dengan besi yang panas itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya."
Al-Haitami berkata dalam Majma' Az-Zawaid, "Perawinya adalah perawi kitab Ash- Shahih." Al-Mundziri berkata dalam Ath-Tanhib wa Ath-Tharkib, perawinya siqah (dapat dipercaya).
Ath-Thabrani juga meriwayatkan dari Haris Abu Umamah ra. dari Rosulullah saw, beliau bersabda: "Sungguh jika seorang pria disentuh oleh seekor babi yang berlumur tanah dan lumpur itu lebih baik baginya dari pada bila pundaknya disentuh oleh pundak wanita yang tidak halal baginya."
Hadist-hadist ini menunjukkan bahwa Nabi saw melarang seorang pria menyentuh seorang wanita baik dengan penghalang atau tidak Bila ia bukan muhrim baginya karena akan mengakibatkan pengaruh yang buruk. Demikian pula ikhtilat, ia dilarang karena itu.
Maka barangsiapa memperhatikan apa yang dikandung dalil-dalil tersebut, jelaslah baginya bahwa pernyataan yang menyatakan bahwa ikhtilat tidak akan menyebabkan terjadinya fitnah tidak lain hanyalah pandangan yang keliru. Bahkan sebenarnya ia dapat menyebarkan fitnah oleh karena itu syari'at melarangnya untuk mencegah terjadinya kerusakan.
Dan tentu saja tidak termasuk dalam larangan tersebut hal-hal yang bersifat daruratan dibutuhkan serta terjadi pada tempat-tempat ibadah seperti di Masjidil Haram dan Masjidil Nabawi.
Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kaum muslimin yang belum sadar serta menambah petunjuk kepada yang telah mendapatkan petunjuk.
Wallahua'lam bishawab. Semoga ada ibrah yang bisa kita ambil manfaatnya shingga kita semakin taqarrub pada Dzat Yang Maha Suci. Amiin
No comments:
Post a Comment