02 February 2006

Wahai ukhtiku...... usaplah air mata itu





"Apabila hati telah terikat dengan Allah, maka akan kembalilah wanita kepada fitrah kejadiannya, menyejukkan hati dan menjadi perhiasan dunia - si gadis dengan sifat sopan dan malu, anak yang taat kepada ibu dan bapaknya, isteri yang menyerahkan kasih sayang, kesetiaan dan ketaatan hanya pada suami."

Bait-bait kata itu aku tatapi dalam-dalam. Penuh penghayatan. Kata-kata yang dinukilkan dalam sebuah majalah yang ku baca. Alangkah indahnya jika aku bisa menjadi perhiasan dunia seperti yang dikatakan itu. Ku bulatkan tekad di hatiku. Aku ingin menjadi seorang gadis yang sopan, anak yang taat kepada ibu bapaku dan aku jua ingin menjadi seorang isteri yang menyerahkan kasih sayang, kesetiaan dan ketaatan hanya untuk suami, karena Allah.

Menjadi seorang isteri....kuntuk insan yang disayangi.....idaman setiap wanita. Alhamdulillah, puji syukur aku panjatkan ke hadirat Ilahi atas nikmat yang dikaruniakan kepadaku. Baru petang tadi, aku sah menjadi seorang isteri setelah mengikat tali pertunangan 6 bulan yang lalu. Suamiku, Muhammad Riko Fauzan, alhamdulillah mempunyai ciri-ciri seorang muslim yang baik. Aku berazam untuk menjadi isterinya yang sebaik mungkin.

"Assalamualaikum," satu suara menyapa pendengaranku membuatkan aku gugup seketika. "Wa'alaikumusalam," jawabku sepatah. Serentak dengan itu, ku lontarkan satu senyuman paling ikhlas dan paling manis untuk suamiku. Dengan perlahan dia melangkah menghampiriku.

"Rein sedang apa dalam kamar ini ? Sampai bingung abang cari Rein di luar tadi. Rupanya berada disini buah hati abang ini bersembunyi." Aku tersenyum mendengar bicaranya. Terasa panas pipiku ini. Inilah kali pertama aku mendengar ucapan 'abang' dari bibirnya. Dan itulah juga pertama kali dia membahasakan diriku ini sebagai 'buah hati' nya. Aku sungguh senang mendengar ucapan itu. Perlahan-lahan ku dongakkan wajahku dan aku memberanikan diri menatap pandangan matanya. Betapa murninya sinaran cinta yang terpancar dari matanya, betapa indahnya senyumannya, dan betapa dalam makna tatapannya itu. Aku tenggelam dalam tatapannya, seolah-olah hanya kami berdua di dunia ini. Seketika aku tersadar kembali ke alam nyata.

"Rein baru saja masuk. Baru mau mandi. Lagipula ini kan dah masuk Maghrib kan ?" ujarku. "He'eh udah maghrib. Rein mandi dulu. Nanti abang mandi dan kita solat Maghrib sama-sama ya ?" Dia tersenyum lagi. Senyum yang menggugah hati kewanitaanku. Alangkah beruntungnya aku memilikimu, suamiku.

Selesai shalat Maghrib dan berdoa, dia berputar mengadapku. Dengan penuh kasih, kusalami dan kucium tangannya. Lama. Aku ingin dia tahu betapa dalam kasih ini hanya untuknya. Dan aku dapat merasai tangannya yang gagah itu mengusap kepalaku dengan lembut. Dengan perlahan aku menatap wajahnya.

"Abang....." aku terdiam seketika. Terasa segan menyebut kalimah itu dihadapannya. Tangan kami masih lagi saling berpautan. Seakan tidak mahu dilepaskan. Erat terasa genggamannya.

"Ya sayang..." Ahhh....biarpun hanya satu kalimah, bicaranya amat menyentuh perasaanku. "Abang... terima kasih atas kesudian abang memilih Rein sebagai isteri biarpun banyak kelemahan Rein. Rein adalah insan yang lemah, masih perlu banyak petunjuk dan ajaran dari abang. Rein harap abang sudi memandu Rein. Sama-sama kita melangkah hidup baru, menuju keridhaan Allah." Tutur bicaraku ku susun satu persatu, hati-hati. Hati ini masih merasa bergemuruh bila beradu muka dengannya.

"Rein, sepatutnyalah abang yang harus berterima kasih karena Rein sudi menerima abang dalam hidup Rein. Abang sayang sama Rein. Abang juga makhluk yang lemah, banyak kekurangan. Abang harap Rein bisa menerima abang apa adanya. Kita sama-sama lalui hidup baru demi ridhaNya."

"Insya Allah abang....Rein juga sayang abang." "Abang juga sayangkan Rein. Sayang sepenuh hati abang.'' Dengan mukena dan baju shalat yang masih tersarung, aku tenggelam dalam pelukan suamiku.

Hari-hari yang mendatang aku lalui dengan penuh rasa syukur. Suamiku, ternyata seorang yang sangat penyayang dan penyabar. Sebagai wanita aku tidak dapat lari dari perasaan merajuk dan tangis. Setiap kali aku merajuk apabila dia pulang larut, dia dengan penuh mesra membujukku. Membelaiku. Membuatku merasa bersalah. Dan sangat tidak wajar jika kusambut kepulangannya dengan wajah yang mencuka masam dan dengan tangisan. Bukankah aku ingin menjadi perhiasan yang menyejukkan hati suami? Sedangkan Khadijah dulu juga selalu ditinggalkan Rasulullah untuk berkhalwat di Gua Hira'.

Lalu, kucium tangannya, kupohon ampun dan maaf. Kuhadiahkan senyuman untuknya. Katanya, senyumku jika sehabis aku menangis, membuatku semakin cantik! Ahhh....dia pandai mengambil hatiku. Aku semakin sayang padanya. Nampaknya hatiku masih belum sepenuhnya terikat dengan Allah. Lantaran itulah aku masih belum mampu menyerahkan seluruh kasih sayang, kesetiaan dan ketaatan hanya untuk suami.

"Isteri yang paling baik ialah apabila kamu memandangnya, kamu merasa senang, apabila kamu menyuruh, dia taat dan apabila kamu berpergian, dia menjaga kehormatannya dan hartamu."

Aku teringat akan potongan hadis itu. Aku ingin menyandang predikat sebagai isteri solehah. Aku ingin melakukan segala hal yang menyenangkan suamiku. Tuturku ku lapis dengan sebaik mungkin agar tidak tersakiti hatinya dengan perkataanku. Kuhiaskan wajahku hanya untuk tatapannya semata. Makan minumnya kujaga dengan sempurna. Biarpun aku juga sibuk lantaran aku juga berkerja. Pernah sekali, aku mengalirkan air mata lantaran aku terlalu penat menguruskan rumah tangga apabila kembali dari kerja. Segalanya harus ku urusi. Aku merasa seperti dia tidak memahami kepenatanku, sedangkan kami sama-sama memerah keringat mencari rezekiNya. Namun, aku teringat akan kisah Siti Fatimah, puteri Rasulullah yang menangis kerana terlalu penat menguruskan rumah tangga. Aku teringat akan besarnya pahala seorang isteri yang menyiapkan segala keperluan suaminya. Hatiku menjadi sejuk sendiri. "Ya Allah, aku lakukan segala ini ikhlas keranaMu. Aku ingin mengejar ridha suamiku demi untuk mengejar ridhaMu. Berilah aku kekuatan, Ya Allah."

"Rein baik, cantik. Abang sayang Rein." Ungkapan itu tak pernah lepas dari bibirnya. Membuatkan aku terasa benar-benar dihargai. Tidak sia-sia pengorbananku selama ini. Betapa bahagianya menjadi isteri yang solehah.

Kehidupan yang ku lalui benar-benar penuh makna, apatah lagi dengan kehadiran 2 orang putera dan seorang puteri. Kehadiran mereka semakin melengkapi kebahagiaanku. Kami gembira dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dikurniakanNya kepada kami.

Namun, pada suatu hari, aku telah dikejutkan dengan permintaannya yang tidak terduga.

"Rein.....abang ada sesuatu yang ingin abang bicarakan dengan Rein."

"Apa itu abang?" tanyaku kembali. Aku menatap wajahnya dengan penuh kasih.

"Rein isteri yang baik. Abang sangat bahagia dengan Rein. Abang bersyukur punya Rein sebagai isteri," bicaranya terhenti setelah itu.

Aku tersenyum. Namun benakku dihinggapi persoalan. Pasti bukan hanya itu?

"Apakah abang ada masalah?" Aku coba menerka.

"Tidak Rein. Sebenarnya......," bicaranya terhenti lagi. Menambah keheranan dan menambahkan kerisauan di hatiku. Entah apa yang ingin diucapkannya.

"Rein......abang.....abang nmau minta izin Rein......untuk menikah lagi," ujarnya perlahan namun sudah cukup untuk membuat aku tersentak. Seketika aku kehilangan kata.

"A.....Abang.....mau nikah lagi?" aku seakan tidak percaya mendengar permintaannya itu. Ku sangka dia telah cukup bahagia denganku. Aku kira aku telah memberikan seluruh kegembiraan padanya. Aku sangka hatinya telah dipenuhi dengan limpahan kasih sayangku seorang. Rupanya aku salah. Kasihku masih kurang. Hatinya masih punya ruang untuk insan selain diriku.

Tanpa bicara, dia mengangguk.

"Dengan siapa abang ?" Aku bertanya. Aku tidak tahu dari mana datang kekuatan untuk tidak mengalirkan air mata. Tapi....hatiku... hanya Allah yang tahu betapa sakit dan pedih hati ini.

"Faizah. Rein kenal dia, kan ?"

Ya, aku kenal dengan insan yang bernama Faizah itu. Juniorku saat kuliah dulu. Teman satu jamaah. Suamiku aktif dalam jamaah dan aku tahu Faizah juga aktif berjamaah. Orangnya aku kenal mempunyai budi pekerti yang baik, sopan tingkah lakunya, indah tutur kata dan ayu paras rupa. Tidakku sangka, dalam diam suamiku menaruh hati pada Faizah.

"A....Abang......Apa salah Rein bang?" nada suaraku mula bergetar. Aku cuba menahan air mataku agar tidak terbuncah keluar. Aku menatap wajah Abang Riko sedalam-dalamnya. Aku cuba mencari masih adakah cintanya untukku.

"Rein tidak salah apa-apa sayang. Rein baik. Sangat baik. Abang sangat sayang pada Rein."

"Tapi....Faizah. Abang juga sayang pada Faizah....artinya.....sayang abang tidak sepenuh hati untuk Rein lagi."

"Rein.....sayang abang pada Rein tidak berubah. Rein cinta pertama abang. Abang rasa ini jalan terbaik. Tugas dalam jamaah memerlukan abang banyak berurusan dengan Faizah....Abang tak mau timbul fitnah antara kami. Lagipula....abang lelaki Rein. Abang berhak untuk menikah lebih dari satu."

Bicara itu kurasakan amat tajam, sangat dalam menoreh guratan dalam hatiku. Merobek jiwa ragaku. Aku mengasihinya sepenuh hatiku. Ketaatanku padanya tidak pernah luntur. Kasih sayangku padanya tidak pernah pudar. Aku telah mencoba memberikan layanan yang terbaik untuknya. Tapi inikah hadiahnya untukku? Sesungguhnya aku tidak menolak hukum Allah. Aku tahu dia berhak. Namun, alangkah pedihnya hatiku ini mendengar ucapan itu terbit dari bibirnya. Bibir insan yang amat ku kasihi.

Malam itu, tidurku berendam air mata. Dalam kesayuan, aku memandang wajah Abang Riko penuh kasih. Nyenyak sekali tidurnya. Sesekali terdetik dalam hatiku, bagaimana dia mampu melelapkan mata semudah itu setelah hatiku ini digoresnya dengan sembilu. Tidak fahamkah dia derita hati ini? Tak cukupkah selama ini pengorbananku untuknya? Alangkah perihnya menahan kepedihan ini. Alangkah pedihnya! Dan akupun kembali tenggelam dalam lautan tangis.

Selama seminggu, aku menjadi pendiam apabila bersama dengannya. Bukan aku sengaja tetapi aku tidak mampu membohongi hatiku sendiri. Tugasku sebagai seorang isteri aku laksanakan sebaik mungkin, tapi aku merasakan segalanya tawar. Aku melaksanakannya tidak sepenuh hati. Ya Allah.....ampuni daku. Aku sayang suamiku, tapi aku terluka dengan permintaannya itu.

Apabila terjadi tabrakan antara dua keinginan, keinginan mana yang harus dituruti. Kehendak diri sendiri atau kehendak Nya ? Pastilah kehendak Nya. Apa lagi yang aku ragukan? Pasti ada hikmah Allah yang tersembunyi di sebalik ujian yang Dia turunkan buatku ini. Aku merasa amat serba-salah berada dalam keadaan demikian. Aku rindukan suasana yang dulu. Riang bersenda gurau dengan suamiku. Kini, aku hanya terhibur dengan celoteh dan tingkah polah anak-anak. Senyumku untuk Abang Riko telah tawar, tak lagi manis. Nyatanya, aku tidak mampu bertatap mata dengannya lagi. Aku benar-benar terluka.

Namun, Abang Riko masih seperti dulu. Tidak jemu dia memelukku setelah pulang dari kerja walau sambutanku hambar. Tidak jemu dia mencuri pandang menatap wajahku walau aku selalu menghindari pandangan dari anak matanya. Tidak jemu ucapan kasihnya untukku. Aku keliru. Benar-benar keliru. Adakah Abang Riko benar-benar tidak berubah sayangnya padaku atau dia hanya sekadar ingin mengambil hatiku untuk mengijinkan dia menikah lagi?

"Oh Tuhan...berilah aku petunjukMu." Dalam kegelapan malam, aku bangkit sujud menyembahNya, mohon petunjuk dariNya. Aku mengoreksi kembali perjalanan hidupku. Untuk apa segala pengorbananku selama ini buat suamiku ? Untuk mengejar cintanya atau untuk mengejar ridha Allah ? Ya Allah, seandainya ujian ini Engkau timpakan ke atasku untuk menguji keimananku, aku rela Ya Allah. Aku rela.

Biarlah. Bukan cinta manusia yang kukejar. Aku hanya mengejar cinta Allah. Cinta manusia hanya sesuatu yang semu. Bukankah aku telah berazam, aku inginkan segala yang menyenangkan buat suamiku?

Dengan hati yang tersayat seguris luka, aku mengizinkan bang Riko menikah lagi. Dan, demi untuk mendidik hati ini, aku sendiri yang menyampaikan keinginan bang Riko tersebut kepada Faizah. Suamiku pada mulanya agak terkejut saat aku menawarkan diri untuk melamar Faizah.

"Rein?......Rein serius?"

"Ya abang. Rein sendiri yang akan bicara pada Faizah. Rein lakukan ini semua atas kerelaan hati Rein sendiri. Abang jangan risau...Rein jujur terhadap abang. Rein tak akan khianati abang. Rein hanya mahu melihat abang bahagia," ujarku dengan senyuman tawar. Aku masih perlu waktu untuk mengobati luka ini. Dan inilah satu caranya. Ibarat mengobati luka. Pedih, tetapi cepat sembuhnya.

Aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk menjemput Faizah datang ke rumahku. Waktu itu, suamiku tidak di rumah dan dia telah memberi izin untuk menerima kedatangan Faizah. Faizah dengan segala senang hati menerima undanganku. Karenaa aku tidaklah asing baginya. Malahan dia juga sudah bergaul baik dengan anak-anakku.

"Izah......kakak jemput Izah ke mari sebab ada hal yang kakak mau bicarakan," setelah aku merasakan cukup kuat, aku memulai pembicaraan.

"Apa itu, Kak Rein. Bicaralah, " lembut nada suaranya.

"Abang Riko apakah pernah membicarakan sesuatu pada Faizah?"

"Maksud Kak Rein, Ustaz Riko?" Ada nada keheranan pada suaranya. Memang kami memanggil rekan satu jamaah dengan panggilan Ustaz dan Uztazah. Aku hanya mengangguk.

" Pernah dia cakap dia suka sama Izah?"

"Suka sama Izah? Isyyy....tidak mungkinlah Kak Rein. Izah kenal Ustaz Harris. Dia kan amat sayangkank akak. Tidak mungkinlah dia suka sama saya pula. Kenapa Kak Rein bertanya macam itu? Apa kak Rein dengar cerita dari orang lainkah ini?"

"Tidak Izah. Tidak ada siapa-siapa yang bercerita......." Aku terdiam seketika. "Izah, kalau Kak Rein bilang dia suka sama Izah dan ingin ambil Izah jadi isterinya, Izah suka?" Dengan amat berat hati, aku tuturkan kalimah itu.

"Kak Rein!" jelas riak keterkejutan terpapar di wajahnya. "Apa yang Kak Rein katakan. Jangan bergurau hal seperti ini Kak Rein," kata Faizah seakan tidak percaya. Mungkin karena aku sendiri yang menuturkannya. Isteri Muhammad Riko Fauzan sendiri melamar calon isteri kedua untuk suaminya.

"Tidak Izah. Kakak tidak bergurau......Izah sudi jadi saudara Kak Rein?" ujarku lagi. Air mataku seolah ingin mengalir tapi tetap aku tahan. Faizah memandang tepat ke wajahku.

"Kak Rein. Soal ini bukanlah perkara kecil Kak Rein. Kak Rein apak benar tentang......Ustaz Riko.....mau... melamar saya?"

Dari nada suaranya, aku tahu Faizah jelas tidak tahu apa-apa. Faizah gadis yang baik. Aku yakin dia tidak pernah menduga suamiku akan membuat permintaan seperti ini. Lantas, aku menceritakan kepada Faizah akan keinginan suamiku. Demi untuk memudahkan urusan jamaah, untuk menghindarkan fitnah. Faizah termenung mendengar penjelasanku.

"Kak Rein.....saya tidak tahu bagaimana Kak Rein bisa menghadapi semuanya ini dengan tabah. Saya kagum dengan semangat Kak Rein. Saya minta maaf kak. Saya tidak tahu ini akan terjadi. Saya tidak pernah menyangka saya menjadi penyebab hati Kak Rein terluka," ujarnya terisak. Matanya kulihat berkaca-kaca.

"Izah...Kak Rein tahu kamu tidak bersalah. Kak Rein juga tidak menyalahkan Abang Riko. Mungkin dia fikir ini jalan terbaik. Dan kakak tahu, dia berhak dan mampu untuk melaksanakannya. Mungkin ini ujian untuk menguji keimanan Kak Rein."

"Kak...maafkan Izah." Dengan deraian air mata, Faizah meraihku ke dalam pelukannya. Aku juga tidak mampu menahan isak lagi. Air mataku terhambur jua akhirnya. Hati wanita. Biarpun bukan dia yang menerima kepedihan ini, tetapi tersentuh juga hatinya dengan kelukaan yang ku alami. Memang hanya wanita yang memahami hati wanita yang lain.

"Jadi...Izah setuju?" tanyaku ketika tangisan kami telah reda.

"Kak Rein....ini semua kejutan buat Izah. Izah tidak tahu mau bicara apa. Izah tidak mau melukai hati Kak Rein."

"Soal Kak Rein....Izah jangan risau, hati Kak Rein...Insya Allah biarlah kakak menngaturnya. Yang penting kakak mau Abang Riko bahagia. Dan kakak sebenarnya gembira karena Faizah pilihannya. Bukannya gadis lain yang kakak tak tahu hati budinya. Insya Allah Izah. Sepanjang Kak Rein mengenal Abang Riko dan sepanjang kakak hidup serumah dengannya, dia seorang yang baik, seorang suami yang shaleh, penyayang dan penyabar. Selama ini akak gembira dengan dia. Dia seorang calon yang baik buat Izah."

"Kakak.....Izah terharu dengan kebaikan hati kakak. Tapi berilah Izah waktu dan Izah perlu tanya ibu bapa Izah dulu."

"Sebaiknya memang begitulah. Kalau Izah setuju, Kak Rein akan coba berbicara pada ibu bapa Izah."

Pertemuan kami petang itu berakhir. Aku berasa puas karena telah menyampaikan keinginan suamiku. "Ya Allah.....inilah pengorbananku untuk membahagiakan suamiku. Aku lakukan ini hanya semata-mata demi ridhaMu."

Pada mulanya, keluarga Faizah agak keberatan untuk menyetujui Faizah menjadi isteri kedua Abang Riko. Mereka khawatir Faizah akan terabaikan dan takut jika dikatakan anak gadis mereka merampas suami orang. Namun, aku yakinkan mereka akan kemampuan suamiku. Alhamdulillah, keluarga Faizah juga adalah keluarga yang sangat menitikberatkan ajaran agama. Akhirnya, majelis pertunangan antara suamiku dan Faizah diadakan juga.

"Rein.....abang minta maaf sayang," ujar suamiku pada suatu hari, beberapa minggu sebelum waktu pernikahannya dengan Faizah.

"Kenapa?"

"Abang merasa serba salah. Abang tahu abang telah melukai hati Rein. Tapi....Rein sedikit pun tidak marah pada abang. Rein terima segalanya demi abang. Abang terharu. Abang....malu dengan Rein."

"Abang....syurga seorang isteri itu terletak di bawah tapak kaki suaminya. Ridha abang pada Rein, insya allah menjanjikan ridha Allah pada Rein. Itu yang Rein cari abang. Rein sayangkan abang. Rein mau abang gembira. Rein anggap ini semua ujian Allah abang."

"Rein....Insya Allah abang tak akan sia-siakan pengorbanan Rein ini. Abang bangga sayang. Abang bangga punya isteri seperti Rein. Rein adalah cinta abang selamanya. Abang sangat mencintai Rein."

"Tapi...abang harus ingat. Tanggungjawab abang akan jadi semakin berat. Abang ada dua amanah yang perlu dijaga. Rein harap abang dapat melaksanakan tanggungjawab abang sebaik mungkin."

"Insya Allah abang akan coba berlaku seadil-adilnya." Dengan lembut dia mengecup dahiku. Masih hangat seperti dulu. Aku tahu kasihnya padaku tidak pernah luntur. Aku merasa air jernih yang hangat mulai membasahi pipiku. Cukuplah aku tahu, dia masih sayangkan aku seperti dulu walaupun masanya bersamaku nanti akan terbatas.

