Di sana, ada sesosok manusia yang mereka cinta sepenuh nafas di raga, Nabi Muhammad SAW. Dari bibir manisnya, sebuah seruan indah bergaung dengan sempurna. Angin sahara menyemilirkan sabda Rasulullah ke setiap gendang telinga para sahabat yang terpanggil untuk pergi. Bukan sembarang pergi, karena berperjalanan menempuh banyak lembah kali ini tidaklah untuk bersenang. Nabi yang Ummi, kekasih yang sungguh mereka cintai dengan begitu benderang, mengembankan sebuah amanah. Berjihad.
Hari itu di bulan Jumadil Awal tahun ke delapan Hijrah (629M), para sahabat yang begitu merindukan surga sebagai tebusan kehidupan fana dunia, menyambut seruan nabi mulia dengan berserpih kesungguhan. Alangkah indah bisa menjadi para mujahid pemberani pembela agama dengan jaminan pasti dari manusia mempesona seperti Muhammad. Sejarah menorehkan sebuah kisah pembunuhan utusan Muhammad, oleh gubernur Heraklius di Bushra. Itulah muasal genderang panggilan jihad. Para ksatria pilihan Al-Musthafa berjumlah 3000 orang. Mereka semua adalah para sahabat yang tangguh dan telah banyak melakukan peperangan. Al-Musthafa menunjuk Zaid bin Haritsh sebagai panglima.
Sebelum pergi, mereka mendengar untaian pesan nabi. Sebuah taklimat yang mereka patri dalam-dalam di relung dada:
Sebelum berderap menuju medan pertempuran, mereka masih juga mendengar dengung indah lantunan perintah Rasulullah, yang disemat baik-baik oleh para perindu surga :
"Jangan bunuh anak kecil,jangan bunuh perempuan,jangan menebang pepohonan,dan janganlah engkau menghancurkan rumah tempat bernaung"
Mereka pergi dengan banyak tengadah, kepada yang Maha Perkasa. Mereka berbaris menjauhi Madinah dengan banyak pinta yang dilantunkan oleh kaum Muslimin, semoga para ksatria kembali dengan membawa kemenangan.
Berita keberangkatan pasukan muslimin sudah terlebih dahulu sampai. Pihak musuh saat itu bersiap penuh. Penguasa Heraklius mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah di sekitar Syam. Selain itu didatangkan juga bantuan tentara yang terdiri dari orang Yunani dan orang Arab. Sejarah mengisahkan jumlah pasukan Rumawi yang bersiaga mencapai dua ratus ribu orang. Ketika mengetahui jumlah yang akan dihadapi begitu jauh dari perkiraan, banyak dari para sahabat yang merasakan kekhawatiran. Namun, Abdullah bin Rawahah yang dikenal berani dan suka bersyair itu dengan lantang berkata:
"Saudaraku, apa yang tidak kita senangi, justru itu yang kita cari sekarang ini, kita memerangi mereka bukan karena kehebatan senjata, bukan karena kekuatan dan juga bukan karena jumlah yang besar. Kita perangi mereka hanya karena kita mencinta agama yang dengannya Allah memuliakan kita. Marilah saudaraku, kita maju. Kita rengkuh satu dari dua pahala : menang atau mati syahid". Dan semangat para sahabat kembali menyala. Dengan mengucap basmalah, mereka kembali maju mendekati musuh.
Di perbatasan Balqa', desa Masyarif, akhirnya kedua pasukan bertemu, kaum Muslimin mengelak ke daerah Mu'tah sebuah desa di pinggiran Syam yang mereka anggap dapat dijadikan kubu pertahanan. Perang berkecamuk. Mu'tah mengabadikan keagungan iman para ksatria yang melawan dengan jumlah musuh tak sebanding. Zaid sebagai panglima melesat ke tengah peperangan seperti anak panah lepas dari busur tanpa sedikit keraguan pun. Kematian bukan hal yang ditakutinya, ia merindukan kemenangan atau mati syahid. Helai cinta kepada Al-Musthafa terjalin begitu rapi, hingga Zaid terus mengingat senandung jaminan manusia berparas mempesona, masuk surga. Zaid terus bertempur, mengayun pedang, mengejar musuh dan mempertahankan bendera. Namun badannya tak mempunyai mata, beberapa tombak tak kuasa ia elak.
