Mengkritisi Ide Dasar Islam Liberal
Islam Liberal dianggap sebagai suatu respon otentik Islam dewasa ini dalam mengapresiasi gagasan-gagasan terbaik liberalisme Barat. Charles Kurzman, profesor sosiologi agama di Universitas North Carolina, memperkenalkan istilah atau gerakan baru di dunia Islam ini dalam bukunya Islamic Liberalism (Buku ini telah diterjemahkan oleh Penerbit Paramadina-Jakarta dengan judul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global). Sebenarnya, Kurzman bukanlah yang pertama. Sebab, sebelumnya telah muncul Leonard Binder yang mencoba menyodorkan paham tersebut dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies.
Dalam gagasan Kurzman, ada tiga gagasan mendasar Islam Liberal, yaitu: syari’at liberal (liberal shari’a), syari’at diam (the silent shari’a) dan syari’ah diinterpretasi (interpreted shari’a). Syari’at liberal yang dimaksudkannya adalah bahwa wahyu-wahyu al-Qur’an dan contoh-contoh Nabi memerintahkan muslim untuk mengikuti posisi liberal. Sementara, ada beberapa perkara yang didiamkan oleh syari’at sebenarnya bukan karena wahyu tidak lengkap melainkan wahyu membiarkan manusia untuk memilihnya sendiri. Dan, syari’at diinterpretasi menyemangati bahwa perbedaan keberagamaan merupakan suatu hal yang niscaya, bukan hanya antara komunitas agama tapi juga dalam Islam itu sendiri. Dari ketiga gagasan mainstream tersebut terlihat benang merahnya adalah menjadi manusia liberal baik dalam membuat syari’at maupun menginterpretasikan wahyu sesuai pilihan masing-masing manusia. Dan, itu adalah liberalisme (paham serba bebas). Jelaslah bahwa kata liberal (bebas) dalam konteks Islam Liberal bukanlah maknanya sebagai bebas merdeka (hurriyah) dari penyembahan manusia lalu hanya mengabdi kepada Allah SWT. ( ‘ubûdiyyah). Tapi, bebas untuk menginterpretasi, merubah, menakwilkan, membuang, memberlakukan atau tidak, bahkan membuat syari’at. Hal ini akan jelas dengan mengikuti tulisan-tulisan mereka yang menjadi penyokongnya.
Di Indonesia, gagasan liberal seperti itu dipropagandakan oleh kelompok yang kini menamakan dirinya sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL). JIL didirikan hampir sekitar setahun lalu dengan slogan “Menuju Islam Yang Membebaskan”, bertujuan untuk: memperkokoh landasan demokratisasi melalui penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan humanisme; membangun kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan terhadap perbedaan; mendukung gagasan penyebaran pemahaman keagamaan (terutama Islam) yang pluralis, terbuka, dan humanis; mencegah agar gagasan-gagasan keagamaan yang militan dan pro kekerasan menguasai publik.
Kelompok atau komunitas ini didirikan memang dengan latar belakang yang sangat kental mengandung unsur kecemasan dan bau rivalitas terhadap apa yang mereka sebut kelompok fundamentalis atau militan yang mereka tengarai mulai marak akhir-akhir ini. Simaklah, dalam halaman “Latar Belakang” di situs www:Islamlib.com yang memuat latar belakang berdirinya Jaringan Islam Liberal, disebutkan: sudah tentu bila tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan-pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini, jika benar terjadi, akan mempunyai akibat yang buruk buat usaha-usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab, pandangan-pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan dengan kelompok agama yang ada, sebut saja antara Islam dan Kristen. Jika ketegangan itu terus muncul, karena kecurigaan yang ditimbulkan oleh pandangan keagamaan yang keliru, maka sudah pasti akan menimbulkan kesulitan dalam membangun suatu kehidupan “koeksistensi” yang damai di antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada…… Untuk mencegah kecenderungan “yang tidak sehat” ini terus berlangsung, maka harus ada upaya untuk melakukan kampanye yang militan guna mendukung dan mengembangkan gagasan-gagasan keagamaan yang terbuka, pluralis dan humanis.
Siapapun yang membaca secara lengkap apa itu JIL -sebagaimana yang mereka paparkan sendiri- akan mengetahui bahwa pada mulanya sudah terdapat satu pendirian yang diyakininya, yaitu sekularisme yang melahirkan demokrasi dan pluralisme dengan slogan inklusivisme. Namun, di hadapannya terdapat orang-orang ikhlas yang ingin merubah tatanan yang hancur, kacau, dan penuh kezhaliman akibat sistem sekularisme dan liberal yang diterapkan di dunia Islam dengan hukum-hukum Islam sebagaimana yang terdapat didalam wahyu Allah SWT. Karenanya, logis bila muncul pemikiran untuk mencari jalan agar gagasan dasar sekularisme tadi mendapatkan justifikasi dari Islam. Untuk itu, diusunglah Islam Liberal. Simaklah salah satu ungkapan tegas Denny JA, salah seorang kontributor Islam Liberal, dalam situsnya. “Oleh karenanya sudah saatnya kita mengembangkan satu teologi negara sekuler demokratis yang langsung mendapat justifikasi dari prinsip-prinsip Islam,” ungkapnya.
Empat Agenda Yang Membebaskan?
Mereka yang mengklaim Islam Liberal memiliki empat agenda. Agar menarik diklaim sebagai agenda yang membebaskan. Luthfi asy Syaukani dalam tulisannya Empat Agenda yang Membebaskan menulis keempat agenda itu, yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi. Dalam masalah politik, yang dimaksud dengan agenda ini adalah sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku. Di mata Islam Liberal urusan negara semuanya diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslim. Negara bukan wewenang agama. Di bidang toleransi, bukan hanya sekedar menghargai keagaaman orang kafir melainkan juga memandang bahwa semua agama itu sama. Sama-sama masuk sorga. Sama-sama berserah diri. Sementara itu penafsiran tentang hukum waris yang qath’iy, jilbab dan poligami dianggap sebagai penghinaan terhadap perempuan. Dan, kebebasan berekspresi atau berpendapat dimaksudkan agar setiap orang bebas berbuat apa saja termasuk tidak beragama.
Dalam memecahkan semua ini, menurutnya, kaum muslim dituntut melihat keempat agenda ini dari perspektif mereka sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan kontradiksi ketimbang penyelesaian yang baik. Pernyataan ini lebih menegaskan bahwa Islam yang diterapkan bukanlah Islam yang dipahami Rasul dan para sahabatnya serta al-Qur’an yang ditegakkan Rasulullah Saw saat itu. Sebab, hal tersebut merupakan pergumulan mereka untuk menyelesaikan persoalan pada jamannya.
Cara berpikir seperti ini sebenarnya merupakan cara berpikir tipikal ideologi kapitalisme Barat. Ideologi kapitalisme memandang manusia hidup di suatu masyarakat dikarenakan adanya persamaan kepentingan. Mereka menetapkan mana yang disepakati benar dan mana yang disepakati keliru. Jadilah hukum. Setiap ada persoalan yang muncul, masyarakat berupaya untuk memecahkannya berdasarkan pandangannya terhadap persoalan tersebut. Karenanya, masyarakat 100 tahun lalu apalagi 1400 tahun lalu menyelesaikan masalah menurut persepsinya sendiri. Tentu, berbeda dengan persepsi masyarakat sekarang. Begitu, pandangannya.
Padahal, realitasnya berbagai problem kehidupan itu sama. Yang berbeda hanyalah bentuknya saja. Ambil contoh mencuri, dari dulu hingga sekarang yang namanya mencuri sama. Bedanya, kalau dulu mencuri kurma, sekarang mencuri TV; kalau dulu menggunakan kuda, sekarang menggunakan mobil. Begitu pula manusia. Dari dahulu manusia itu tetap karakternya. Punya rasa lapar, haus, gerah, panas, kedinginan. Punya gharizah baqa (ingin memiliki, ingin dihargai, hasrat memimpin, rasa takut, berani, dan sebagainya), punya gharizah nau’ (mencintai isteri/suami, tertarik pada lawan jenis, terangsang bila melihat aurat, sayang kepada anak, senang keindahan, dan sebagainya), dan gharizah tadayyun (mensucikan Pencipta, lemah, membutuhkan Allah SWT dan sebagainya). Manusia yang hidup 1400 tahun lalu memiliki hal yang sama dengan manusia sekarang. Padahal, aturan dan hukum tersebut merupakan pengaturan terhadap interaksi sesama manusia dengan karakternya yang sama tersebut. Karena itu, Allah SWT menurunkan aturan/hukum kepada seluruh umat manusia, tanpa mengenal perubahan jaman. Hal ini sangat rasional, sebab Allah-lah Dzat Mahatahu dan Mahaadil terhadap manusia ciptaan-Nya itu. Disinilah Allah Rabbul ‘Alamin memerintahkan kaum beriman untuk menerapkan apa saja yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan meninggalkan apapun yang dilarang oleh Nabi akhir jaman itu. “Dan segala apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu, ikutilah! Dan apapun yang dilarang oleh Rasul bagimu, tinggalkanlah!” begitu makna firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr [59] ayat 7. Karenanya, sikap menyelesaikan masalah hukum dengan perspektif sendiri tanpa mengikuti perspektif al-Qur’an dan As Sunnah yang dicontohkan Rasulullah Saw atau menyesuaikan ayat atau hadits dengan perspektif sendiri karena alasan jaman berubah bertentangan dengan perintah Allah SWT yang dinyatakan dalam al-Qur’an tadi. Kalaupun ada kontradiksi yang terjadi antara realitas masyarakat dengan hukum yang digali secara jernih dari Islam bukanlah diakibatkan oleh perspektif yang diambil dari Rasulullah tadi, melainkan dikarenakan sistem hidup yang diberlakukan sekarang bertentangan dengan sistem hidup Islam yang diberlakukan pada masa Nabi Saw.
Melalui cara berpikir ‘bebas’ yang dipegangnya tersebut, teranglah bahwa yang dimaksud dengan ‘empat agenda yang membebaskan’ adalah bebas dari hukum wahyu yang disebutnya sebagai ‘perspektif masa silam’ dan bukan ‘perspektif pribadi’. Dengan kata lain, bebas dari keterikatan terhadap hukum syara. Padahal, Allah Pencipta manusia memerintahkan untuk senantiasa berpegang kepada hukum-Nya. Simaklah firman Allah SWT dalam surat Yûsuf [12] ayat 40: “Tidak ada hukum melainkan milik Allah”. Begitu pula peringatan-Nya: “Tidakkah engkau (Muhammad) melihat orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu beriman pada apa-apa yang diturunkan kepada engkau dan pada apa-apa yang diturunkan sebelum engkau, sementara mereka berkehendak bertahkim (berhukum) pada thaghut. Padahal, merekadiperintahkan untuk kufur pada thaghut tersebut. Dan syaithan berkehendak untuk menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh.” (Qs. an-Nisâ[4]: 60).
Sekularisme Ide Dasar JIL
Pertama Bagaimana sebenarnya pandangan atau pemikiran keagamaan kelompok yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, meski tidak ditegaskan secara resmi dalam situs tersebut, tapi cukup tergambar dari sejumlah artikel dan wawancara yang ada. Siapapun yang mengelaborasi ide-ide kelompok yang dinamakan Islam Liberal akan menyimpulkan bahwa ada dua ide dasar yang diembannya. Pertama, sekularisme, dan kedua, konsekuensi logis dari sekularisme adalah liberalisme.
Yang paling menonjol, disamping pandangan-pandangan teologis yang seperti biasa cenderung mengada-ada dan rada “genit” tapi dianggap oleh mereka sebagai sesuatu yang “progresif”, adalah keteguhannya untuk bersikeras memisahkan agama dari negara (sekularisme). Sekalipun sekularisme acapkali dibedakan dengan sekularisasi, keduanya sama-sama pemisahan agama dari kehidupan. Negara dalam pandangan JIL, haruslah netral dari pengaruh agama apapun. Sementara, agama harus tetap dipertahankan dalam wilayah privat. Begitu agama dibawa ke wilayah publik, apalagi dengan membawa-bawa peran negara, pasti akan melanggar nilai-nilai demokrasi yang memberikan jaminan kebebasan kepada individu dan prinsip eksistensi negara sebagai penjaga harmoni interaksi antar kelompok di tengah masyarakat. Tegasnya, menurut JIL, negara sekuler itu lah yang terbaik. Banyak sekali ungkapannya tentang hal ini. Diantaranya, korban pertama dari penerapan syariat adalah perempuan, pisahkan kehidupan agama dari negara, Islam bukan wewenang negara, terapkan pluralisme dan demokrasi. “Saya kira kita harus memperjelas bahwa agama-agama itu sudah ada sebelum adanya negara. Karena itu, sebetulnya negara tidak mempunyai kompetensi untuk mengatur agama, karena agama ada di atas negara,” ujar Djohan Effendi salah seorang kontributornya. Pendapat ini terlihat menggelikan. Bagaimana tidak, bila memang mengakui agama ada di atas negara maka logisnya negara itu harus diatur oleh hukum agama. Bukan malah sebaliknya menyingkirkan agama.
Lebih dari itu, bahkan menuding diterapkannya syariat Islam akan mendatangkan bahaya, termasuk untuk perempuan. Kontributor JIL lainnya, Muslim Abdurrahman, tanpa merasa dosa menyatakan: “Banyak dampak negatif yang bakal muncul dari pemaksaan penerapan syariat Islam di Indonesia. Dari soal kemiskinan, ketidakadilan hukum, hingga perampasan hak-hak kewarganegaraan akibat sentralisme kekuasaan pada hanya satu penafsiran. Korban pertama yang bakal muncul akibat penerapan syariat Islam itu adalah kaum perempuan.” Karena, menurutnya, “banyak sekali regulasi dalam Islam yang membatasi ruang gerak kaum perempuan.”
Oleh karena itu, komunitas JIL sama sekali menolak keinginan sejumlah elemen dari umat Islam yang menuntut penerapan syariah Islam di Indonesia, meski terbatas hanya untuk umat Islam sekalipun. Sekali lagi, penerapan syariah oleh negara berarti telah melanggar prinsip netralitas negara yang harus menjaga prinsip-prinsip non diskriminasi dan equality (kesamaan) diantara seluruh warga negara. Meski hanya khusus untuk umat Islam, penerapan syariah juga tetap dipandang JIL telah melanggar hak pribadi untuk memilih dalam sikap beragama.
Benarkah demikian? Orang yang memahami al-Qur’an dan As Sunnah akan memandang sebaliknya. Banyak sekali contoh tentang hal ini. Jika kita pikirkan antara masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum Islam dengan masyarakat yang permisif dan kacau, yang didalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah akibat paham serba bebas (liberalisme) dan sekularisme; hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba); maka bagaimanakah kesimpulannya? Tentu, masyarakat jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Sedangkan yang kedua pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup semau gue, di hutan belantara dengan hukum rimba, yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (lihat Qs. al-A’râf [7]: 179). Tapi, anehnya, masyarakat masih ada yang ikut-ikutan memandang bahwa masyarakat sekuler yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern (lebih tepatnya ‘sok modern’), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional, konservatif, bahkan ‘primitif’.
Dalam kenyataannya, politik sekuler memang meremehkan nilai agama dan memandang agama sebagai masa lalu yang sudah tidak lagi memiliki peran dalam masalah publik. Dalam kehidupan pribadi sekularisme agama boleh jadi masih ada, tapi dalam kehidupan publik agama dinilai akan memutar jarum jam ke belakang. Akibatnya, sekularisasi manusia beserta materialisasi dan humanismenya mendekonsekrasi nilai-nilai kehidupannya; dan pada gilirannya mendewakan manusia itu sendiri. Bila manusia sudah mendewakan dirinya sendiri, ia akan kehilangan kontrol dan daya pembeda (furqân) antara yang haq dan batil, antara yang terpuji dengan yang tercela. Apalagi dibarengi dengan paham machiavellis.
Berbeda dengan itu, Islam menyatukan antara materi dengan ruh, antara kehidupan masyarakat dan negara dengan Islam. Islam menolak tegas sekularisme ataupun sekularisasi. Setiap gerak-gerik manusia wajib diatur oleh aturan Islam (lihat Qs. al-An’âm [6]: 162). Islam tidak mengenal pemisahan istilah kaum rohaniawan (rijâl ad dîn) dan negarawan (rijâl ad dawlah). Sebaliknya, semua penganut Islam dinamakan muslimun. Karenanya juga, tidak ada pemisahan antara Islam dengan negara. Bahkan, Islam merupakan agama yang salah satu ajarannya adalah negara (Al islâmu dînun minhu ad dawlah). Dalam Islam, pusat segala-galanya adalah Allah Pencipta alam semesta (theosentris).
Dengan menyatukan agama (Islam) dengan kehidupan masyarakat dan negara maka kesadaran akan pengawasan Allah SWT merupakan dasar bagi setiap perbuatan, tindakan, kebijakan dan aturan yang ditetapkan. Takut kepada Allah Dzat Mahaperkasa menjadi pijakan. Karenanya, setiap orang termasuk penguasa tidak akan semena-mena dalam berbuat kezhaliman, tidak mendustai rakyat apalagi mengkhianatinya. Rakyat pun tidak akan rela membiarkan kemungkaran yang dilakukan oleh penguasanya. Pada sisi lain, hukum yang akan berdampak efektif adalah hukum yang diyakini kebenarannya. Padahal, hukum yang diyakini kebenarannya secara penuh adalah hukum yang lahir dari akidah. Dan, itu adalah Islam.
Liberalisme Ide Dasar JIL Kedua
Berikutnya, ide dasar kedua yang diusung JIL adalah liberalisme. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah kebebasan berekspresi/berpendapat sebagaimana disebutkan dalam empat agendanya. Apa yang dimaksudkan kebebasan berekspresi oleh mereka?
Pertama, siapapun boleh memeluk agama apapun atau tidak beragama sekalipun. Konsekuensinya, murtad tidak jadi soal. Dalam pandangannya, semua agama tidak ada bedanya. Simaklah ungkapan pengusungnya yang diwakili Djohan Efendi: “Beragama adalah pilihan sukarela seseorang yang tidak bisa dipaksa-paksa. Siapa saja bebas untuk menentukan agamanya, apakah ia akan memilih Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau agama lainnya. Bahkan, orang juga bebas memilih untuk tidak beragama. Sebab, selama beragama adalah soal keyakinan individual, maka ia tak bisa dipaksakan. Kalau kita memaksa seseorang harus beragama, maka keberagamaan yang muncul jadi tidak tulus,” ujarnya. Orang yang membedakan antara muslim dengan kafir disebut kelompok Islam Liberal sebagai dualistis. Ulil menulis: “Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh sekarang ini. Jalan konfrontasi hanyalah akan menguntungkan orang-orang yang mempunyai pandangan dualistis mengenai kehidupan ini: “Islam” dan “kafir”, baik dan jahat, dan seterusnya.”
Padahal, memang, Allah SWT tidak memaksa seorang kafir untuk masuk Islam dengan cara diancam dengan senjata, misalnya. Di dalam suatu pemeritahan Islam boleh saja ada orang kafir, seperti pada jaman Nabi. Sebab, tidak ada paksaan dalam menganut agama. Namun, ketika seseorang sudah menganut Islam, maka Allah SWT ‘memaksa’-nya untuk mentaati aturan-aturan Islam. Dan, “Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah,” kata Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sayyidina ‘Ali r.a. Juga, Allah SWT melarang murtad: “… Barangsiapa murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 217). Dan, Allah SWT sendiri menggunakan istilah mukmin-kafir ini. Misalnya didalam surat al-Bayyinah [98] ayat 6 dan 7 menyebutkan: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahlu Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.”
Kedua, bebas berbuat karya apapun, apalagi bila sesuatu itu dipandang seni. Kelompok ini menyatakan “Seni tak bisa dihalal-haramkan”, kata Abdul Hadi WM dari kelompok Islam Liberal. “Yang ada dalam seni,” lanjutnya, “adalah indah atau buruk, bukan halal atau haram”. Dengan pandangan semacam ini, maka ketika heboh dua orang mahasiswa di Bandung mengabadikan perzinahannya dalam VCD dianggap sebagai kebebasan pribadi dia. Begitu pula, saat seorang penyanyi wanita membuat klip dengan udel kemana-mana, pinggul digoyang agar merangsang, dikerubuti banyak pria, sambil menyanyikan lagu dianggap sebagai karya seni. Bebas! Gambar yang disebut Nabi Muhammad yang dipampang dalam majalah Newsweek, dalam kacamata ini dianggap karya seni.
Ketiga, bebas menghujat keotentikan al-Qur’an dan menjelek-jelekannya. Juga, sekalipun tidak secara terang-terangan menyatakan tidak beriman pada al-Qur’an, namun memandang bahwa penulisan al-Qur’an yang ditulis sekarang tidak lengkap dan penuh fiksi (cerita bohong) dan mitos. Artinya, al-Qur’an itu perlu diragukan. “…Berbagai kesimpangsiuran, seperti ditunjukkan di atas, memperlihatkan bahwa teori dominan tentang pengumpulan pertama al-Qur’an di masa Abu Bakr adalah fiksi semata… Bagi rata-rata sarjana Muslim, “keistimewaan” rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Qur’an. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos ketimbang prasangka dogmatis. …. Uraian yang diterakan sejauh ini memperlihatkan eksisnya suatu jaringan fiksional yang telah ditenun di sepanjang perjalan historis al-Qur’an…,” kilah Taufik Adnan dari kelompok Islam Liberal.
Keempat, bebas memberi cap negatif (stigma) kepada umat Islam yang berpegang teguh kepada aturan Islam serta memberi sebutan bagus pada diri mereka. Dibuatlah dikotomi Islam tradisional vs modern, Islam moderat vs fundamentalis, Islam legalistik/formalistik vs substantif/normatif, Islam ekslusif vs inklusif, Islam ramah vs garis keras, Islam liberal vs literal, dan seabrek cap lain. Ungkapan-ungkapan ini tidak pernah luput dalam setiap ungkapan dan tulisan mereka. Arahnya mengkotak-kotakkan umat. Cap-cap negatif untuk orang yang ikhlas menerapkan dan membela Islam dengan hati dan pikiran jernih, sedangkan cap-cap yang positif diperuntukkan bagi mereka. Padahal, kategori dalam al-Qur’an itu adalah mukmin-muslim, kafir, munafik, zhalim dan fasik. Mereka yang taat kepada Allah SWT dengan menjalankan Islam itulah mukmin-muslim, merekayang ingkar dialah kafir, orang yang pura-pura beriman padahal sebenarnya ingkar namanya munafik, sedangkan orang yang melakukan dosa secara sembunyi-sembunyi padahal ia tahu bahwa menurut Islam hal itu adalah dosa disebut zhalim, dan orang yang melakukan dosa secara terang-terangan padahal ia tahu bahwa menurut Islam hal itu adalah dosa disebut fasik.
Kelima, bebas menginterpretasikan ayat dengan menggunakan akal semata. Artinya, yang menurut akal sesuai itulah yang benar. Muncullah istilah tafsir humanis, tafsir inklusif, dan lainnya. Sekalipun hasilnya bertentangan dengan teks itu sendiri tidak persoalan, asal substansi tetap ada. Padahal, al-Qur’an itu wahyu dari Allah SWT yang berupa teks (nash). Jadi, hal penting dalam memahami suatu pernyataan apapun adalah teksnya itu, lalu dihubungkan dengan latar belakang (asbabun nuzûl) ayat untuk memahami maknanya bukan malahan untuk mengabaikannya. Betul, Allah SWT sangat menghargai berpikir. Lebih dari 43 al-Qur’an menyebut kata berpikir. Namun, bukanlah berpikir liar melainkan berpikir tentang realitas, memahami nash, lalu menghubungkan antara realitas dengan nash. Realitas sebagai objek hukum, bukan subjek hukum. Karenanya, kebebasan interpretasi masing-masing tanpa berpegang kepada teks al-Qur’an tidak lebih dari sekedar menjadikan al-Qur’an sebagai hiasan semata, alat legitimasi keyainan yang sebenarnya sudah ada.
Itulah ternyata pengertian liberal (bebas) yang mereka usung. Bebas dalam makna tadi, jelas, diperangi oleh Islam. Islam telah menetapkan hukum-hukum yang mengatur perbuatan manusia, baik tindak tanduk maupun perkataannya. Tidak dibenarnya manusia melanggar hukum tersebut, menyimpang darinya dan atau berbuat rusak dan membuat kerusakan (fasad) sekehendaknya. Tidak dibenarkan oleh Islam adanya riddah (murtad), tuduhan dusta, ide-ide bohong, riba, khamr, perjudian, hubungan jenis diluar pernikahan, sebaliknya yang ada adalah kehidupan yang bersih tanpa kezhaliman dan penyembahan manusia terhadap manusia melainkan penyembahan murni semata kepada Allah Dzat Maha Perkasa.
Agen Pemikiran Barat Kafir
Bila dibandingkan antara keyakinan ideologi Barat (kapitalisme) dengan ide-ide dasar Islam Liberal tadi tidak ada bedanya. Sebagai misal, menurut Harvey Cox, komponen-komponen sekularisasi adalah disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam dari nilai-nilai agama, agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral (agama) atas otoritas dan kekuasaan, dan hal ini merupakan syarat untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan poltik dalam proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, maknanya adalah perelatifisasian setiap sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai agama yang bersifat absolut (Cakrawala Islam, 1991). Berdasarkan hal ini jelas sekali bahwa sekularisme atau sekularisasi itu memandang agama sebagai penghambat kemajuan, dan karenanya harus dipisahkan dari peranannya mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Dalam ideologi tersebut, pusat segala-galanya adalah manusia (antroposentris). Sedangkan ajaran agama (baca: Islam) dianggap relatif sehingga tidak dapat dijadikan tolok ukur. Nampaklah, gagasan sekulerisme dan liberal merupakan akar peradaban ideologi kapitalisme yang kini diusung oleh Barat pimpinan AS. Karenanya, sulit dibantah, gagasan Islam Liberal hanyalah merupakan kepanjangan tangan dari negara Barat dalam menundukkan Islam dan kaum muslim dengan menggunakan bahasa agama; merupakan agen pemikiran Barat kafir.
Adapun dari segi politis, mengikuti apa yang dikatakan Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani (At Takattul Al Hizbiy, 1953) Barat imperialis terus menerus menjajah dunia Islam dalam segala bentuknya. Diantaranya dengan menguasai perekonomian, politik, diterapkannya hukum kufur, mencengkeramkan tsaqofah Barat dan memberikan pemahaman tentang al-Qur’an didasarkan pada tsaqofah Barat tersebut. Perangkat untuk itu ada tiga, yaitu: penguasa yang zhalim, kalangan cendekiawan yang terbaratkan, dan zhalamiyyun. Dengan peta seperti ini, terlihat kelompok yang mengusung gagasan Islam Liberal, sadar atau tidak, merupakan pion yang dipasang Barat di depan kaum muslimin agar tidak kembali kepada Islam. Dalam konteks inilah kita memahami apa yang menjadi salah satu tujuan JIL: “…mencegah agar gagasan-gagasan keagamaan yang militan dan pro kekerasan menguasai publik.” Apalagi realitas menunjukkan bahwa benang merah Islam Liberal di Indonesia ini puncaknya adalah Cak Nur yang sudah dikenal sejak dulu sebagai pro Barat. Dilihat dalam konteks ini, Islam Liberal telah memproklamirkan dirinya sebagai pencegah diterapkannya hukum Islam, menghambat dilanjutkannya kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah Islamiyyah.
Sungguh, Barat sangat paham betapa bahayanya Islam yang adil terhadap peradabannya. Barat juga tahu bahwa Islam merupakan calon pengganti peradabannya yang kini sudah gontai. Karenanya, Barat mulai menyerang Islam dengan uslub (teknik) yang baru berupa serangan melalui jalan para pengekor gagasan dan tsaqofahnya atas nama kebebasan (liberal). Di samping, Barat juga terus memerangi kaum muslim melalui berbagai organisasinya (PBB, IMF, dan sebagainya.) yang menghukumi kaum muslim. Bahkan, berupaya memerangi Islam dan kaum muslim langsung oleh dirinya sendiri melalui, misalnya, Konsperensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1991. Salah satu isinya, melegalkan praktik aborsi, homoseksual, dan lesbianisme. Mengapa dilakukan di Kairo? Mengapa dimuktamarkan, bukankah di dunia Barat hal tersebut sudah biasa? Sayangnya, ada diantara putra-puteri Islam yang mengagumi tsaqofah mereka, menerima nilai-nilainya dan mencampuradukan antara haq dengan batil.
Sekalipun demikian, sungguh, kita sangat yakin bahwa Islam nan agung ini tidak akan pernah dipengaruhi oleh saham-saham musuh dan tipu daya para agennya. Islam adalah dînullâh (agama Allah), dînulhaq (agama kebenaran), tali-Nya yang kokoh. Karenanya, kaum muslim wajib berpegang teguh kepadanya, mengikatkan diri pada hukumnya, dan peganglah sekuat tenaga. Di dalam Islam-lah terdapat kebaikan kaum muslim dan kelurusan urusannya. Itulah senjata hebat kita dalam menggagalkan rencana Barat kafir dan para anteknya, dan dengan itulah konspirasi mereka porak-poranda. Ya, Allah, saksikanlah telah aku sampaikan!
“Mereka hendak memadamkan dengan mulut-mulut mereka cahaya Allah, namun Allah penyempurna cahaya-Nya sekalipun orang-orang kafir benci.” (Qs. ash-Shaf [61]: 8).
sumber: Sidogiri Online
No comments:
Post a Comment