Pada hari pertama pernikahan mereka, aku menjadi lemah. Tidak berdaya. Aku tiada daya untuk bergembira. Hari itu memang amat perih bagiku walau aku telah bersedia untuk menghadapinya. Malam pertama mereka disahkan sebagai suami isteri adalah malam pertama aku ditinggalkan sendirian bersama sepi. Aku sungguh sedih. Maha hebat gelora perasaan yang ku alami. Aku tidak mampu terlelap walau sepicing pun. Hatiku melayang mengenangkan Abang Riko dan Faizah. Pasti mereka berdua bahagia menjadi pengantin baru. Bahagia melayari kehidupan bersama, sedangkan aku ? Berendam air mata mengobati rasa kesepian ini. Alhamdulillah. Aku punya anak-anak. Merekalah teman bermainku.

Seminggu selepas itu, barulah Abang Riko pulang ke rumah. Aku memeluknya seakan tidak mau ku lepaskan. Seminggu berjauhan, terasa seperti setahun. Alangkah rindunya hati ini. Sekali lagi air mata ku alirkan tanpa dapat ditahan.

"Kenapa sayang menangis? Tidak sukakah abang balik?" ujarnya lembut.

"Rein rindu abang. Sangat rindu." Tangisku makin menjadi-jadi. Aku mengeratkan pelukanku. Dan dia juga membalas dengan penuh kehangatan.

"Abang pun rindu Rein. Abang rindu senyuman Rein. Maukah Rein senyum pada abang ?" Lembut tangannya memegang daguku dan mengangkat wajahku.

"Abang ada teman baru. Mungkinkah abang masih rindu pada Rein ?" Aku merasakan keikhlasan dalam nada bicaranya.

"Teman baru tidak mungkin sama dengan yang lama. Kan abang sudah katakan, sayang abang pada Rein masih seperti dulu. Tidak pernah berubah, malah semakin sayang. Seminggu abang berjauhan dari Rein, tentulah abang sangat rindu. Rindu pada senyuman Rein, suara Rein, masakan Rein, sentuhan Rein. Semuanya itu tiada di tempat lain, hanya pada Rein saja. Senyumlah sayang, untuk abang."

Aku mengukir senyum penuh ikhlas. Aku yakin dengan kata-katanya. Aku tahu sayangnya masih utuh buatku.

Kini, genap sebulan Faizah menjadi maduku. Aku melayaninya seperti adik sendiri. Hubungan kami yang dulunya baik bertambah mesra. Bagaimana tidak, kami sama-sama memiliki sesuatu yang amat dekat di hati. Dan, Faizah, menyadari dirinya adalah orang baru dalam keluarga, senantiasa berlapang dada menerima teguranku. Katanya, aku lebih mengenali Abang Riko dan dia tidak perlu bersusah payah untuk coba mengorek sendiri apa yang disukai dan apa yang tidak disukai oleh Abang Riko. Aku, sebagai kakak, juga senantiasa berpesan kepada Faizah supaya sentiasa menghormati dan menjaga hati Abang Riko. Aku bersyukur, Faizah tidak pernah mengekang suamiku. Giliran kami dihormatinya.

Walaupun kini waktu untuk aku bersama dengan suamiku terbatas, tetapi aku dapat merasakan kebahagiaan yang semakin bertambah apabila kami bersama. Benarlah, perpisahan sementara menjadikan kami semakin rindu. Waktu bersama, kami manfaatkan sebaiknya. Alhamdulillah, suamiku tidak pernah mengabaikan aku dan Faizah. Aku tidak merasa berkurang kasih sayangnya malah aku merasakan sayangnya padaku bertambah. Kepulangannya kini senantiasa bersama sekurang-kurangnya sekuntum mawar merah. Dia menjadi semakin penyayang, semakin romantis. Aku rasa aku harus berterima kasih pada Faizah karena kata suamiku, Faizahlah yang selalu mengingatkannya supaya jangan mensia- siakan kasih sayangku padanya.

Memang aku tidak dapat menafikan, adakalanya aku digigit rindu apabila dia pulang kepada Faizah. Rindu itu, aku obati dengan zikrullah. Aku gunakan kesempatan ketiadaannya di rumah dengan menghabiskan masa bersama Kekasih Yang Agung. Aku habiskan masaku dengan mengalunkan ayat-ayatNya sebanyak mungkin. Sedikit demi sedikit kesedihan yang ku alami mulai pudar. Berganti dengan rasa ketenangan. Aku tenang beribadat kepadaNya. Terasa diriku lebih dengan Sang Maha Pencipta.

Tentang anak-anak, aku tidak mempunyai masalah karena memang aku mempunyai pembantu rumah setelah aku melahirkan anak kedua. Cuma, sewaktu awal dulu, mereka kerap juga bertanya kemana abah mereka pergi, tak pulang ke rumah. Aku terangkan secara baik dengan mereka. Mereka punyai ibu baru. Bunda Faizah. Abah perlu menemani Bunda Faizah seperti abah menemani mama. Anak-anakku senang saat mengetahui Faizah juga menjadi "bunda" mereka. Kata mereka, Bunda Izah baik. Mereka suka ada dua ibu. Lebih dari orang lain. Ahhh...anak-anak kecil. Apa yang kita terapkan itulah yang mereka terima. Aku tidak pernah menunjukkan riak kesedihan bila mereka bertanya tentang Faizah. Bagiku Faizah seperti adikku sendiri.

Kadang-kadang, bila memikirkan suamiku menyayangi seorang perempuan lain selain aku, memang aku merasa cemburu, merasa terluka. Aku cemburu mengingat belaian kasihnya itu dilimpahkan kepada orang lain. Aku terluka karena di hatinya ada orang lain yang menjadi penghuni. Aisyah, isteri Rasulullah juga cemburukan Khadijah, insan yang telah tiada. Apalagi aku, manusia biasa. Tapi..... ku kikis segala perasaan itu. Cemburu itukan fitrah wanita, tanda sayang kepada suami. Tetapi cemburu itu tidak harus dilayani. Karena nanti hati sendiri yang akan merana. Bagiku, kasih dan ridha suami padaku, itu yang penting, bukan kasihnya pada orang lain. Selagi aku tahu, kasihnya masih utuh buatku, aku sudah cukup bahagia. Dan aku yakin, ketaatan, kesetiaan dan kasih sayang yang tidak terbagi kepadanya itulah kunci kasihnya kepadaku. Aku ingin nafasku terhenti dalam keadaan redhanya padaku, supaya nanti Allah juga meridhai aku. Kerana sabda Rasulullah s.a.w

"Bilamana seorang wanita (isteri) yang meninggal dunia dalam keadaan suaminya meredhainya, maka ia akan masuk ke dalam syurga." (Riwayat at-Tirmizi, al-Hakim dan Ibnu Majah).

Sungguh bukan mudah aku melalui semuanya itu. Saban hari aku berperang dengan perasaan. Perasaan sayang, luka, marah, geram, cemburu semuanya bercampur aduk. Jiwaku sentiasa berperang antara kewarasan akal dan emosi. Pedih hatiku hanya Allah yang tahu. KepadaNyalah aku mohon kekuatan untuk menempuhi segala kepedihan itu. KepadaNyalah aku pinta kerahmatan dan kasih sayang, semoga keresahan hati ini kan berkurang.

Namun, jika aku punya pilihan, pastinya aku tidak mau bermadu. Karena ia sesungguhnya menyakitkan. Perlu ketabahan dan kesabaran. Walau bagaimanapun, aku amat bersyukur karena suamiku tidak pernah mengabaikan tanggungjawabnya. Dan aku juga bersyukur kerana menjadi intan terpilih untuk menerima ujian ini.


Best regard for the prophet Mohammad salallahu 'alaihi wasalam that brought us from the darkness into the light may allah bless him along with his family, shahb and the ummah that istiqamah with.

No comments: