21 February 2006

Majalah Playboy: Resultasi Ekstrimisme Liberal



Bencana alam di berbagai belahan bumi pertiwi yang datang bertubi-tubi ternyata masih belum cukup memberikan penderitaan bagi rakyat Indonesia. Kepedihan atas bencana alam ini masih akan ditambah dengan bencana moral yang dalam waktu dekat diprediksi juga akan menimpa. Dan sejatinya, bencana moral ini akan lebih memedihkan dari bencana alam apapun, sebab bencana moral ini akan melahirkan situasi peradaban hewani. Situasi inilah yang akan disongsong menyusul terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia, bentuk bencana moral di atas.


Pada bulan November 2005, majalah Playboy edisi Indonesia ini telah mendapat izin untuk terbit. Majalah porno yang dikelola oleh kerajaan bisnis Hugh Heffner Amerika Serikat ini rencananya akan terbit pada Maret 2006 nanti.


Dari berbagai respon yang mengemuka mayoritas menyatakan tidak setuju dengan rencana akan diterbitkannya majalah ini. Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, telah menyatakan dengan tegas akan ketidaksetujuannya, termasuk Muhammadiyah. Bahkan, Majlis Ulama Indonesia (MUI) sudah mempertimbangkan fatwa haram bagi umat Muslim Indonesia membeli dan membaca majalah tersebut (www.hidayatullah.com, edisi 27/01/06).


Pada tataran fikih (hukum Islam), majalah jenis ini sudah memiliki kejelasan hukum: haram! Dari proses awal pengambilan foto yang dilakukan dalam keadaan telanjang hingga dampak yang ditimbulkan. Dalam hal ini, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama, Atho` Mudzhar, menganggap bahwa majalah Playboy yang termasuk menyebarkan pornografi sama dengan cakram digital (VCD) porno. Jadi, dampak negatif yang ditimbulkan juga pasti sama dengan dampak VCD-VCD porno. Sedangkan realita informasi media banyak memberitakan kasus aksi kriminal, seperti pemerkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual lainnya diakibatkan karena sering menonton VCD porno.


Dilihat pada tataran situasi sosial Indonesia saat ini, kebijakan pemerintah ini memang cukup janggal. Ditengah carut-marutnya kompleksitas problema sosial, ekonomi dan politik ternyata majalah yang tidak mendidik ini justru mendapat izin untuk terbit, hanya dengan dalih kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM) dan seni. Dalam hal ini, benar sekali komentar Ma’ruf Amin, ketua komisi fatwa Majlis Ulama Indonesia. Dia menyatakan, paradigma berpikir tentang kebebasan seni dan HAM perlu dilakukan perubahan, karena sementara ini seringkali dalih kebebasan ini membawa dampak yang mengganggu stabilitas nasional. Apalagi sebuah kebijakan yang melegalkan industri pornografi, semacam izin untuk majalah ini.


Bila kebebasan diartikan sebagai kebebasan ekspresi di semua lini (liberal) justru akan mencekik produk sosial unlimited. Semacam konsep bebas yang ditawarkan Fredrick W. Nietzche yang menganggap agama sebagai virus. Konsep ini akan melahirkan sebuah situasi bebas tanpa batas, termasuk ‘rubrik’ telanjang di depan umum. Padahal, dalam kondisi bagaimanapun manusia pasti masih membutuhkan tuhan. Buktinya, Nietzche sendiri masih seorang figur liberal yang abu-abu, karena masih mengakui eksistensi The Real (Yang Maha Nyata). Artinya, konsep bebas semacam ini tetap tampak sebagai ‘ikon’ yang tidak lurus dan tidak relevan dengan realita. Pada akhirnya, pemaknaan ini akan menjebak manusia pada titik ekstrim liberal dan merambah pada lahirnya era posmodernisme.


Tanda awal hadirnya era posmodernisme ini adalah lahirnya proses penelanjangan tanpa batas terhadap suatu nilai di tengah-tengah kompleksitas modern utopis. Posmodenisme ini memiliki dua bentuk. Pertama, posmodernisme dekonstruktif, yang menekankan pada penentangan kepada segala bentuk otoritas, pengekangan, dan pembatas (hukum, aturan dan agama) demi untuk memperoleh kebebasan ekspresi dan pembebasan hasrat secara total. Posmodern inilah yang dianut Nietzche di atas. Posmodernisme jenis ini secara totalitas berupaya melepaskan diri dari kungkungan dalam bentuk apapun dan sebagai titik klimaks liberalitas.


Kedua, posmodernisme rekonstruktif, yang menekankan pada penghargaan secara positif akan keanekaragaman, dialog, heterogenitas, dan pluralitas. Dalam konteks Indonesia, posmodernisme jenis ini adalah ‘madzhab’ para liberalis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kental dengan konsep teologi inklusif pluralisnya, walaupun masih dengan komitmen yang abu-abu pula.


Dua arus ini mengawali dirinya dengan konsep ‘tanpa batas’. Secara gamblang, resultasi (hasil) konsep bebas dengan pemaknaan semacam ini sudah bisa ditebak: lahirnya peradaban hewani! Dimana –dengan atas nama kebebasan- siapapun boleh berekspresi sekehendak hati, tanpa ada otoritas apapun yang menghalangi, termasuk agama. Dan pengatasnamaan ini yang dijadikan dalil para pembela terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia. Padahal, jelas sekali bahwa karakter majalah ini adalah eksploitasi tubuh wanita dengan memamerkan pose-pose panas.


Kesimpulannya, paradigma pikir liberal dengan dalih kebebasan berekspresi ini adalah bentuk upaya mentuhankan manusia dan memanusiakan tuhan, memberikan hak penuh secara bebas kepada manusia untuk menentukan jalannya sendiri dan menjauhkan nilai-nilai normatif reliji dari kehidupan (sekular). Sampai di sini, jelas sekali bahwa pemaknaan kebebasan dalam mainstream pengelola dan pembela majalah ini adalah pemaknaan ala Barat yang sangat tidak relevan dengan karakter budaya Indonesia.


Upaya mereka menerbitkan majalah porno ini di Indonesia adalah upaya mencengkramkan hegemoni Barat di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan arti, muslimin Indonesia akan dipaksa kalah 1-0 di kandang sendiri
.

No comments: