08 April 2006

Mewaspadai Bid'ah

Mewaspadai Bid'ah


Banyak praktek-praktek di sekitar kita yang seolah bernuansa ibadah dan terasa relijius namun ternyata bukan bagian dari ajaran Islam. Perkara baru yang diada-adakan dalam agama, dan diyakini menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah inilah yang disebut bid'ah. Nah, hati-hati dengan bid'ah. Mengapa? Coba perhatikan hadits-hadits yang sangat jelas ini:

"Barangsiapa memunculkan di dalam agama kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya maka dia tertolak."
(Muttafaq 'Alaih, dari 'Aisyah)

"Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka dia tertolak." (HR Mus-Urn)

Kalau cuma tertolak sih paling resikonya capek dan boros sia-sia. Tetapi ternyata makna 'raddun' (tertolak) di sini adalah, ditolak amalnya dan dapat dosa. Wah, berabe dong. Tentu saja, karena syarat untuk diterima dan mendapat pahala dari amal ibadah ada dua, kalau tidak dipenuhi berarti dapat sebaliknya: ditolak dan dosa. Dua syarat itu adalah:

1. Ikhlash
2. Ittiba' (mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam)

"Setiap bid'ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi dianggap baik oleh hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan dengan sarana yang sebaik-baiknya, yang tidak justru menimbulkan bid'ah lain yang lebih parah." (Hasan Al Banna, Ushulul 'Isyrin, Prinsip ke 11)

Kata bid'ah harus ditinjau dari dua makna, yakni etimologis dan syar'i.

Secara etimologis, tentu saja lebih luas. Ia mencakup segala macam hal baru. Termasuk, apa yang disebut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai, "Perbuatan yang seharusnya dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tidak ada larangan dari beliau untuk melakukannya di zaman itu, tetapi baru dilakukan pada zaman sepeninggal beliau.." Dan hal ini, tidak termasuk cakupan bid'ah dalam pengertian syar'i. Apa misalnya? Penghimpunan mushhaf Al Quran. Ada juga hal lain yang pernah dilakukan di zaman Nabi, tetapi karena beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam khawatir hal itu akan dianggap wajib, maka beliau tinggalkan. Lalu, di masa 'Umar Radhiyallahu Anhu hal itu dihidupkan lagi. Apa itu? Shalat tarawih berjama'ah. Ini tidak termasuk bid'ah yang dilarang syari'at. Ketika 'Umar berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", tentu maksudnya bid'ah secara etimologis.

Nah, apa saja macam-macam bid'ah yang dilarang syari'at?

Bid'ah Haqiqiyah

Ini adalah bid'ah sebid'ah-bid'ahnya. Semua 'ulama sepakat atas kesesatan bid'ah ini. Yakni, segala hal baru dalam agama yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah yang bisa saja berupa i'tiqad (keyakinan dalam hati), atau pensyari'atan ucapan dan tindakan ibadah. Saya kira sudah jelas ya?

Selanjutnya, ada beberapa hal yang masih diperselisihkan 'ulama. Hal ini masuk dalam kategori bid'ah idhafiyah, tarkiyah, dan iitizamiyah. Mengapa diperselisihkan? Karena susah diurai akibat bercampurnya hal-hal yang sunnah dengan 'inovasi-inovasi' yang datang kemudian. Bagaimanapun, alangkah nikmatnya berpedoman pada kata-kata shahabat agung berikut ini.

"Bermcam-macam dengan sunnah adalah jauh lebih baik daripada berpayah-payah dengan bid'ah." ('Abdullah ibn Mas'ud, Radhiyallahu 'Anhu
Gampang kan menyikapinya? Tetapi, harusnya kita tahu, seperti apa sih bid'ah-bid'ah itu. Nah, ini dia.

Bid'ah Idhafiyah

Bid'ah idhafiyah adalah segala sesuatu yang akarnya disyari'atkan namun sifatnya tidak. Hal ini, kata Imam Asy Syathibi dalam Al I'tisham-nya, memiliki dua sisi yang salah satunya berkaitan dengan dalil, sementara sisi yang lainnya tidak memiliki kaitan kecuali dengan sesuatu yang menyerupai bid'ah hakiki. Jadi pada sisi asalnya ia memiliki landasan, tetapi dari sisi kaifiyah (tatacara)nya, hal ihwalnya, atau perincian-perinciannya secara detail, tidak didasarkan atas dalil. Padahal, tambah beliau, tuntunan diperlukan di sini karena ia terjadi dalam bidang ritual ibadah, bukan kebiasaan semata. (Al I'tisham 1/286).

Contohnya antara lain:
  1. Dilihat dari waktu dan caranya, seperti shalat Raghaib, dan shalat malam Nishfu Sya'ban. Asal shalat itu memang disyari'atkan: "Shalat merupakan sebaik-baik yang diadakan." (HR Ath Thabrani dalam Al Ausath, Majma'uz Zawaaid [1/249]. Salah seorang rawinya bernama Abdul Mun'im ibn Basyir. Jumhur ahli hadits menilainya lemah. Tetapi Syaikh Al Albani menilai hadits ini Hasan dalam Shahih Al Jami' [3/256], hadits no 3746). Jadi asalnya disyari'atkan. Tetapi tambahannya yakni pengaitan dengan waktu khusus dan tatacara tertentu, kita sebut sebagai bid'ah.
  2. Karena keluar dari sifat syar'i-nya seperti talhin (melagukan adzan). Adzan itu disyari'atkan, akan tetapi karena adanya penyimpangan pengucapankata-kata dari keaslian Bahasa Arab dan tatacaranya yang syar'i sekedar untuk mengejar keindahannya, maka ia menjadi bid'ah yang buruk.
  3. Penerapan yang tidak pada tempatnya. Misalnya mengeraskan dzikr, dan membaca Al Quran di dekat jenazah. Dzikr itu disyari'atkan, tetapi mengeraskannya dan menjama'ahkannya menjadi bid'ah. Membaca Al Quran itu disyari'atkan tetapi menerapkannya untuk jenazah adalah bid'ah. Inilah idhafiyah.
Bid'ah Tarkiyah

Yakni meninggalkan hal yang sebenarnya diperkenankan syari'at dengan maksud keagamaan. Misalnya, tidak mengkonsumsi makanan yang baik padahal ada demi kekhusyukan, memakai pakaian yang terlalu memprihatinkan padahal dikaruniai nikmat Al-lah lebih. Meninggalkan tidur dan istirahat untuk shalat malam terus menerus, meninggalkan menikah agar tidak tersibukkan keluarga dalam konsentrasi ibadah, dan seterusnya. Hal ini terlarang berdasar nash Al Quran maupun Sunnah.

"Hai orang'Orang yang beriman janganlah kalian haramkan hal-hal baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas." (Al Maidah 87)

Di masa Rasulullah, ada shahabat yang sangat bersemangat. Ada yang ingin puasa terus. Ada yang ingin shalat malam terus tanpa tidur. Ada yang ingin khusyu' beribadah hingga merasa tak perlu menikah. Maka apa tanggapan beliau? "Mengapa ada suatu kaum yang salah dari mereka seorang berkata begini dan begitu. Padahal aku ini berpuasa tapijuga berbuka, tidur dan juga bangun malam, serta menikah dengan wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, ia bukan termasuk golonganku." (HR Al Bukhari [7/1], Muslim [2/102])

Bid'ah Iltizam

Yakni berkomitmen pada ibadah-ibadah muthlaqah yang sebenarnya tidak ditentukan akan tetapi berupaya memberi ketentuan tentang waktu, tempat, bilangan, dan ucapan yang tidak didasari syari'at lalu berkomitmen untuk selalu mengamalkannya menurut ketentuan itu. Misalnya pada dzikr, istighfar, shalawat Nabi, dan sebagainya. Pesan terakhir, hati-hatilah dengan bid'ah. Sekecil apapun. Ya, sekecil apapun. Karena bid'ah kecil, kata Syaikh 'Abdullah ibn Qasim Al Wasyli dalam An Nahjul Mubin, bisa menjadi bid'ah besar jika:
  1. Dilakukan terus-menerus.
  2. Mengajak orang lain untuk melakukannya.
  3. Tidak dilakukan di tempat-tempat perkumpulan or-ang, tempat-tempat di mana sunnah disyi'arkan, karena hal ini sama dengan ajakan untuk melakukannya.
  4. Tidak menganggapnya remeh, karena menyepelekan dosa lebih besar dosanya daripada doa itu sendiri.
Subhanallah, kata-kata Ibnu Mas'ud berikut ini sangat pas: "Beringan-ringan dengan sunnah adalah jauh lebih baik daripada berpayah-payah dengan bid'ah."


sumber: Gue Never Die, Salim A. Hukm Fillah

1 comment:

Anonymous said...

maaf OOT.
lam kenal. met gabung dg blogfam. acc membernya sdh diaktifkan. ditunggu sapa nya di perkenalan ya.