Tombak-tombak musuh kian memburunya. Zaid tersungkur, wajahnya mencium jelita pasir yang bersimbah merah. Bendera tetap berada dalam genggaman. Ia rasakan tubuhnya semakin ringan, padahal kulitnya tak lagi sempurna, tak ada celah selain robek akibat ratusan tombak para sang durja. Sejeda kemudian, ada nafas terhembus dari raga sang panglima. Degup jantungnya berhenti, tak ada lagi denyut nadi. Panji Islam, tertancap agung di sebelahnya. Kibarnya mengangkasakan ruh yang disambut para bidadari dari surga. Kekasih Rasulullah pergi, temui Rabb yang Maha Tinggi.
Ja'far melesat mengais bendera dan kini bendera berkibar di tangan pemberaninya. Kecamuk perang kian berdentang. Pedang beradu pedang, tombak melayang tak kenal arah, kepala terpenggal, dada tertembus, belum lagi pekikan. Dan pabila terdengar gema Allahu Akbar, maka semakin banyak dada para pemberani membusung menjemput musuh. Bau amis menyeruak pengak. Ja'far melaju ke tengah kancah. Tak ada rasa takut yang hinggap, ia menyambut para penyerangnya.
Mu'tah bersaksi, banyak bibir sahabat tersenyum menyongsong penghilang kesenangan. Tak terkecuali dengan sang pengganti panglima, Segera ia melompat dari kuda kebanggaan. Sekali tebas, kaki-kaki kekar kudanya telah terbelah. Bukan, bukan ia tak mengenal kasih sayang, ia hanya khawatir kudanya kelak menjadi tunggangan musuhnya. Kini ia berada di pepasir Mu'tah, mengayun pedang dan mempertahankan bendera. Panji kebangggan Islam, terus terbumbung di angin sahara. Bau udara tak lagi sama. Ja'far terus menyongsong pasukan Rumawi sepenuh keimanan dalam hatinya. Sebuah syair ia bumbungkan ke angkasa. Deru angin membantu menghantar syairnya menembus langit dan pendengaran para prajuritnya :
Oh semerbak surga kian mendekat, segar dan sejuk gemericik air minumnya. Ada banyak kemilau tahta di sana. Dan Rum, Adalah Rum yang dekat azabnya, Kafir dan sangat jauh hubungan nasabnya. Bila bertemu, ku kan segera memenggal mereka
Detik selanjutnya, sebilah pedang terhunus merenggut sebelah tangan kanan pemegang bendera. Ja'far mundur. Tangan sebelah kirinya masih sempurna, wajah tampan yang mirip dengan raut Rasulullah itu masih tersenyum meraih panji kebanggan. Ia kembali melesat, menerjang pasukan berbaju besi. Dan kali ini tangan yang sebelah kiripun putus, dibabat penuh sang durja dari Romawi. Apakah Ja'far menangis pedih? Tidak, ia masih saja menerbangkan senyum kesyukuran, panji Islam tak boleh jatuh. Ia mendekap amanah Rasulullah dengan sisa tangan dan dadanya. Panji tetap berada di ketinggian. Ja'far memandang kibar bendera di angkasa, membayangkan seraut wajah yang melimpahinya kesayangan, wajah rembulan Al-Musthafa. Ingin sekali ia melaju lagi, namun badannya kini terbelah, pedang musuh begitu pongah. Pepasir Mu'tah menyambut sang syuhada. Ja'far rubuh menyusul panglima pertama. Awan berarak, udara bergerak, suara semakin memekak, namun tubuh Ja'far sunyi.
Setelah Ja'far syahid, Abdulllah bin Rawahah lah yang kini menyambut panji amanah Rasulullah. Dengan berkuda ia meraih bendera, sementara ia berfikir untuk turun, ia ragu sejenak. Mengenang sang pemberi amanah, langsung ia mengenyahkan keraguan dalam hatinya. "Kenapa engkau masih membenci surga wahai Abdullah," itulah yang dikatakannya kepada dirinya sendiri. Dengan hati lapang, ia maju sebagai panglima yang ketiga. Dan ternyata pilihannya tidak salah, ia pun syahid menyusul panglima-panglima kebanggaan Rasulullah.
Akhirnya setelah syahidnya Abdullah maka para sahabat melakukan pemilihan pemimpin pasukan, dan jatuhlah pilihan kepada bahu Khalid bin Walid yang terkenal ahli strategi perang. Khalid yang melihat kekuatan musuh begitu tangguh sedangkan semangat pasukan muslim kian melemah, mengatur siasat. Anak buahnya di posisikan berpencar dengan jumlah yang kecil. Posisi itu memanjang dan berada di belakang sisa pasukan. Ketika pagi tiba, pasukan yang berpencar itu melakukan hiruk pikuk yang riuh rendah hingga menimbulkan kesan bala bantuan datang dari pasukan Nabi. Dan memang kesan itu membuat gentar pihak musuh, mereka berfikir beribu kali untuk melakukan pertempuran. Pihak Rumawi kemudian memerintahkan pasukannya mundur. Hingga kesempatan ini digunakan Khalid juga untuk menarik pasukannya kembali ke Madinah. Pertempuran ini tidak memberikan kemenangan bagi ke dua belah pihak. Pasukan Muslimin pulang tanpa kemenangan dan juga kekalahan.
***
Berita petaka Mu'tah, segera sampai. Nabi berduka. Bergegas, langkahnya menuju rumah para panglima yang menjadi syuhada.
Tiba di rumah Zaid bin Harits yang merupakan anak angkatnya, saat itu tak seperti biasanya Nabi menangis atas sebuah kematian, hingga para sahabat yang menyaksikan bertanya-tanya dan khawatir. "Duhai manusia pilihan, mengapakah engkau menangisi sebuah kepergian?" tanya mereka kepada Nabi. Lembah madinah menjadi saksi, ketika bibir manis sang Al-Musthafa mendendangkan sebuah jawaban: "Ini adalah tangisan seorang kekasih kepada kekasihnya".
Untuk Ja'far, Al-Musthafa menggemakan suaranya di lengang udara "Aku, Muhammad, telah melihat Ja'far bersenang dalam Jannah memiliki dua sayap berbulu putih, berlumur darah".
Dan untuk mereka bertiga, yang telah syahid sebagai panglima, sebagai ksatria di taman sejarah, dalam satu peristiwa yang sama, dalam ekspedisi Mu'tah. Nabi berkata, "Mereka telah diangkat ke surga dan berada di ranjang emas".
***
Berbahagialah para perindu surga seperti mereka. Tidakkah kita menginginkan kenikmatan bertemu bidadari yang menurut Nabi, kerudung yang menyapu kepalanya saja tak pernah akan sebanding dengan keindahan yang pernah kau saksikan di dunia. Tidakkah kau memendam keinginan untuk tamasya ke sana? Menjumpai bidadari. Membuktikan syair Ibnul Qayyim dalam kasidahnya:
Kami bidadari jelita, Abadi..., suci..., pelepas dahaga Pandanglah kami, dan kau kan mampu berkaca Untuk apa ada sebening cermin Jika ada pipi merona Dan senyuman mutiara Pasangan kami Orang yang mulia
***
sumber: elazhar.net
No comments:
Post a Comment