"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. " (Al-Baqarah: 120).
Bentuk ketidakrelaan Yahudi dan Nasrani dapat dibuktikan melalui fakta sejarah, berlangsung dari dulu hingga kini, kadang tidak diperlukan analisa tinggi untuk memahaminya, masyarakat awam juga bisa membaca fakta yang "kasat mata" itu.
Konflik hubungan Islam dengan Yahudi mulai memburuk terutama sejak mereka melakukan konspirasi bersama pasukan kafir Mekah untuk memusuhi kaum Muslim di Madinah hingga akhirnya mereka diusir dari Madinah dan Khaibar. Peristiwa Khaibar di kemudian hari menjadi satu peristiwa paling traumatis dan mewariskan dendam kesumat orang Yahudi hingga berabad-abad.
Pada masa sahabat, Yahudi melakukan infiltrasi dengan cara menyusup ke tengah-tengah barisan Islam. Puncaknya, mereka berhasil membunuh Khalifah Amirul Mukminin Umar ibnil Khatthab. Mereka juga berhasil membangkitkan fitnah atas diri Utsman bin Affan, dan mempertajam pertentangan antara kubu Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan. Tidak hanya sampai di situ, mereka bahkan menyusup ke barisan Syi'ah dan kelompok-kelompok militan lainnya dengan pola provokasi agar kelompok-kelompok itu melakukan perlawanan, baik terhadap idiologi maupun institusi as-sawad al-a'dham (kelompok mayoritas) saat itu.
Banyak telah tersebut dalam sejarah mengenai peperangan antara ummat muslim melawan tentara kafir yahudi dan Nasrani. Puncak peperangan tersebut adalah perang Salib yang berlangsung sangat lama. Alhamdulillah akhirnya dibawah komando seorang panglima gagah berani Shalahuddin Al Ayyubi panji Islam masih tetap berkibar dengan perkasa tak tergoyahkan.
Namun, sudah usaikah perang itu kini? Ternyata belum, karena sesudah itu ada perang salib gaya baru berupa ekspedisi kolonialisme bangsa Eropa ke dunia muslim. Inggris menjajah India, Mesir, Irak, Yordania, dan Malaysia. Prancis menjajah Suriah, Libanon. Belanda menjajah Indonesia setelah sebelumnya dijajah Portugis; Spanyol menjajah Moro dan seterusnya. Tampaknya mereka banyak belajar dari sejarah, bahwa sulit sekali mengalahkan umat Islam di medan pertempuran sepanjang Aqidah masih berakar dalam sanubari mereka.
Seiring penjajahan atas negeri muslim, mereka melakukan serangkaian program strategis, tentu semua tak lepas dari misi idiologi, seperti missi 3 G yang sangat terkenal: Gold-Glory-Gospel. Program tersebut, misalnya, selain berupa eksploitasi kekayaan alam, juga berupa dikotomi pendidikan antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum. Ibarat bom waktu, praktik ini berdampak pada lahirnya kader "intelektual " yang tidak memiliki kepahaman dan kejuangan akan dienul Islam, padahal di kemudian hari mereka banyak tampil mengisi jabatan-jabatan strategis dan bahkan memimpin negeri muslim dalam format nation state yang sekuler. Di sisi lain, lahir kaum "ahli dien" yang tidak mendapatkan tempat strategis dalam negara--kalau tidak boleh dikatakan kurang mampu memimpin--serta terkesan hanya sebagai 'aksesoris' dalam ritus formal kagamaan. Kaum ini bahkan sering digambarkan sebagai simbol kemunduran dengan performa lusuh dan menggelikan.
Aspek lain yang mereka serang adalah moralitas (akhlak) masyarakat muslim. Orientalis Syatilyn memberikan statement yang cukup terkenal, "Gelas dan artis mampu menghancurkan umat Muhammad daripada seribu meriam, maka tenggelamkanlah umat Muhammad ke dalam cinta materi dan syahwat." Hidupnya kolonial di tengah-tengah negeri muslim dengan jargon kemajuan otomatis memberikan inspirasi bagi masyarakat muslim dalam mengartikan arti "kemajuan" itu sendiri yang oleh bangsa penjajah diwujudkan dengan memberikan contoh dalam bentuk pergaulan bebas, mabuk-mabukan, dan perilaku amoral lainnya.
Aspek lain adalah "Invasi Pemikiran" (Gozwul Fikri). Mereka belajar dari resep kemenangan Islam, tak lain adalah akidah sahihah yang selalu melandasi setiap perilakunya, juga jiwa merdeka dari perbudakan sesama manusia serta semangat "hidup mulia atau mati syahid". Dalam kesimpulan mereka, sepanjang "ruh" dari resep tersebut masih mengurat mengakar pada setiap pribadi muslim, maka kekalahan episode berikutnya adalah sebuah keniscayaan.
Karenanya, missionaris Zwimmer pada konferensi yang diselenggarakan negara-negara imperialis di kota Al-Quds menyatakan, "Tugas besar di pundak missionaris yang dikirim negara-negara Nasrani ke negara-negara Islam ialah mengeluarkan umat Islam dari keislamannya agar ia menjadi manusia yang tidak memiliki hubungan dengan Allah. Dengan sendirinya ia kemudian tidak berpegang teguh kepada akhlak yang merupakan lambang suatu bangsa dalam kehidupan." Gladston dengan bahasa lain, "Sesungguhnya kepentingan Eropa di Asia Jauh dan Tengah tetap terancam selama di sana masih ada Alquran yang dibaca dan ka'bah yang kerap dikunjungi." Louis IX berpesan kepada negara Eropa: "Kalian tidak mungkin dapat mengalahkan kaum muslimin di medan perang, kalian harus mengalahkan mereka terlebih dahulu di medan pemikiran. Setelah itu akan mudah bagi kalian untuk menguasai mereka. Dan, mereka adalah kaum yang hati-hati terhadap bius-bius budaya kalian."
Invasi itu berupa tayskik (menanamkan keragu-raguan dan pendangkalan Islam), tasywih (menghilangkan kebanggaan umat Islam terhadap diennya dengan, misalnya, pencitraan negatif bahwa Islam kejam, teroris...), tadzwib (pencampuradukan antara haq dan bathil hingga membingungkan umat Islam dalam memilih) dan taghrib (pembaratan dunia Islam dengan mendorong umat Islam agar menerima pemikiran dan budaya Barat, seperti sekulerisme, nasionalisme dan sebagainya). Secara teknis, antara lain melalui kaderisasi putra-putri terbaik Islam dengan memberikan beasiswa untuk belajar Islam di negeri Barat, yang tentu saja penuh distorsi. Dengan "bekal" legalitas intelektual, sepulang dari study, kader-kader tersebut akhirnya lebih banyak menyuarakan islam versi Barat, didukung hegemoni musuh akan media massa, menjadikan mereka cepat melejit dan selalu menjadi referensi umat untuk klarifikasi atas wacana keislaman yang aktual. Kadang hal itu tidak disadari oleh mereka, karena yang rusak pola pikirnya (tashowwur). Fitnah syubuhat (kesamaran, keraguan akan prinsip Islam) akhirnya "mewabah", sebagai efek domino dari invasi tersebut. Tragisnya, reaksi balik dari ulama' yang hanif dan kredibel tidak seimbang, tampaknya disamping karena tidak didukung sarana/kemampuan teknis yang memadahi, juga diakibatkan lemahnya iradah.
Natijahnya, saat strategi imprialisme modern berlangsung lama, disadari atau tidak, sebuah kekalahan menimpa negeri muslim hampir pada setiap lini kehidupan, mulai dari menjangkitnya paham nasionalisme sekuler di kalangan muslim yang berujung dengan mencampakkan hukum Allah, fitnah syubuhat, krisis akhlak yang akut, kekayaan alam yang sudah terkeruk hingga menghantarkan masyarakat muslim pada jurang kebangkrutan, kebodohan, dan ketertinggalan, serta ketergantungan.
Di antara "prestasi" spektakuler kerja sama Yahudi Nasrani adalah tumbangnya lembaga Khilafah Turki Utsmani. Kamal at-Taturk, "pemimpin masa depan", demikian mereka menjuluki, resmi membubarkan dan menggantinya dengan sistem sekuler 13 Maret 1924, setelah sebelumnya tampil sebagai sosok pahlawan yang dielu-elukan karena dianggap telah mengembalikan kewibawaan Turki dari kekalahan memalukan pada PD I 02 Agustus 1914 M. Tentu itu sekenario yang disiapkan dengan membuat perang jadi-jadian yang berakhir pada kemenangan Kamal, sebuah modus yang biasa dilakukan, baik dalam perjuangan idiologi maupun politik.
Secara kauniyah, bahwa permusuhan itu (Islam vs Yahudi dan Nasrani) berkesinambungan hingga kini, misalnya dapat dilihat pada tragedi-tragedi yang menimpa umat Islam di banyak belahan dunia seperti Palestina, Bosnia, Kosovo, Chechnya, Kasymir, Moro, Ambon, Poso, dan sekarang Afghanistan, disamping perang pemikiran yang juga masih berlangsung.
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al Baqarah: 217)
No comments:
Post a Comment