20 April 2006

SIAPAKAH PEMIKIR ITU ?

SIAPAKAH PEMIKIR ITU ?


Adapun pemikir atau yang diistilahkan dengan ahlur ra'yi ialah sebagaimana diterangkan oleh Al Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Qutaibah (wafat 376 H) rahimahullah : "Setelah aku mempelajari berbagai pendapat ahlul kalam (yakni para pakar ilmu kalam)[1], ternyata aku dapati mereka berbicara tentang Allah dengan apa yang mereka tidak tahu, dan menimpakan fitnah kepada kaum Muslimin yaitu dengan fitnah penggolongan yang mereka buat (yakni penggolongan bid'ah, pent.). Mereka dapat melihat sedikit kotoran di mata kaum Muslimin, padahal di depan mata mereka (ada kotoran sebesar) pelepah pohon kurma. Mereka terus menerus mempunyai sangkaan buruk pada orang yang meriwayatkan hadits[2]. Tetapi mereka tidak pernah mempunyai kecurigaan terhadap pikiran mereka dalam perkara ta'wil[3]." (Ta'wil Mukhtalafil Hadits. Halaman 20)

Berbicara tentang agama Allah dengan apa yang mereka tidak tahu, maksudnya berbicara tentang agama tanpa menengok Al Qur'an dan Al Hadits. Mereka berbicara dari pikirannya semata, kemudian pikiran itu diyakini kebenarannya. Selanjutnya mereka mencari pembenaran terhadap pikiran tersebut dengan dalil dari Al Qur'an dan Al Hadits untuk dipaksakan dan ditafsirkan sesuai dengan pikirannya. Bahkan menolak keduanya jika bertentangan dengan pikirannya. Mereka menimpakan fitnah atas kaum Muslimin dengan menggolong-golongkan mereka dengan penggolongan bid'ah, seperti yang terjadi sekarang ini. Mereka memilah orang-orang yang mempelajari Islam dalam dua golongan, yaitu tekstual dan kontekstual. Golongan tekstual ialah mereka yang hanya terpaku dengan teks-teks (nash-nash) Al Qur'an dan Al Hadits serta perkataan ulama terdahulu. Mereka ini dianggap berpikir mandek (jumud) dan hanya membebek kepada pemahaman ulama terdahulu. Atau dengan istilah yang lebih tajam, orang masa lalu yang hidup di masa kini. Semuua ini sebagai ejekan terhadap Ahlul Hadits. Sedangkan golongan kontekstual adalah golongan yang memahami Islam dengan pemahaman kekinian dan merujuk kepada konteks kehidupan masa kini sehingga mereka menyuguhkan pemahaman yang penuh terobosan baru dan perspektif jauh ke depan. Semua ini adalah sanjungan bagi para pemikir atau para ahli kalam atau juga ahlir ra'yi.

Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah menerangkan tiga model ra'yu (pikiran) dalam memahami Islam, agar dengan keterangan beliau ini kita dapat mengetahui di mana sesungguhnya letak para ulama dan di mana letak para pemikir dalam menggunakan ra'yu ketika memahami agama ini. Beliau menerangkan : "Yang dikatakan ra'yu itu ada tiga model, yaitu :

1. Ra'yu yang bathil dan tidak diragukan lagi kebathilannya.
2. Ra'yu yang benar.
3. Ra'yu yang ada kesamaran padanya (antara yang bathil dan yang benar, pent.)

Tiga model ra'yu ini telah diisyaratkan Salafus Shalih. Mereka menggunakan ra'yu yang benar, beramal dengannya, dan berfatwa dengannya pula. Juga mereka cenderung berbicara tentang agama dengannya. Di samping itu, mereka mencela ra'yu yang bathil dan melarang untuk beramal, berfatwa serta memutuskan perkara dengannya. Bahkan mereka melontarkan cercaan terhadapnya dan terhadap orang-orang yang memakai ra'yu bathil ini. Adapun ra'yu yang ketiga, mereka cenderung beramal, berfatwa, dan memutuskan perkara dengannya ketika dalam keadaan terpaksa di saat sudah tidak ada jalan lain kecuali itu. Walaupun demikian, mereka tidak mengharuskan seorang pun beramal dengan ra'yu-nya ini dan tidak melarang orang lain menyelisihinya. Orang lain yang menyelisihi dalam perkara ra'yu model ketiga ini tidak dianggap sebagai orang yang menyelisihi agama. Bahkan dalam menilai pendapat mereka pada ra'yu model ini, penilaian tertinggi adalah dengan mempersilahkan umat memilih antara menerima atau menolaknya. Maka ra'yu model ini kedudukannya adalah sebagaimana makanan dan minuman yang diharamkan (boleh dimakan atau diminum dalam keadaan darurat). Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad : "Aku bertanya kepada Imam Syafi'i tentang Qiyas[4]. Maka beliau mengatakan kepadaku : 'Boleh dipakai bila dalam keadaan darurat (yakni terpaksa dan tidak ada jalan lain, pent.).' ". Demikian Ibnul Qayyim menerangkan.

Kemudian beliau melengkapi penjelasannya dengan merinci jenis-jenis ra'yu yang bathil, yaitu :

1. Ra'yu yang menyelisihi dalil (Al Qur'an dan Al Hadits). Ini adalah perkara yang telah diketahui dengan pasti dalam agama Islam (tentang kerusakannya) dan kebathilannya. Maka tidak boleh seseorang berfatwa dengan ra'yu ini dan tidak boleh pula memutuskan suatu perkara dengannya.

2. Berbicara tentang agama dengan dugaan dan sangkaan disertai sikap melampaui batas atau mengentengkan dalam mengenali dan memahami dalil serta dalam istinbat (yakni mengambil kesimpulan) hukum-hukum dari dalil itu. Karena barang siapa tidak mengerti dalil dan mengambil qiyas dengan akalnya untuk menjawab (tanpa ilmu) pertanyaan yang diajukan kepadanya, maka sungguh dia telah terjatuh pada ra'yu yang tercela dan bathil.

3. Ra'yu yang menyebabkan gugurnya keimanan kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya serta pebuatan-perbuatan-Nya, dengan qiyas yang bathil yang telah diletakkan dasar-dasarnya oleh ahli bid'ah yang sesat dari kalangan Jahmiyah[5], Mu'tazilah[6], Qadariyah[7] dan yang menyerupai mereka. Yaitu dengan mengutamakan ra'yu atas wahyu (yakni Al Qur'an dan Al Hadits) dan mengutamakan hawa nafsu daripada akal sehat.

4. Ra'yu yang menjadi akar berkembangnya berbagai bid'ah, dirubahnya berbagai sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, penyebab meratanya malapetaka, dan menjadi dasar pembinaan/pendidikan anak-anak kecil hingga mereka dewasa (yakni pikiran bathil yang diwarisi turun temurun dari nenek moyang, pent.)

5. Berbicara tentang hukum-hukum agama dengan istihsan (anggapan baik, pent.) dan sangkaan dan menyibukkan diri dengan perkara yang memberatkan dan kabur serta mencocokkan perkara cabang dengan perkara cabang yang lainnya melalui qiyas tanpa menunjukkannya pada perkara pokok dan tanpa meneliti sebab hukumnya serta acuannya. Akibatnya digunakanlah pikiran sebelum turunnya wahyu (ini dijaman hidupnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, pent.), atau berbicara bertele-tele tentang hukum satu masalah yang belum terjadi. Sehingga pembicaraan tentangnya dengan ra'yu yang dibangun atas dasar dhan (sangkaan). Para ulama Salaf mengatakan : "Menyibukkan diri dengan perkara yang demikian dan mendalaminya adalah berarti menelantarkan ilmu dan pengamalan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan menimbulkan kebodohan tentang sunnah tersebut, serta tidak lagi menahan diri untuk berbicara atau berbuat dalam perkara yang Al Qur'an dan Al Hadits mengharuskan kita menahan diri padanya."

Empat macam ra'yu pertama di atas telah disepakati oleh Salafus Shalih dan para imam untuk mencelanya dan mengeluarkannya dari agama. Sedangkan ra'yu yang kelima masih diperbincangkan oleh ulama. Demikian saya ringkaskan dari keterangan Ibnul Qayyim tentang jenis-jenis ra'yu dari kitab beliau I'lamul Muwaqi'in jilid 1 hal. 67-69.

Dengan penjelasan tersebut di atas kita dapat mengerti bahwa para pemikir (ahlur ra'yi) itu adalah mereka yang memahami agama ini dengan salah satu dari lima macam ra'yu yang bathil tersebut. Kemudian agar para pembaca tidak salah paham, seolah-olah Salafus Shalih mengharamkan ra'yu secara keseluruhan, maka saya sertakan pula keterangan Ibnul Qayyim dari kitab yang sama hal. 79-85, sebagai berikut : Ra'yu yang terpuji itu (yakni yang benar, pent.) ada beberapa macam :

1. Ra'yu para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang kedudukan mereka demikian mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya.

Imam Syafi'i rahimahullah menerangkan dalam risalah Bagdadi-nya yang diriwayatkan oleh Al Hasan bin Muhammad Az Za'farani : "Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di dalam Al Qur'an, Taurat, dan Injil. Dan telah disebutkan melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam keutamaan mereka yang tidak diberikan kepada siapapun sesudah mereka. Semoga rahmat Allah tercurah atas mereka dan selamatlah atas mereka dengan anugerah keutamaan yang mengantarkan mereka kepada kedudukan pada shiddiqin[8], syuhada[9], dan shalihin[10]. Mereka telah menyampaikan kepada kita sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mereka telah menyaksikan wahyu turun kepada beliau, sehingga mereka mengerti apa yang diinginkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam perkara umum, khusus, perintah wajib, atau anjuran yang bersifat bimbingan, dan mereka memahami sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, baik yang kita pahami maupun yang tidak kita pahami. Sehingga mereka jauh di atas kita di dalam ilmu, ijtihad, wara'[11] akal, dan hal-hal yang dapat dikenali dengan ilmu dan istinbath dengannya. Pikiran (ra'yu) mereka lebih terpuji dan lebih utama dibanding pikiran kita. Dan orang-orang yang kami kenal (dari keterangan para ulama), menceritakan kepada kami bahwa jika mereka (kaum Muslimin) tidak mendapatkan keterangan langsung dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, mereka merujuk kepada ra'yu shahabat (jika mereka telah bersepakat). Atau memilih sebagian ra'yu shahabat yang lebih dekat kepada dalil (al haq). Inilah pernyataan kami. Dan apabila pendapat salah seorang shahabat itu tidak diselisihi oleh yang lain, maka kami berpegang dengan pendapatnya." Demikian Imam Syafi'i menerangkan kedudukan para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Beliau juga menyatakan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ar Rabi' dari beliau : "Bid'ah adalah apa-apa yang menyelisihi Kitab (yakni Al Qur'an) atau Sunnah (yakni Al Hadits) atau atsar (riwayat perkataan atau perbuatan) dari sebagian shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam."

Di dalam pernyataannya ini, Imam Syafi'i menghukumi segala yang menyelisihi pendapat shahabat adalah bid'ah. Yang dimaksud dalam uraian Imam Syafi'i ini adalah tidak mungkin bagi seseorang yang datang sesudah generasi shahabat disejajarkan dengan mereka[12].Bagaimana mungkin disejajarkan dengan mereka, bila kenyataannya salah seorang dari mereka berpandangan dengan satu ra'yu kemudian turun Al Qur'an yang mencocoki ra'yu shahabi tersebut. Contohnya ialah ra'yu Umar bin Khattab tentang tawanan perang Badar. Dia berpandangan agar para tawanan itu dipenggal saja leher-leher mereka. Maka turunlah ayat Al Qur'an yang mencocoki ra'yu beliau ini. Juga Umar mengemukakan ra'yunya agar para istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berhijab. Kemudian turunlah ayat Al Qur'an yang mencocokinya. Maka sepantasnyalah kalau orang-orang yang setingkat ini ra'yunya dianggap lebih baik dari ra'yu kita. Bagaimana tidak, ra'yu mereka keluar dari hati yang penuh cahaya keimanan, hikmah, ilmu, pengenalan dan pemahaman tentang Allah dan Rasul-Nya, dan hati mereka penuh ketulusan kepada umat. Hati mereka sepenuhnya mencocoki hati Nabi mereka. Tidak ada perantara antara mereka dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mereka mengambil ilmu dan iman dari lentera kenabian, dalam keadaan dari tangan pertama yang masih belum dikaburkan oleh kebid'ahan apapun. Maka mengqiyaskan ra'yu shahabat dengan ra'yu selain mereka adalah serusak-rusak qiyas.

2. Ra'yu para ulama ahlul hadits yang mengambil kesimpulan makna terhadap satu ayat Al Qur'an atau hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam karena telah meneliti banyak ayat dan hadits.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Abdullah bin Al Mubarak[13] : "Hendaklah kamu bersandar kepada atsar (yakni Al Qur'an dan Al Hadits, pent.) dalam menafsirkannya. Inilah pemahaman yang Allah khususkan bagi siapa yang dikehendakinya dari hamba-hamba-Nya.

3. Ra'yu yang telah disepakati oleh ummat, yang diambil oleh khalaf (ulama belakangan) dari salaf (umat terdahulu generasi pertama yaitu para shahabat dan tabi'in).

Karena ra'yu yang telah mereka sepakati pasti ra'yu yang benar, seperti apabila mereka telah sepakat tentang kebenaran suatu riwayat hadits atau suatu mimpi. Hal ini pernah terjadi pada peristiwa beberapa shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang bermimpi bahwa Lailatul Qadar terjadi malam 27 Ramadhan. Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menanggapi mimpi itu dengan sabdanya : "Aku melihat mimpi kalian telah saling bersesuaian pada hari ketujuh akhir (yakni tanggal 27 Ramadhan, pent.)."

Di sini beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menganggap mimpi para shahabat sebagai patokan kaum Mukminin[14]. Maka umat ini ma'sum (terjaga dari kesalahan) pada apa saja yang telah mereka sepakati, baik dalam perkara periwayatan maupun dalam perkara mimpi (juga dalam perkara ra'yu, pent.)[15]. Oleh karena itu, termasuk ra'yu yang benar dan tepat bila ia merupakan produk musyawarah di antara para ahlinya, dan tidak sebagai ra'yu yang ganjil. Dan sungguh Allah telah memuji kaum Mukminin bila urusan mereka itu dimusyawarahkan di kalangan mereka[16]. Al Humaidi telah meriwayatkan dari Sufyan dan dia meriwayatkan dari Asy Syaibani dan beliau dari Asy Sya'bi yang menceritakan bahwa Umar bin Al Khattab menulis surat kepada Asy Syuraih (ia seorang qadli, pent.) yang bunyinya :

"Apabila muncul dihadapanmu suatu perkara yang harus engkau putuskan, maka telitilah hukumnya pada Kitabullah dan putuskanlah perkara itu dengannya. Tetapi bila tidak ada, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila juga tidak terdapat padanya, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh orang-orang shalih dan para imam-imam yang adil. Kalau tidak didapati juga, maka Anda boleh memilih (antara dua) :

a. Bila Anda mau berijtihad dengan ra'yu Anda, silakan Anda berijtihad dengannya.
b. Bila Anda mau bermusyawarah denganku, aku berpandangan bahwa yang demikian ini mesti menjadi kebaikan bagi Anda. Wassalam."

4. Ra'yu yang dihasilkan dari upaya mempelajari ilmu yang ada dalam Al Qur'an. Kalau tidak dapat, dicari dalam As Sunnah.

Kalau tidak diperoleh, dicari pada apa yang telah diputuskan oleh para khalifah yang terbimbing (Khulafaur Rasyidin) atau salah satu dari mereka. Kalau tidak diperoleh, maka dicari pada apa yang diucapkan oleh salah seorang shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila tidak didapati juga, maka diupayakan ijtihad dengan ra'yu dan meneliti agar ijtihad itu menjadi pendapat yang paling dekat dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta keputusan para shahabat beliau. Maka inilah sesungguhnya ra'yu yang dipilih dan digunakan para shahabat. Mereka saling menyetujui dalam ra'yu yang demikian. Demikian Ibnul Qayyim menjelaskan.

Empat model ra'yu inilah yang dipakai oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sedangkan para pemikir memakai lima model ra'yu yang jelek sebagaimana tersebut sebelumnya. Maka yang dikatakan pemikir atau ahlur ra'yu adalah mereka yang memahami agama dengan lima model ra'yu yang bathil.


Referensi: eramuslim

No comments: