27 February 2006

Tunangan, Perlukah? Bagaimana Agama Memandangnya?


"Lebih baik tunangan dulu" itulah kata-kata yang disarankan pada orang yang mau berpisah baik sebab meneruskan study ke luar negeri, tugas ke luar kota atau karena cuma takut kekasihnya dibuat rebutan. Tunangan memang telah membudaya di Negara kita Indonesia, tradisi ini sangat melekat di hati masyarakat, sehingga hampir disemua akad pernikahan didahului dengan ikatan tali pertunagan.

Model pertunangan yang yang mewarnai masyarakat kita berbeda antara satu dengan yang lain, ada yang cukup dengan pertukaran cincin yang disertai dengan persetujuan kedua mempelai tanpa melibatkan orang lain, ada juga yang membuat pesta besar-besaran, model ini hampir menyaingi pesta perkawinan dengan melibatkan semua kelurga baik yang jauh maupun yang dekat dan juga mengundang orang sekampung untuk mengikuti acara selamatan bagi pasangan yang akan menjalin keluarga baru. Bahkan saking girang dan bahagianya banyak dari pihak mempelai pria yang telah memberikan maharnya sebelum akad pernikahan dilangsungkan, begitu juga menghadiahkan sepasang baju cantik dan barang-barang indah lain untuk kekasih tunangannya.

Budaya pertunangan ini ada yang sukses sampai ke jenjang tali perkawinan, namun ada juga yang kandas ditengah jalan tanpa membuahkan hasil yang mereka idam-idamkan dan tak jarang malah menimbulkan sengketa antar keluarga, sudah menjadi rahasia umum pertunangan yang batal adalah ajang percorengan reputasi.

Banyak pihak mengatakan bahwa pertunangan banyak nilai positifnya, sehingga mereka menganggap tunangan itu perlu sebagai langkah awal menuju pernikahan, sebab pernikahan itu bukan sekedar menyatukan dua mempelai melainkan dua keluarga besar, kalau ada pertunangan insyaAllah komunikasi dua keluarga akan terbuka lebar, sehingga ada waktu untuk penyesuaian diri. Otomatis persiapan pernikahan juga akan lebih mantap.

Namun ada juga yang mengatakan tidak perlu adanya pertunangan, karena kebanyakan tunangan kandas di tengah jalan dan tidak berakhir di titik tali perkawinan, pihak keluarga sudah banyak direpotkan belum lagi urusan menanggung malu dan timbulnya konflik antara keluarga. " kalau sudah jodoh tidak akan lari kemana, ngapain harus tunangan…? Nikah aja bisa cerai apalagi tunangan…! Itulah omongan mereka.

Lalu bagaimana pandangan syara’ dalam menyikapi masalah ini, marilah kita simak sikap dan komentar Ulama' di bawah ini :

Hukum Pertunangan (Khitbah).

Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan.

Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.

Syarat-syarat Khitbah

Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini:

  1. Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahrom), tunggal susuan (rodloah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
  2. Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya ". Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.

Menikahi Wanita Tunangan Orang Lain

Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia.

Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, mungkin sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.

Mayoritas ulama' mengatakan bahwa akad nikah tersebut sah-sah saja, sebab akad tersebut telah terpenuhi syarat-syarat dan sesuai dengan rukun-rukunya, obyek larangan hadits di atas tertuju pada khitbah, sedangkan khitbah sendiri tidak termasuk rukun apalagi syarat akad nikah bahkan khitbah adalah di luar batas akad nikah. Inilah qaul yang mu'tamad (yang dibuat pegangan).

Berbeda dengan pendapat madzhab Dhohiriah, Mereka mengatakan akad tersebut batal walaupun kedua mempelai telah melakukan hubungan layaknya suami istri ( jima').

Lain lagi dengan pendapat Malikiah, dalam masalah ini mereka mengemukakan tiga qaul yaitu :

  • Sependapat dengan mayoritas ulama'.
  • Sependapat dengan madzhab Dhohiriah.
  • Wajib difash (dibatalkan) jika kedua mempelai belum melakukan hubungan layaknya suami istri (jima'), bila sebaliknya maka nikahnya tetab berlangsung dan dianggab sah.

Pembatalan Tali Pertunangan dan Imbasnya

Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang kurang mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali pertunangan hingga pudar tidak karuan.

Ulama' berpendapat boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.

Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka dan kobaran api yang selalu membakar emosi, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang, dalam hati terusik rasa ingin menuntut semua pemberian yang telah dihadiahkan pada mantan kekasihnya. Lalu bagaimana sikap ulama' menanggapi masalah ini?

Kalau pemberian itu berupa mahar, maka pihak mempelai pria berhak meminta kembali dan wajib bagi mempelai wanita untuk mengembalikanya, jika mahar tersebut masih utuh, dan bila mahar sudah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya (harganya) atau dengan mengembalikan semisal bila mahar berupa mitsliyat (barang yang modelnya sejenis seperti beras dan lain-lain).

Akan tetapi jika pemberian itu bukan berupa mahar melainkan bersifat hadiah atau bentuk pemberian lainnya, maka terjadi khilaf di antara ulama' :

  • Sebagian ulama' (Syafiiyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
  • Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.

Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain.

Wanita Melamar Pria

Biasanya prialah yang menentukan pilihanya pada seorang wanita, inilah adat di Negara kita dan budaya ketimuran pada umumnya, sebab mayoritas wanita dihiasi perasaan malu yang tinggi dan enggan mengutarakan isi hatinya, justru karena tabiat inilah yang membuat kaum lelaki tertarik dan ingin segera mempersuntingnya. Namun juga sering terjadi pihak keluarga mempelai wanita yang memulai jalinan tali pertunangan dan bahkan banyak wanita yang berani mengungkapkan cintanya pada sang pria.

Memang ini bukan hal yang baru atau imbas dari era modern, namun budaya ini adalah warisan nenek moyang kita, karena masalah ini sudah berjalan di zaman Nabiyullah Suaib a.s. tertera dalam Al Qur'an surat al-Qishos ayat 27 bahwa Nabiyullah Suaib a.s. pernah menawarkan puterinya pada Nabi Musa as. Begitu juga di zaman Rasulullah saw. ketika Ummul mukminin Khodijah ra. Mengungkapkan cintanya terhadap Rasulullah dan memohon agar Rasulullah berkenan menikahinya.

Penutup

Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah dilupakan.

Dengan demikian penulis cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan seperti yang disampaikan Roslina psikologi dari Empati Development Center, diantaranya sebagai berikut :

  1. Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan perkawinan terlalu lama.
  2. Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
  3. Menikah dengan motivasi yang positif.
  4. Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
  5. Status pendidikan dan penghasilan pasangan.

Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.

Daftar referensi:

  1. Al Qur'an Al Karim.
  2. Sohih Al Bukhori.
  3. Sohih Al Muslim.
  4. Al Ahkam Al Usroh fi As Syariah Al Islamiah / Dr. Ahmad Al Qulaisi.
  5. Sumber-sumber lainya.

Oleh: Habibul Huda bin Najid Lc * (alhadrami@sidogiri.com , elhabib@plasa.com), Mahasiswa program pasca sarjana Fakultas Syariah Universitas Al Ahgaff Hadramaut Yaman. sidogiri online

No comments: