Sudah sering kita lihat, banyak orang berceramah kemana-mana, apalagi bulan-bulan puasa seperti saat ini. Ramai-ramai menjadi pendakwah atau penulis moral. Apakah ia pejabat, tokoh politik atau tokoh masyarakat begitu rajin mengunjungi rumah-rumah ibadah, melakukan safari Ramadhan ke setiap masjid dan desa-desa. Mereka memberi contoh tentang kebaikan, bersikap hidup qanaah, atau menganjurkan supaya banyak bersedaqah.
Apalagi di musim suksesi pilkada, kegiatan safari Ramadhan bukan saja dari masjid ke masjid atau dari kampung ke kampung, melainkan merambat ke warung-warung kopi. Makanya menjadi penting bagi kita untuk menakar diri, apakah kita melaksanakan ibadah itu masih sebatas retorik atau benar-benar menjadi sekolah untuk meningkatkan kualitas iman? Sebab banyak bukti, ketika bulan Ramadhan begitu gencarnya seseorang memidatokan tentang iman dan taqwa, namun seusai Ramadhan, moral itu ia kurung dalam masjid, disimpan dalam lapisan kitab-kitab yang tahun depan tepat bulan Ramadhan kembali dibuka.
Betapa banyak orang shalat, berpuasa setiap bulan Ramadhan, namun seusai berpuasa kelakuannya tak juga berubah, korupsi tidak hilang-hilang, kezaliman terus merajalela, amoral seperti jadi dogma. Itu artinya, target ibadah puasa untuk meraih titel taqwa belum dimiliki. Ingatlah, bahwa sesungguhnya kita ingin menipu Allah Swt, tapi sebenarnya kita tertipu dan terpedaya akibat kemunafikan sendiri. Maka, tunggulah azab Allah Swt itu sangat pedih.
Sejauh mana optimalisasi usaha yang dilakukan, sangat tergantung pada kesadaran masing-masing. Sebagaimana salah satu firman Allah, “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sebelum tirai Ramadhan ditutup, kita perlu mengevaluasi apakah amalan puasa kita sudah menuju kepada nilai taqwa atau belum. Misalnya, kalau kita begitu gencar pidato, bahwa ibadah puasa itu diwajibkan bagi orang beriman, yaitu menahan nafsu (makan dan minum dan sahwat) sehingga ia akan meraih titel muttaqin. Apakah itu sudah tercermin pada diri kita––misal kalau selama ini kita serakah maka tidak diulangi lagi, tidak menilep hak-hak orang lain, dan kita bisa memiliki kepedulian antarsesama, sehingga kita peduli kepada mereka kaum dhuafa yang sepanjang hidupnya sering puasa.
Sebagai orang beriman, perlu menakar-nakar apakah pesan puasa seperti hidup qanaah sudah diterapkan dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Sebagai pemimpin, misal, yang menyeru rakyat supaya bersabar dan hidup sederhana, sudah sinkronkah dengan perilakunya. Dengan kata lain, kita tidak hanya pandai memberikan contoh-contoh, tapi juga dalam keseharian harus dapat dijadikan contoh.
Menghitung amalan sangatlah penting untuk mengingatkan, memperbaiki apa yang salah, menambah apa yang kurang, dan meningkatkan apa yang sudah baik. Sebab Allah Swt akan menilai kesudahan kita atau ending dari perbuatan hambanya–– apakah mengakhiri Ramadhan dalam keadaan taqwa dan penuh ketaatan kepada-Nya atau justru sebaliknya. Urgensi memperbaiki amalan di saat-saat akhir terangkum dalam doa husnul khatimah yang disebutkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkarnya, “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baiknya umurku pada ujungnya dan sebaik-baik amalku pada ujung akhirnya, dan sebaik-baik hariku adalah pada saat aku menemui-Mu”.
Dalam kondisi negeri kita, khususnya Aceh saat ini, adalah tepat untuk menyadari kesalahan dan kelalaian kita. Bagi yang dhuafa agar jangan putus asa dari rahmat Allah. Sebagaimana salah satu firman Allah Swt yang maknanya “jika seseorang ditimpakan suatu musibah apakah itu berupa sakit, miskin dan kehilangan orang yang dicintai, sesungguhnya dia (Allah) ingin menguji sejauhmana orang itu bersabar”. Begitu juga bagi mereka yang kaya apalagi raya, supaya mensyukuri rahmat itu dengan melakukan kebajikan. Bukan sekedar ceramah, bahwa saya seorang dermawan, yang jujur sambil melingkarkan sal ke leher supaya dianggap orang taat. Atau memfasih-fasihkan bacaan agar dinilai alim, tetapi bagaimana mengubah kelakuan agar menjadi manusia yang rendah hati.
Mengoreksi amalan dalam bulan suci ini agar kita menyadari bahwa kemurkaan Allah Swt sangatlah pedih bila kita ingkar dan munafik atas segala rahmat-Nya. Karenanya dekatkan diri kepada Allah Swt. Para ulama menunjukkan beberapa langkah, pertama, tetapkan satu masa khusus untuk merenung apa yang telah kita lakukan sebelum ini. Lalu bandingkanlah dengan beberapa obyek minimum yang telah kita tetapkan sebelum Ramadhan. Fase-fase terakhir bulan Ramadhan menjadi sangat menentukan, apalagi adanya malam istimewa Lailatul Qadar yang kebaikan dilakukan pada malam tersebut sama seperti melakukan kebaikan selama 1000 bulan. Langkah kedua, adalah memastikan kehidupan kita sebagai seorang muslim selepas bulan Ramadhan ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Menelaah dan menakar kualitas iman akan terlihat melalui refleksi Ramadhan, mana yang berkualitas mana yang tidak. Ibarat mengangikan padi: padi yang tidak berisi akan terbang jauh sedang yang berisi akan tertinggal. Memang untuk menakar iman tidaklah mudah dan standarnya sering berfluktuasi. Itu juga menjadi rahasia kenapa puasa hanya diwajibkan bagi mereka yang beriman. Bukankah kita sering mengaku paling beriman, tapi dalam keseharian kita cenderung tidak mencerminkan orang beriman itu. Sesungguhnya, bulan Ramadhan menjadi salah satu diklat paling efektif mengaktualisasi iman tersebut. Tentu ini berat ketika persoalan lain menghadang kita. Namun paling tidak, seusai Ramadhan akan tumbuhnya penghayatan dan pemaknaan keagamaan tidak sekadar jargon atau trend.
Selama ini kita memperhartikan semangat keagamaan (Islam) hanya berkutat dalam tataran simbolik. Penghayatan dan pemaknaan keagamaan semacam itu dapat kita lihat dengan kasat mata dalam keseharian, manipulasi simbol-simbol keagamaan, dan telah dipertontonkan dengan sukses oleh para elit politik dan birokrasi kita: memajang gelar haji di depan nama, berpeci haji atau simbol keagamaan lain, menjadi pengkhotbah hampir di setiap mimbar, dan sebagainya. Para elit politik dan birokrat kita pun terlihat sangat khusyuk menjalankan ritus-ritus keagamaan. Berkali-kali melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan ritus keagamaan lainnya. Ritus-ritus keagamaan yang dijalani itu dimaknai dapat menghapuskan dosa-dosa. Setelah itu, praktik kebiasaan (korupsi) dilakoni kembali. Jadi, lakon yang kita peragakan dengan bahasa sederhana dapat dikatakan: 11 bulan berbuat dosa, lalu jalani ritus keagamaan (berpuasa, misalnya), maka dosa-dosa selama 11 bulan akan sirna. Kembali ke “kesucian” lagi.
Sungguh, Islam adalah yang melarang kemungkaran, dan Islam selalu mengajak pemeluknya kepada amar ma‘ruf nahi munkar (dekati kebaikan, jauhi ketidakbaikan). Demikian selalu didengungkan di setiap telinga muslim. Islam mengajarkan setiap orang untuk memperkaya diri sendiri melalui jalan yang halal karena dengan menjadi kaya, seorang muslim akan mampu menciptakan lapangan kerja untuk orang lain dan membantu menghidupi sekian banyak jiwa. “Barangsiapa memberikan makanan berbuka kepada seseorang yang berbuka puasa, adalah demikian itu merupakan ampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka dan orang yang memberi makanan itu memperoleh pahala seperti diperoleh oleh orang yang berpuasa (yang diberikan makanan itu) tanpa sedikit pun berkurang.” Demikian salah satu hadis Rasul Saw. Karenanya, menelaah kembali amalan sebagai aplikasi keimanan jauh lebih urgen, mumpung masih ada kesempatan untuk memperbaiki dan menyadarinya sebelum tirai Ramadhan ditutup.