MEMAHAMI AGAMA DENGAN BENAR
Dalam satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Bani Israil (kaum Yahudi dan Nasrani) telah berpecah-belah menjadi 72 aliran, dan umatku akan berpecah-belah menjadi 73 aliran. Mereka semua akan masuk neraka kecuali satu aliran saja. Para sahabat bertanya, "Siapakah dia itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Siapa yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku." (HR. Tirmidzi, al- Hakim dan al-Anjurri; dihasankan oleh al-Albani).
Penjejasan Hadits
Rasulullah saw mengkhabarkan kepada umatnya bahwa Bani Israil, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani, telah ber-selisih dalam memahami dan menga-malkan agamanya. Sehingga mereka pun terpecah menjadi 72 golongan (firqah). Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan/aliran dan kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Perselisihan tersebut terjadi karena munculnya orang-orang yang mening-galkan petunjuk nabinya dan mengi¬kuti pendapat atau gagasan sebagian tokoh-tokon mereka yang menyimpang dari garis kenabian. Setiap penyimpangan menimbulkan munculnya satu firqah (kelompok). Begitulah seterus-nya sampai jumlah kelompok-kelompok tersebut genap 72. Kemudian, apa yang menimpa umat Bani Israil itu akan menimpa pula umat Islam, bahkan lebih banyak lagi. Ini adalah suatu peringatan dari Rasulullah saw agar umat ini berhati-hati dan waspada. Kemudian beliau juga menginformasikan bahwa seluruh kelompok dan aliran tersebut tercela dan terancam dengan neraka kecuali satu kelompok saja. Jadi, hanya ada satu kelompok saja yang selamat. Mendengar informasi ini, para sahabat bertanya, 'Siapakah golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?" Beliau saw menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat yang singkat namun padat, "Siapa yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku." Artinya, siapa yang setia dan komitmen meniti jalan Nabi saw dan para sahabatnya maka dialah orang yang selamat.
Keharusan Mengikuti Pemahaman Para Salafus Shalih dalam Masalah Agama
Salafus shalih adalah tiga generasi pertama umat Islam yang mereka itu telah diakui keterbaikannya oleh Rasulullah saw . Tiga generasi tersebut adalah para sahabat Nabi, tabi'in (generasi setelah sahabat) dan tabi'it tabi'in (generasi setelah tabi'in). Ketiga generasi tersebut telah dipuji oleh Rasulullah sebagaimana sabda beliau: "Sebaik-baik manusia adalah generasi-ku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang lain, beliau saw bersabda: "Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus pada masanya (yakni generasi sahabat), kemudian generasi yang sesudah mereka, kemudian generasi yang sesudah mereka." (HR. Muslim)
Pernyataan Rasulullah saw bahwa para sahabat adalah generasi terbaik umat ini menunjukkan bahwa mereka adalah kaum yang:
Dan juga firman-Nya,"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu (muhammad) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktu)."(QS.AI-Fath:18)
Juga firman-Nya, "(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah (kaum Muhajirin) yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. "(QS. Al-Hasyr : 8)
Juga firman-Nya, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) se-belum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. "(QS. Al-Hasyr: 9).
Pujian Allah swt kepada para sahabat menunjukkan bahwa Allah telah merestui jalan mereka, pemahaman mereka dan metode beragama mereka, sebab mustahil Allah swt memuji suatu kaum yang berada di atas jalan yang salah. Oleh karena itu al-Imam Ibnu Katsir rahimahulullah berkata dalam muqaddimah tafsirnya, "Jika ada orang bertanya, cara manakah yang terbaik dalam menafsirkan al-Qur'an? Maka jawabnya ialah cara (metode) yang paling benar dalam menafsirkan al-Qur'an adalah :
Hanya dengan memehami pemahaman para sahabatlah yang akan menjamin seseorang dari kekeliruan dan kesesatan. Imam Ibnu Katsir rahimahumullah berkata, "Adapun penafsiran al-Qur'an hanya dengan bersandar pada ra'yu (penalaran rasional) maka haram, karena Nabi saw pernah bersabda: "Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur'an dengan ra'yu (pikiran)nya atau dengan apa yang dia tidak ketahui, maka hendaklah bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud; Tirmidzi berkata: hadits hasan)
Oleh karena itu sebagian salafus shalih sangat menghindari pembicaraan ayat-ayat yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Sebagaimana halnya Abu Bakar ash-Shiddiq beliau pernah berkata: "Bumi mana yang akan mengembanku dan langit mana yang akan menaungiku jika aku berkata tentang Kitabullah (al-Qur'an) apa yang tidak aku ketahui?"
Imam para ahli tafsir, Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abi Mulaikah rahimahumullah, seorang tabi’in yang shalih, bahwa Abdullah bin Abbas ra pernah ditanya tentang satu ayat al-Qur'an tetapi beliau enggan untuk berkata sesuatu tentang ayat tersebut. Seandainya pertanyaan tersebut diarahkan kepada salah seorang di antara kalian, maka pasti ia akan menjawabnya." (Tafsir Ibnu Katsir, hlm. 6). Padahal Abdullah bin Abbas ra adalah seorang tarjumaanul Qur'an (ahli tafsir Al-Qur'an). Kesimpulannya, hanya dengan memahami Islam sesuai dengan pemahaman para sahabatlah yang akan menjamin seseorang dari kekeliruan dan kesesatan. Inilah metode yang benar. Kesalahan dalam metode memahami agama adalah sangat fatal, karena akan menyebabkan salahnya kesimpulan-kesimpulan yang diambil. Oleh karena itu, liberalisme agama yang berarti memahami teks-teks agama (al-Qur'an dan as-Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas adalah suatu prinsip yang sangat sesat lagi menyesatkan.
Apakah Kebenaran Bersifat Relatif dan Plural (jama')?
Salah satu prinsip yang diusung oleh JIL adalah mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Artinya, mereka tidak mengakui adanya kebenaran yang bersifat mutlak dan tunggal. Apakah pemahaman ini benar? Marilah kita kembalikan kepada teks-teks al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dalam haditsnya, Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang hidup di antara kalian, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (jalan hidupku) dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigitlah ia de¬ngan gigi-gigi geraham (yakni peganglah kuat-kuat)."(HR. Abu Daud, Tir-midzi dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh al-Albani).
Hadits di atas jelas sekali memberikan petunjuk kepada umat yaitu jika terjadi perselisihan maka yang hams menjadi pedoman adalah sunnah Rasulullah saw dan para khalifahnya yang empat. Jadi kebenaran itu tidak bersifat relatif (nisbi) atau plural.
Dengan prinsip pluralisme tersebut JIL berpendapat bahwa semua agama adalah sama dan mengandung kebenaran. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar se-dang agama yang lain salah. Ini berarti semua pemeluk agama akan masuk surga dan hidup berdampingan di sana. Ini adalah suatu pemahaman yang sangat batil dan bertentangan dengan teks-teks yang jelas. Bahkan tak diragukan lagi, siapa yang memiliki pemahaman di atas maka ia telah murtad.
Allah swt berfirman 'Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisiAllah hanyalah Islam. (QS.AIi Imran: 19)
Dan juga firman-Nya," Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."(QS.Ali Imran: 85).
Dan juga firman Allah swt, "Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (QS. Al-Bayyinah: 6) Yang dimaksud dengan ahli kitab dalam ayat di atas adalah kaum Yahudi dan Nasrani.
Nabi saw juga bersabda, "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, balk Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang diriku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada ajaran yang aku bawa, melainkan ia akan menjadi penghuni neraka." (HR. Muslim).
Sikap Islam Terhadap Sekulerisme
Sekulerisme dalam bidang perundang-undangan (tasyri) artinya memisahkan agama dari negara atau dari kehidupan seluruhnya. Ini artinya menerapkan hukum-hukum yang tidak diturunkan oleh Allah swt. Padahal Allah berfirman, "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah: 44)
Sekulerisme dalam bidang keimanan (aqidah) artinya menolak agama, tidak beriman kepadanya dan mencampakkan hukum-hukumnya. Ini suatu bentuk kekafiran yang nyata. Satu contoh, al-Qur'an menegaskan dalam beberapa ayatnya bahwa nenek moyang seluruh manusia ini adalah Nabi Adam as. Kabar yang datang dari Allah ini wajib kita imani. Tetapi kaum sekuler berkata, "Tidak, kabar tersebut tidak mesti kita percaya. Tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengimani semua yang tertulis dalam al-Qur'an."
Contoh lain, Allah swt telah memilih Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) bagi semua orang-orang yang beriman. Apa saja yang diperintahkan oleh Nabi saw wajib dilaksanakan, apa saja yang beliau larang wajib ditinggalkan. Mentaati Nabi saw berarti mentaati Allah swt, sebagaimana firman-Nya, "Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemeli-hara mereka". (QS. An-Nisa' :80). Tetapi kaum sekuler yang diwakili oleh Ulil Abshar Abdalla berkata di harian Kompas, "Nabi Muhammad saw adalah pribadi yang mesti kita kritisi."
Sekulerisme dalam bidang akhlak artinya membebaskan tersebar luasnya pornografi (prilaku seksual yang menyimpang seperti homoseks, lesbian, kumpul kebo), meremehkan norma-norma agama dan nilai-nilai kesucian. Kaum sekuler menyenangi tersebarnya kemaksiatan dengan dalih kebebasan dan hak-hak individu. Mereka mengagumi para artis dan selebritis, sebaliknya antipati terhadap nilai-nilai kesucian. Tidak heran jika Ulil Abshar mengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab yang diserap oleh kaum muslimin non Arab.
Inilah yang diserukan oleh JIL. Mereka berkata dengan retorika yang memukau, "Kami yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama berada di ruang privat, dan urusan politik harus diselenggarakan melalui proses konsensus."
Kalimat-kalimat yang penuh retorika itu (dan ini cara mereka menghias kebatilan agar nampak indah) menjadi sirna dan buyar ketika dihadapkan pada pertanyaan Rabbul alamin, Penguasa jagad raya ini, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih balk dari-pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah: 50).
Bagi seorang mukmin hanya ada dua pilihan, hukum Allah swt atau hukum jahiliah. Tidak ada pilihan ketiga. Seorang mukmin tidak ragu-ragu bahwa hukum Allah swt-lah yang, (syari'at Islam) jauh lebih baik daripada hukum yang dibuat oleh manusia (meskipun melalui proses konsesus). Sebab, Allah aza wajalla Maha luas ilmu-Nya, Maha adil hukum-hukum-Nya, Maha bijaksana dalam aturan-aturan-Nya. Sehingga, hukum yang diturunkan oleh Allah pun juga sempurna, adil, bijaksana dan paling menjamin kemaslahatan manusia. Sebab, Dia-lah Yang menciptakan manusia, maka Dia pula yang paling tahu tentang apa yang baik dan yang buruk bagi manusia. Sedangkan akal manusia terbatas, sering bersifat aniaya (zhalim), cenderung memihak (tidak adil) dan ilmu manusia sangatlah minim dibandingkan ilmu Allah swt, bagaikan setetes air di lautan. Lalu bagaimana syari'at Allah yang sempurna itu hendak diganti dengan tatanan-tatanan yang dibuat oleh manusia? Alangkah bodohnya pemikiran seperti itu.
Renungkanlah firman Allah swt berikut: "Apakah Allah yang mendptakan itu tidak mengetahui ? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Mulk:14) "Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?"(QS. At-Tiin: 8) "Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. "(QS. Al-Baqarah: 216)
Tidak ada jalan lain yang lebih tepat untuk membendung dan menangkal kerancuan-kerancuan (syubhat-syubhat) yang disebarkan oleh JIL selain dengan kita kembali kepada aqidah yang bersih lagi jernih yang merupakan sumber kemuliaan dan kejayaan, kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah dan memahami isi kedua sumber tersebut sesuai dengan pemahaman para salafus shalih, para ulama terdahulu yang telah tertarbiyah langsung oleh Rasulullah Muhammad saw.
wallahu'alam bishawwab.
sumber: Majalah, Indonesi Islami, edisi II - Rabiul Awal 1427 H
Dalam satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Bani Israil (kaum Yahudi dan Nasrani) telah berpecah-belah menjadi 72 aliran, dan umatku akan berpecah-belah menjadi 73 aliran. Mereka semua akan masuk neraka kecuali satu aliran saja. Para sahabat bertanya, "Siapakah dia itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Siapa yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku." (HR. Tirmidzi, al- Hakim dan al-Anjurri; dihasankan oleh al-Albani).
Penjejasan Hadits
Rasulullah saw mengkhabarkan kepada umatnya bahwa Bani Israil, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani, telah ber-selisih dalam memahami dan menga-malkan agamanya. Sehingga mereka pun terpecah menjadi 72 golongan (firqah). Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan/aliran dan kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Perselisihan tersebut terjadi karena munculnya orang-orang yang mening-galkan petunjuk nabinya dan mengi¬kuti pendapat atau gagasan sebagian tokoh-tokon mereka yang menyimpang dari garis kenabian. Setiap penyimpangan menimbulkan munculnya satu firqah (kelompok). Begitulah seterus-nya sampai jumlah kelompok-kelompok tersebut genap 72. Kemudian, apa yang menimpa umat Bani Israil itu akan menimpa pula umat Islam, bahkan lebih banyak lagi. Ini adalah suatu peringatan dari Rasulullah saw agar umat ini berhati-hati dan waspada. Kemudian beliau juga menginformasikan bahwa seluruh kelompok dan aliran tersebut tercela dan terancam dengan neraka kecuali satu kelompok saja. Jadi, hanya ada satu kelompok saja yang selamat. Mendengar informasi ini, para sahabat bertanya, 'Siapakah golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?" Beliau saw menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat yang singkat namun padat, "Siapa yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku." Artinya, siapa yang setia dan komitmen meniti jalan Nabi saw dan para sahabatnya maka dialah orang yang selamat.
Keharusan Mengikuti Pemahaman Para Salafus Shalih dalam Masalah Agama
Salafus shalih adalah tiga generasi pertama umat Islam yang mereka itu telah diakui keterbaikannya oleh Rasulullah saw . Tiga generasi tersebut adalah para sahabat Nabi, tabi'in (generasi setelah sahabat) dan tabi'it tabi'in (generasi setelah tabi'in). Ketiga generasi tersebut telah dipuji oleh Rasulullah sebagaimana sabda beliau: "Sebaik-baik manusia adalah generasi-ku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang lain, beliau saw bersabda: "Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus pada masanya (yakni generasi sahabat), kemudian generasi yang sesudah mereka, kemudian generasi yang sesudah mereka." (HR. Muslim)
Pernyataan Rasulullah saw bahwa para sahabat adalah generasi terbaik umat ini menunjukkan bahwa mereka adalah kaum yang:
- Paling baik pemahamannya tentang agama dan paling benar metodenya dalam memahami agama.
- Paling lurus dan kokoh aqidah (keimanan)nya.
- Paling ikhlas dalam niatnya.
- Paling mencontoh Rasulullah saw dalam ibadahnya.
- Paling bersih hatinya.
- Paling dalam keilmuannya.
Dan juga firman-Nya,"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu (muhammad) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktu)."(QS.AI-Fath:18)
Juga firman-Nya, "(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah (kaum Muhajirin) yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. "(QS. Al-Hasyr : 8)
Juga firman-Nya, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) se-belum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. "(QS. Al-Hasyr: 9).
Pujian Allah swt kepada para sahabat menunjukkan bahwa Allah telah merestui jalan mereka, pemahaman mereka dan metode beragama mereka, sebab mustahil Allah swt memuji suatu kaum yang berada di atas jalan yang salah. Oleh karena itu al-Imam Ibnu Katsir rahimahulullah berkata dalam muqaddimah tafsirnya, "Jika ada orang bertanya, cara manakah yang terbaik dalam menafsirkan al-Qur'an? Maka jawabnya ialah cara (metode) yang paling benar dalam menafsirkan al-Qur'an adalah :
- Hendaknya al-Qur'an ditafsirkan dengan al-Qur'an, sebab apa yang di dalam satu ayat disebutkan secara global maka ia dirinci dalam ayat yang lain.
- Jika engkau tidak mendapati tafsirnya dalam al-Qur'an, hendaklah engkau cari dalam as-Sunnah (Hadits). Sebab as-Sunnah adalah penjelas al-Qur'an.
- Jika engkau tidak mendapati keterangan (tafsir)nya dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah, maka hendaklah engkau merujuk kepada perkataan sahabat. Sebab merekalah yang paling mengerti tentang al-Qur'an karena mereka menyaksikan saat-saat turunnya ayat-ayat suci al-Qur'an dan tahu latar belakang serta sebab diturunkannya ayat-ayat tersebut. Hal ini salah satu kekhususan mereka. Di samping itu mereka juga memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar dan amal yang shalih. Terlebih lagi para ulama sahabat seperti, Khulafa'ur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Abbas ."(Tafsir ibnu Katsir, him 5-6, dengan sedikit diringkas)
Hanya dengan memehami pemahaman para sahabatlah yang akan menjamin seseorang dari kekeliruan dan kesesatan. Imam Ibnu Katsir rahimahumullah berkata, "Adapun penafsiran al-Qur'an hanya dengan bersandar pada ra'yu (penalaran rasional) maka haram, karena Nabi saw pernah bersabda: "Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur'an dengan ra'yu (pikiran)nya atau dengan apa yang dia tidak ketahui, maka hendaklah bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud; Tirmidzi berkata: hadits hasan)
Oleh karena itu sebagian salafus shalih sangat menghindari pembicaraan ayat-ayat yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Sebagaimana halnya Abu Bakar ash-Shiddiq beliau pernah berkata: "Bumi mana yang akan mengembanku dan langit mana yang akan menaungiku jika aku berkata tentang Kitabullah (al-Qur'an) apa yang tidak aku ketahui?"
Imam para ahli tafsir, Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abi Mulaikah rahimahumullah, seorang tabi’in yang shalih, bahwa Abdullah bin Abbas ra pernah ditanya tentang satu ayat al-Qur'an tetapi beliau enggan untuk berkata sesuatu tentang ayat tersebut. Seandainya pertanyaan tersebut diarahkan kepada salah seorang di antara kalian, maka pasti ia akan menjawabnya." (Tafsir Ibnu Katsir, hlm. 6). Padahal Abdullah bin Abbas ra adalah seorang tarjumaanul Qur'an (ahli tafsir Al-Qur'an). Kesimpulannya, hanya dengan memahami Islam sesuai dengan pemahaman para sahabatlah yang akan menjamin seseorang dari kekeliruan dan kesesatan. Inilah metode yang benar. Kesalahan dalam metode memahami agama adalah sangat fatal, karena akan menyebabkan salahnya kesimpulan-kesimpulan yang diambil. Oleh karena itu, liberalisme agama yang berarti memahami teks-teks agama (al-Qur'an dan as-Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas adalah suatu prinsip yang sangat sesat lagi menyesatkan.
Apakah Kebenaran Bersifat Relatif dan Plural (jama')?
Salah satu prinsip yang diusung oleh JIL adalah mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Artinya, mereka tidak mengakui adanya kebenaran yang bersifat mutlak dan tunggal. Apakah pemahaman ini benar? Marilah kita kembalikan kepada teks-teks al-Qur'an dan as-Sunnah.
- Allah swt berfirman, "Kebenaran itu adalah darl Rabb-mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu." (QS. Al-Baqarah:147).
- Allah swt berfirman, "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, serta semua yang ada di dalamnya." (QS. Al-Mu'minun :71).
- Allah swt berfirman, "Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka bagai-manakah kamu dipalingkan (dari kebenaran) " (QS.Yunus: 32).
Dalam haditsnya, Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang hidup di antara kalian, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (jalan hidupku) dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigitlah ia de¬ngan gigi-gigi geraham (yakni peganglah kuat-kuat)."(HR. Abu Daud, Tir-midzi dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh al-Albani).
Hadits di atas jelas sekali memberikan petunjuk kepada umat yaitu jika terjadi perselisihan maka yang hams menjadi pedoman adalah sunnah Rasulullah saw dan para khalifahnya yang empat. Jadi kebenaran itu tidak bersifat relatif (nisbi) atau plural.
Dengan prinsip pluralisme tersebut JIL berpendapat bahwa semua agama adalah sama dan mengandung kebenaran. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar se-dang agama yang lain salah. Ini berarti semua pemeluk agama akan masuk surga dan hidup berdampingan di sana. Ini adalah suatu pemahaman yang sangat batil dan bertentangan dengan teks-teks yang jelas. Bahkan tak diragukan lagi, siapa yang memiliki pemahaman di atas maka ia telah murtad.
Allah swt berfirman 'Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisiAllah hanyalah Islam. (QS.AIi Imran: 19)
Dan juga firman-Nya," Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."(QS.Ali Imran: 85).
Dan juga firman Allah swt, "Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (QS. Al-Bayyinah: 6) Yang dimaksud dengan ahli kitab dalam ayat di atas adalah kaum Yahudi dan Nasrani.
Nabi saw juga bersabda, "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, balk Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang diriku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada ajaran yang aku bawa, melainkan ia akan menjadi penghuni neraka." (HR. Muslim).
Sikap Islam Terhadap Sekulerisme
Sekulerisme dalam bidang perundang-undangan (tasyri) artinya memisahkan agama dari negara atau dari kehidupan seluruhnya. Ini artinya menerapkan hukum-hukum yang tidak diturunkan oleh Allah swt. Padahal Allah berfirman, "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah: 44)
Sekulerisme dalam bidang keimanan (aqidah) artinya menolak agama, tidak beriman kepadanya dan mencampakkan hukum-hukumnya. Ini suatu bentuk kekafiran yang nyata. Satu contoh, al-Qur'an menegaskan dalam beberapa ayatnya bahwa nenek moyang seluruh manusia ini adalah Nabi Adam as. Kabar yang datang dari Allah ini wajib kita imani. Tetapi kaum sekuler berkata, "Tidak, kabar tersebut tidak mesti kita percaya. Tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengimani semua yang tertulis dalam al-Qur'an."
Contoh lain, Allah swt telah memilih Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) bagi semua orang-orang yang beriman. Apa saja yang diperintahkan oleh Nabi saw wajib dilaksanakan, apa saja yang beliau larang wajib ditinggalkan. Mentaati Nabi saw berarti mentaati Allah swt, sebagaimana firman-Nya, "Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemeli-hara mereka". (QS. An-Nisa' :80). Tetapi kaum sekuler yang diwakili oleh Ulil Abshar Abdalla berkata di harian Kompas, "Nabi Muhammad saw adalah pribadi yang mesti kita kritisi."
Sekulerisme dalam bidang akhlak artinya membebaskan tersebar luasnya pornografi (prilaku seksual yang menyimpang seperti homoseks, lesbian, kumpul kebo), meremehkan norma-norma agama dan nilai-nilai kesucian. Kaum sekuler menyenangi tersebarnya kemaksiatan dengan dalih kebebasan dan hak-hak individu. Mereka mengagumi para artis dan selebritis, sebaliknya antipati terhadap nilai-nilai kesucian. Tidak heran jika Ulil Abshar mengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab yang diserap oleh kaum muslimin non Arab.
Inilah yang diserukan oleh JIL. Mereka berkata dengan retorika yang memukau, "Kami yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama berada di ruang privat, dan urusan politik harus diselenggarakan melalui proses konsensus."
Kalimat-kalimat yang penuh retorika itu (dan ini cara mereka menghias kebatilan agar nampak indah) menjadi sirna dan buyar ketika dihadapkan pada pertanyaan Rabbul alamin, Penguasa jagad raya ini, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih balk dari-pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah: 50).
Bagi seorang mukmin hanya ada dua pilihan, hukum Allah swt atau hukum jahiliah. Tidak ada pilihan ketiga. Seorang mukmin tidak ragu-ragu bahwa hukum Allah swt-lah yang, (syari'at Islam) jauh lebih baik daripada hukum yang dibuat oleh manusia (meskipun melalui proses konsesus). Sebab, Allah aza wajalla Maha luas ilmu-Nya, Maha adil hukum-hukum-Nya, Maha bijaksana dalam aturan-aturan-Nya. Sehingga, hukum yang diturunkan oleh Allah pun juga sempurna, adil, bijaksana dan paling menjamin kemaslahatan manusia. Sebab, Dia-lah Yang menciptakan manusia, maka Dia pula yang paling tahu tentang apa yang baik dan yang buruk bagi manusia. Sedangkan akal manusia terbatas, sering bersifat aniaya (zhalim), cenderung memihak (tidak adil) dan ilmu manusia sangatlah minim dibandingkan ilmu Allah swt, bagaikan setetes air di lautan. Lalu bagaimana syari'at Allah yang sempurna itu hendak diganti dengan tatanan-tatanan yang dibuat oleh manusia? Alangkah bodohnya pemikiran seperti itu.
Renungkanlah firman Allah swt berikut: "Apakah Allah yang mendptakan itu tidak mengetahui ? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Mulk:14) "Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?"(QS. At-Tiin: 8) "Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. "(QS. Al-Baqarah: 216)
Tidak ada jalan lain yang lebih tepat untuk membendung dan menangkal kerancuan-kerancuan (syubhat-syubhat) yang disebarkan oleh JIL selain dengan kita kembali kepada aqidah yang bersih lagi jernih yang merupakan sumber kemuliaan dan kejayaan, kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah dan memahami isi kedua sumber tersebut sesuai dengan pemahaman para salafus shalih, para ulama terdahulu yang telah tertarbiyah langsung oleh Rasulullah Muhammad saw.
wallahu'alam bishawwab.
sumber: Majalah, Indonesi Islami, edisi II - Rabiul Awal 1427 H
No comments:
Post a Comment