Penerapan syari'at Islam menuntut upaya yang lebih dari sekedar sosialisasi tentang perlunya syari'at Islam. Dalam upaya pembentukan kesadaran masyarakat tentang syari'at Islam, terdapat beberapa kendala yang bersifat deeprooted dari hanya sekedar ketidakfahaman dar keengganan masyarakat untuk menerimanya. Paling tidak, kendala historis, sosiologis dan ideologis perlu dicatat dalarruupaya sosialisasi syari'at Islam yang lebih intens.
Dari segi legal historis misalnya, efek kolonialisme Belanda berpengaruh besar terhadap hukum positif yang berlaku di Indonesia. Kebiasaan berhukum dengan standar kolonial ini menjadikan umat Islam merasa asing dengan hukum agamanya sendiri. Karena hukum menyangkut kesadaran tentang keadilan, misalnya, konsepsi masyarakat tentang keadilan itu sendiri dipengaruhi oleh sistem hukum yang ada.
Dari segi sosio historis, kolonialisme juga telah menciptakan struktur masyarakat yang terpolarisasi baik secara agama, status sosial maupun budaya. Dalam konteks berbudaya, ethnocentrism dan xenocentrism merupakan produk kolonial yang telah membentuk mentalitas masyarakat Indonesia. Ethnocentrism dalam hal ini adalah anggapan bahwa budaya barat merupakan standar budaya masyarakat yang modern dan beradab, sementara xenocentrism menunjukkan bahwa budaya dan adat bangsa sendiri lebih inferior ketimbang budaya barat-kolonial. Termasuk dalam konteks ini adalah rasa inferior terhadap atribut dan karakter yang melekat pada agama masyarakat terjajah, dan rasa superior jika mengadopsi budaya barat yang nilai rasional, progresif dan humanis. Persoalan HAM, misalnya, harus menggunakan standar barat termasuk isu-isu tentang jender dan demokrasi.
Selain itu, dari segi politico historis, sejarah tentang DI/TII diabadikan sebagai icon pemberontakan kelompok Islam yang berpotensi mengancam integrasi bangsa. Image ini memunculkan phobia (ketakutan) dan alergi kepada hal-hal yang bersentuhan dengan kritik terhadap ideologi negara beserta perangkat-perangkat hukumnya dan altematif tawaran Islami.
Dalam konteks ideologis, fenomena tuntutan syari'at Islam dianggap sebagai artikulasi kebangkitan Islam yang sarat dengan unsur kekuasaan. Upaya itu dianggap sebagai simbol paling tinggi dari politik Islam, karenanya harus dilakukan pembendungan. Politik bahasa dengan memperkenalkan idiom-idiom fundamentalis, teroris, radikal dan militan merupakan contoh pertarungan ideologi yang memasuki ranah (area) media massa dalam melakukan distorsi terhadap upaya membumikan Islam. Perdebatan di lembaga legislatif dan perdebatan mengenai produk perundang-undangan juga merupakan representasi atas hal itu.
Upaya sosialisasi syari'at Islam memerlukan diversifikasi strategi dan metode yang bersifat jangka panjang dan pendek. Hal-hal yang berkaitan dengan persoalan mentatitas yang bersifat deeprooted tidak bisa diatasi dengan kegiatan insidental. Upaya agar masyarakat dapat melakuakn internalisasi terhadap nilai-nilai yang dikandung dalam syari'at Islam perlu dilembagakan. Di samping itu, upaya ini harus diluruskan sejak awal bahwa penerapan syari'at Islam bersifat ideologis dan bukan politis maupun hanya sebatas respon terhadap kegagalan modernisme yang dihadirkan di tengah masyarakat. Penerapan syari'at Islam merupakan upaya untuk mewujudkan islam yang rahmatan lil 'alamin.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita dalam merespon persoalan-persoalan yang terjadi di seputar kita antara lain:
Pertama, menegaskan adanya hubungan antara persoalan-persoalan yang disebutkan terdahulu dengan tingkat ke-Islaman kita; persoalan-persoalan tersebut terkait dengan pemahaman kita terhadap Islam, terkait dengan komitmen kita melaksanakan prinsip-prinsip Islam dan terkait dengan konsistensi kita untuk menjadikan Islam sebagai solusi masalah sosial. Allah SWT akan menguji kita dengan pelbagai masalah untuk menegaskan keimanan kita pada-Nya, untuk menjadikan kita lebih matang dengan pengalaman dan untuk mengetahui siapa yang menjadi lawan dan kawan dalam menegakkan Islam.
Kedua, diperlukan kesabaran dalam merespon persoalan di atas yang merupakan sunnatullah di mana ujian perlu diberikan kepada orang-orang Mu'min. Sabar berarti menahan diri dari mengambil jalan pintas yang tidak diridhai Allah dengan menghalalkan segala cara untuk mengatasi persoalan. Sabar menuntut keyakinan bahwa balasan baik dari Allah pasti akan datang. Sabar meminta kita untuk bersikap yakin terhadap adanya jalan keluar. Sabar harus disertai dengan permintaan pertolongan kepada Allah SWT. Sabar berarti jauh dari berkeluh kesah dan putus asa.
"Sungguh indah kehidupan seorang mu'min. Sesungguhnya semua urusan adalah baik baginya. Jika mendapatkan kebaikan, ia akan bersyukur dan kesyukurannya ini adalah baik baginya; dan jika ditimpa musibah, ia akan bersabar dan kesabarannya itu adalah baik baginya". (HR. Bukhari)
Ketiga, Kondisi yang menjadi masalah bagi Ummat Islam tidak seluruhnya merupakan kesalahan internal tetapi juga terdapat kekuatan luar yang memang tidak menginginkan ummat Islam bersatu. Allah berfirman:
"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan juga kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan" (QS. Ali Imran: 186)
Kalimat "Adzan katsira...” DR. Yusuf Qardhawi memberi komentar ayat tersebut dengan mengatakan: "teror lisan" pasti dilancarkan kepada kaum beriman untuk merusak dakwah mereka, mendiskreditkan dan menimbulkan keraguan di sekitar citra dan hakekat sejarah mereka. Suatu peperangan yang menggunakan senjata intrik, pemalsuan, provokasi dan fitnah. Karena itu kaum Muslimin harus mempersiapkan diri untuk menghadapi gangguan-gangguan tersebut dan bersabar menelan pahitnya gangguan itu sampai Allah memenangkan yang haq dan menghancurkan yang bathil".
Keempat, optimisme bahwa Allah pasti akan memberikan jalan keluar. Optimisme adalah modal psikologis untuk tidak terus terpuruk dalam kesedihan. Tidak jarang kita melihat bahwa krisis terus berlangsung karena kita telah diliputi rasa putus asa terlebih dulu. Kondisi ini semakin memperburuk motivasi kita untuk bekerja. Kekuatan usaha kita banyak bergantung pada semangat kita mencari ridha Allah SWT. Rahmat Allah tidak datang dengan sendirinya, tetapi dicari untuk didapat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Al Quran.
“… dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS. Yusuf: 87)
Semoga Allah SWT memberikan jalan keluar, memberikan kekuatan untuk bersabar, memelihara rasa optimisme dalam mencari rahmatNya dan memberkahi segala/langkah untuk menyelesaikan persoalan. Amiin.
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. Al Israa: 16)
Wallahua’lam bishshawwaab
edited from: Khutbah 'Idl Fitri by H. Ali Mochtar N, MA