22 April 2006

Diabolisme Intelektual


Diabolisme Intelektual



DIABOLOS adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya The Foreign Vocabulary of the Qur'an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah "diabolisme" berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam Kitab Suci al-Qur'an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (Q.s. al-Kahfi: 50), yang diciptakan dari api (Q.s. al-Hijr: 27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis ateis? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut "kafir"? Di sinilah letak persoalannya.

Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana ter-percayanya Rasulullah saw, sebagaimana orang tua mengenali anak kandungnya sendiri (ya'rifunahu kama ya'rifuna abna'ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam. Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah, demikian tegas Profesor Naquib al-Attas.

Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, Q.s. al-Baqarah: 34, al-Hijr: 31, Thaha: 116), menganggap dirinya hebat (istakbara, Q.s. al-Baqarah: 34, Shaad: 73 dan 75), serta melawan perintah Tuhan (fasaqa 'an amri rabbihi, Q.s. al-Kahfi: 50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berperilaku seperti yang dicontohkannya.

Iblis adalah "prototype" intelektual "keblinger". Sebagai-mana dikisahkan dalam al-Qur'an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara. "Hasutlah siapa saja yang engkau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavaleri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!" Demikian difirmankan kepada Iblis (Q.s. al-Isra': 64).

Maka Iblis pun bertekad, ''Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!" (QS. al-A'raf: 16-17). Maksudnya, menurut Ibnu Abbas r.a., Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, cetakan Beirut, al-Maktabah al-Ashriyvah, 1995, vol. 2, hlm. 190).

Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermen-tal Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur'an sebagai berikut. Pertama, selalu membangkang dan membantah (Q.s. al-An'am: 121). Meskipun dia kenal, tahu dan paham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir'aun berikut hulu-balangnya, zulman wa 'uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).

Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena dia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih dia pentingkan dan dia pertahankan ketimbang kebenaran dan akidah Islamnya.

Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-'inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi [w. 537 H./142 M.], al-Aqa'id, dalam Majmu' min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba'ah al-Khayriyyah, 1306 H., hlm.

Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arogan). Pengertian takabbur ini dijelas-kan dalam Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 147): "Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtun-nas). Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an atau Hadis Nabi saw dianggap-nya dogmatis, literalis, logosentris, fundamental, konservatif dan lain sebagainya. Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur'an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.

Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (Q.s. al-Baqarah: 14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha'). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur'an, "Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa ke-benaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyak-sikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya." (Q.s. al-A'raf: 146).

Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa hitman al-haqq). Cendekiawan dia-bolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun dia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga tampak seolah-olah haq.

Sebaliknya, yang haq digunting dan di"preteli" sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh. Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur'an (Q.s. al-Baqarah: 62 dan al-Ma'idah: 69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bil-ma'tsur dari ayat-ayat tersebut.

Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur'an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengotak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyak-an mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur'an Surat Ali Imran: 71, "Ya ahlal-kitab lima talbisunal-haqq bil-batil wa taktumul-haqq wa antum ta'lamun (Wahai Ahli Kitab, mengapa engkau men-wmpuradukkan yang haq dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal engkau mengetahui?.)" Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zhahirnya Muslim.

Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaithan), kemungkinan dari bahasa Ibrani "syatan", yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur'an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (Q.s. Yusuf: 5, al-Isra': 53 dan Fathir: 6). Selain pembangkang ('ashiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudhillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah'wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta'uzz), menyeru (yad'u) dan menjebak (yaftin), menciptakan image positif untuk kebatilan (zayyana lahum a'malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya'iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dhalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik dan kebencian (yuqi'ul-'adawah wal-baghdha'), menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya'mur bil-fahsya' wal-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala lil-insani-kafur).

Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktikkan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya' asy-syaythan (Q.s. an-Nisa': 76), ikhwan asy-syaythan (Q.s. Ali Imran: 175), hizb asy-syaythan (Q.s. al-Mujadilah: 19) dan junudu Iblis (Q.s. asy-Syu'ara': 94). Mereka menikam agama dan mem-propagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.

Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir'aun dan ada Musa a.s. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibnu Taimiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya.

Al-Qur'an pun telah mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka" (Q.s. al-Hajj: 3-4). Maka kaum beriman diingat-kan agar senantiasa menyadari bahwa, "Sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik" (Q.s. al-An'am: 121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab.

Wallahu a'lam.



sumber: "Islam Liberal, Pluralisme Agama & Diabolisme Intelektual", karya Adian Husaini

No comments: